Pemutusan Akses Internet di Papua Melanggar Hukum

0

Serat.id– Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengeluarkan putusan bahwa kebijakan pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat sebagai tindakan melanggar hukum. Hakim menyatakan tindakan tergugat I Kementerian Kominfo dan Tergugat II Presiden RI keliru karena memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 lalu. Tak hanya itu hakim juga menghukum tergugat membayar biaya perkara.

“Tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan,” kata Hakim ketua Nelvy Christin, saat membacakan putusan, Rabu, 3 Juni 2020.

Hakim menilai pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet keliru, karena kewenangan yang diberikan dalam pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan melawan hukum.

“Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet,” kata Nelvi menambahkan.

Selain itu, majelis hakim juga menyatakan alasan diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai diatur dalam Undang Undang Administrasi Pemerintah nomor 30 tahun 2014.

Baca juga: Akses Internet di Papua Lambat, Ini Kata AJI

Hakim menyatakan pengaturan diskresi dalam undang-undang Administrasi adalah satu kesatuan secara komulatif, bukan alternatif, yakni untuk; melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

“Sedangkan alasan Kemenkominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum, juga tidak tepat,” kata Nelvi menjelaskan.

Ia menyebutkan kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu.

Sebenarnya ada ada undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatasan hak, yaitu Undang Undang tentang Keadaan Bahaya. “Namun pemerintah tidak menggunakan undang-undang tersebut dalam menangani penyebaran informasi hoaks dalam kasus Papua ini,” kata Nelvi menegaskan.

Baca Juga: Gugatan Pemutusan Akses Internet Papua Berlanjut ke Persidangan

Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah kovensi hak asasi manusia lainnya.

Gugatan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat ini diajukan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari AJI Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam dan ICJR. Dalam gugatan yang diajukan November 2019 lalu, para penggugat meminta hakim menyatakan tindakan pemerintah yang melakukan pembatasan internet pada Agustus dan September tahun lalu melanggar hukum.

Meski Kemkominfo dan Presiden RI menyatakan gugatan yang diajukan organisasi masyarakat sipil ini kedaluwarsa, tidak memliki legal standing, obscure libel dan error in persona atau salah pihak.

Namun hal itu dibantah oleh Majelis hakim yang dalam keputusannya menyimpulkan gugatan yang diajukan AJI dan SAFENet ini masih dalam tenggang waktu. Kedua lembaga juga dinilai memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan legal standing. Hakim juga menyatakan gugatannya jelas atau tidak kabur.

Soal gugatan terhadap Presiden RI, kata Hakim, bukan merupakan error in persona. Presiden bisa digugat karena tidak melakukan kontrol dan koreksi terhadap bawahannya dalam pelambatan dan pemblokiran internet.

Baca juga: Pemutusan Internet di Papua, Safetnet : Kami tidak ingin pemerintah lari dari tanggung jawab

Tim Kuasa Hukum Penggugat Muhammad Isnur, mengapresisasi putusan hakim PTUN ini karena banyak menjadikan pertimbangan hak asasi manusia dalam pertimbangannya. Dengan putusan PTUN Jakarta menyatakan pelambatan dan pemblokiran internet ini sebagai Perbuatan Melanggar Hukum, membuka kemungkinan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan itu untuk menggugat dan meminta ganti rugi.

“Tentu setelah berkekuatan hukum tetap,” kata Muhammad Isnur.

Perlambatan dan kemudian pemutusan internet itu dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi setelah terjadi kerusuhan di Papua, Agustus – September 2019 lalu. Peristiwa itu dipicu oleh adanya tindakan rasis dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua antara lain di Malang, 15 Agustus 2019, di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Dengan dalih mencegah tersebarnya informasi palsu, Kemenkominfo memperlambat dan kemudian memblokir internet di Papua. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here