
Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Meningkat, pelakunya tak hanya orang dekat, namun masyarakat terdidik seperti guru dan dosen dan aparat
Serat.id – Kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah terus meningkat setiap tahun, hal itu mengacu data penanganan kasus oleh Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) yang menunjukan dalam tiga tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan yang ditangani mencapai di atas 50 kasus.
“Pada tahun 2018 terdapat 74 kasus kekerasan terhadap perempuan, tahun 2019 meningkat menjadi 84 kasus dan tahun 2020 meningkat menjadi 96 kasus kekerasan,” kata pegiat KJHAM Jateng, Citra Ayu Kurniawati, dalam keterangan resmi.
Menurut Citra, kasus kekerasan terhadap perempuan tersebar di beberapa kabupaten kota di Jawa Tengah. Sedangkan sebaran tertinggi yaitu di Kabupaten Semarang, dikuti Kota Semarang, serta secara berurutan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Demak dan Kabupaten Pekalongan.
Kabupaten Semarang tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan hal ini dipengaruhi adanya faktor permohonan dispensasi kawin, dimana secara keseluruhan dari calon pengantin perempuan yang di konseling adalah korban kekerasan seksual anak.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi pada siapapun, tidak memandang usia atau pekerjaan. Berdasarkan usia korban, kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi pada perempuan dewasa, yaitu 90 orang atau 57 persen dari jumlah korban, anak-anak sejumlah 60 atau 39 persen, dan perempuan lanjut usia 1 orang 1 persen dan tidak diketahui usianya 5 orang atau 4 persen.
“Sedangkan dilihat dari sisi pekerjaan, kasus kekerasan dialami oleh perempuan dari berbagai bentuk pekerjaan, seperti perempuan pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, pekerja pabrik. Tetapi paling banyak menimpa korban yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga,” kata Citra menambahkan.
Baca juga : Jasa Perkawinan Aisha Weddings Disebut Sebagai Kejahatan Terhadap Anak dan Perempuan
Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak di Kota Semarang Kini Hadir Di Kelurahan
Penyebab perempuan Korban Kekerasan Berbasis Online Engan Melapor
Catatan KJHAM menunjukan para pelaku kekerasan perempuan orang-orang yang dikenal dan dekat korban. Seperti guru, guru ngaji, pacar, kenalan, ayah tiri, teman, mantan pacar, mertua, tetangga, kakak, dosen, suami.
Situasi ini menunjukkan bahwa tidak ada ruang aman bagi perempuan. Orang-orang yang dikenal, dekat bahkan yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku kekerasan.
“Seorang guru baik di Pendidikan formal maupun guru ngaji termasuk dosen adalah seorang pendidik yang seharusnya memberikan teladan dan contoh yang baik untuk masa depan anak-anak, tetapi justru menjadi pelaku kekerasan,” kata Ayu menjelaskan.
Pelaku kekerasan ini banyak dilakukan oleh orang dewasa dari berbagai profesi, dari masyarakat biasa sampai pejabat negara. Di antaranya adalah buruh, pedagang, NI, POLRI, karyawan swasta, dosen, dokter, guru, PNS, dukun, perangkat desa dan sebagainya.
Kekerasan terhadap perempuan berdampak pada penderitaan bagi korbannya. Dampak yang dialami oleh korban adalah trauma, hamil, dikeluarkan dari sekolah, malu, luka fisik, percobaan bunuh diri, skizofrenia akut, dipisahkan dengan anaknya, dikucilkan, dikeluarkan dari perusahaan.
Kekerasan Seksual Online Atau Berbasis Cyber Saat Pandemi Covid-19
Catatan KJHAM Jateng kekerasan tertinggi pada masa pandemi Covid-19 kekerasan seksual. Meski begitu saat ini kekerasan seksual meluas dan meningkat bentuknya dalam bentuk kekerasan seksual online atau berbasis cyber.
“Bentuknya meminta korban untuk hubungan seksual, merekam atau mengambil video pada saat hubungan seksual, kemudian mengancam menyebarkan,” kata Citra menjelaskan
Ia mencotohkan dalam satu kasus korban perkenalan melalui game online sedangkan penyebarannya melalui Whatshap Group. Lalu modus yang digunakan oleh pelaku dengan bujuk rayu, memberikan minuman sehingga korban tidak sadar, mengajak menginap di hotel, alasan ibadah. Kasus-kasus tersebut lebih banyak terjadi di ranah publik, seperti rumah kosong, hotel, gubug.
