“Anak anak diajari untuk mengedepankan budaya damai ialah seperangkat nilai, sikap tindakan dan cara hidup yang menolak kekerasan serta mencegah konflik termasuk menolak radikalisme,”
Serat.id– Sebanyak lima sekolah di Jawa Tengah secara serentak mendeklarasikan sekolah damai pro toleransi. Sekolah tersebut antara lain SMAN 11 Semarang, SMAN 7 Semarang, SMAN 10 Semarang, SMAN 13 Semarang, SMAN 1 Cepiring, Kendal.
“Anak anak diajari untuk mengedepankan budaya damai ialah seperangkat nilai, sikap tindakan dan cara hidup yang menolak kekerasan serta mencegah konflik termasuk menolak radikalisme,” ujar Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Yenny Wahid, Rabu, 21 April 2021.
Baca juga : Belasan Organisasi dan Komunitas di Semarang Deklarasikan Lawan Intoleransi
Festival Jatiwayang Cermin Persatuan Kebersamaan dan Toleransi
Belajar Toleransi dari Dusun Tertua di Kaki Gunung Merbabu
Yenny menyebut kelima sekolah tersebut akan menerapkan tiga pilar damai mulai dari kebijakan sekolah, praktik toleransi di kelas maupun di sekolah, serta praktik organisasi kesiswaan. Ia mengatakan agar pendidikan sikap toleransi dan saling menghargai tak hanya diajarkan melalui kurikulum sekolah, namun juga diterapkan melalui media sosial.
“Tantangan disrupsi, ekologi, emosi, tiga hal ini harus kita bantu anak-anak kita untuk bisa mengatasinya dengan berdasarkan seperangkat nilai pada perilaku yang positif,” kata Yenny menambahkan.
Menurut Yenny, sekolah damai akan tersebar di dua puluh sekolah SMA maupun SMK yang ada di DKI, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat. Ia berharap agar orangtua maupun guru dapat meneladani sikap Gusdur yang memberi pendidikan dengan tidak mengedepankan aspek kognisi, namun turut mengembangkan pendidikan karakter.
“Agar melahirkan bukan hanya cerdas tapi juga generasi bermoral dan mau memberikan kontribusi besar untuk masyarakat di sekitarnya,” katanya.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan anak-anak sekolah saat ini rentan terpapar efek buruk dari media sosial. “Sebab mereka meyakini apa yang tersebar seolah-olah merupakan kebenaran, tanpa adanya penuntun. Murid bisa menjadi pelaku teror perseorangan atau lonewolf, karena merasa dirinya benar dan kelompok lain dianggap salah,” kata Ganjar Pranowo.
Menurut dia, kondisi itu yang salah bukanlah anak-anak muda yang tidak mengerti budi pekerti, tidak mengerti pancasila, tidak mengerti toleransi, karena kesalahan pada orang tua yang tidak pernah membimbing.
Ganjar mengaku prihatin terhadap praktik intoleransi yang berada di SMAN 1 Gemolong Sragen, pada tahun silam, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. “Seharunya proses pendidikan keagamaan diajarkan secara bertahap, dan tidak secara tiba-tiba diajarkan keseluruhan sehingga membuat murid terkejut dalam memahaminya,” kata Ganjar menjelaskan.
Ia berharap para murid yang berada di sekolah damai nantinya dapat menciptakan situasi sekolah yang tidak ada perundungan dan saling mengapresiasi dan menghargai antar sesama. Apabila sekolah tersebut sukses maka akan diterapkan ke sekolah lainnya. (*)