Pandemi Covid-19 diakui membuat proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami tantangan. Akses layanan terhambat, anggaran untuk program-program perlindungan perempuan juga banyak direalokasi untuk pencegahan dan penanganan Covid-19.
Korban dan pendamping korban kekerasan juga rentan mengalami penularan Covid-19. Situasi kekerasan terhadap perempuan, diperburuk dengan berbagai kebijakan yang menyingkirkan perempuan. Pengelolaan sumberdaya alam, lingkungan dan tata ruang menghilangkan mata pencaharian perempuan. Perempuan terusir dari tempat tinggalnya dari desa ke kota menjadi buruh dengan upah murah dan rentan mengalami kekerasan atau ke luar negeri menjadi buruh migran yang rentan mengalami trafficking dan kekerasan.
Eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan perubahan iklim berdampak pada bencana ekologis. Di antaranya banjir, tanah longsor, angin puting beliung yang akhir-akhir ini melanda beberapa wilayah di Jawa Tengah. Perempuan menjadi kelompok yang paling dikorbankan. Kehilangan tempat tinggal, kelaparan, kedinginan, sakit bahkan meninggal.
Namun ruang-ruang pengambilan keputusan tetap jauh dari partisipasi perempuan yang sejati. Situasi tersebut jelas memperburuk potret pelanggaran hak asasi perempuan. Hal itu menjadi alasan KJHAM Jateng mengkampanyekan Perempuan Internasional ini kami menuntut kepada negara untuk Menghapus segala bentuk diskriminasi dan akar kekerasan terhadap perempuan serta memperkuat penanganan kasus kekerasan yang teintegrasi dengan protokol pencegahan dan penanganan Covid-19.
KJHAM juga minta agar segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang melindungi korban. Termasuk memperkuat partisipasi perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan perencanaan pembangunan berkaitan dengan sumber daya alam, lingkungan dan tata ruang.
“Mencabut seluruh kebijakan dan peraturan yang berpotensi memburuk situasi pemenuhan hak asasi perempuan,” katanya.
Baca juga : Perbudakan Seksual Dominasi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Jateng
Pegiat Anti Kekerasan Perempuan Dorong DPR Segera sahkan RUU P-KS
Komnas Perempuan Serukan Penuhi Hak Berbahasa Isyarat, Ini Penjelasannya
Sedangkan Aliansi Jurnalis Independen sengaja mengelar kampanye melawan kekerasan sistemik terhadap perempuan. AJI sengaja menantang sistem politik yang mengabaikan hak rakyat saat peringatan hari Perempuan Internasional 2021.
“Kekerasan terhadap perempuan terjadi secara sistemik, pejabat negara melontarkan gurauan yang merendahkan perempuan. Perusahaan pers hanya menjadikan perempuan dan kelompok marginal sebagai komoditas, penggunaan diksi yang semakin mendiskriminasi perempuan dan kelompok marginal,” kata Sekretaris jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas.
Menurut Ika, kekerasan terhadap perempuan terjadi secara sistemik dan meningkat selama pandemi. “Alih-alih serius mengatasi pandemi, negara semakin menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap rakyat dan mengeluarkan gimik,” kata Ika menambahkan.
Ia mengatakan AJI menantang negara serius mengatasi krisis kesehatan, krisis demokrasi, dan krisis kemanusiaan yang muaranya semauanya untuk perlindungan perempuan.
Sejumlah dampak yang merugikan permepuan itu di antaranya pengesahan UU Cipta Kerja, penundaan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; pembahasan RUU Ketahanan Keluarga, pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas; Ketidakseriusan pemerintah dan aparat kepolisian dalam mengusut kasus kekerasan pada jurnalis; dan pemblokiran akses internet di Papua serta pada kesejahteraan perempuan buruh, pekerja, pelajar, dan kelompok marginal lainnya.
“Pemerintah seharusnya sadar bahwa pandemi telah menambah rentetan panjang daftar kekerasan terhadap perempuan,” katanya.
Ika meyayangkan saat angka kekerasan itu meningkat, pemerintah justru mencabut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas 2020. (*)