Beranda Indepth Ada Motif Turisme di Balik Proyek ‘Pemekaran’ Danau Rawa Pening 

Ada Motif Turisme di Balik Proyek ‘Pemekaran’ Danau Rawa Pening 

0

Warga mengakui Danau Rawa Pening dalam kondisi kritis. Mereka setuju perlu diselamatkan. Tapi, bukan untuk memperluas danau. Warga juga cemas di balik proyek ini ada ambisi pariwisata dari pemerintah.   

oleh KAJI JATENG (Kolaborasi Jurnalis Investigasi Jawa Tengah)

109 Patok Sempadan di Danau Rawa Pening

Kasiyan tak menyangka apa yang dibayangkannya mengenai revitalisasi Danau Rawa Pening untuk mengatasi masalah sedimentasi, justru yang terjadi di lapangan bertolak belakang.

Kasiyan adalah Ketua Paguyuban Sedyo Rukun, yang diutus mewakili komunitas masyarakat itu pada Konferensi Danau Internasional di Sanur, Bali, pada 2009. Ia tak sendiri. Ada perwakilan dari daerah-daerah lain dari sekitar 135 danau. Salah satu pembahasan konferensi adalah menyelamatkan kondisi danau. 

Rawa Pening memang dalam kondisi kritis. “Eceng gondok menutupi hampir 60% danau,’’ katanya. Sedimentasi lumpur telah membuat danau ini yang dulunya berbentuk mangkuk cekung berubah bentuk piring. Maka, ada usulan perlu direvitalisasi. 

Rencana itu pun terwujud dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No. 365 Tahun 2020 tentang Batas Sempadan Kawasan Rawa Pening dalam Penanganan Sedimentasi di Danau Rawa Pening. Proyek ini kemudian didanai pemerintah pusat setelah masuk dalam skema proyek strategis nasional lewat Perpres No. 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional, yang diteken Presiden Jokowi pada 22 Juni 2021.  

Di lapangan, proyek ini dikerjakan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana, di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PUPR. 

Semula BBWS Pemali-Juana membersihkan eceng gondok, kemudian mengatur jumlah keramba apung. Memasuki tahun 2020, proyek ini memasang patok-patok semen di areal permukiman, rumah, dan sawah warga, yang diklaim sebagai batas sempadan danau. 

Jumlahnya 109 patok yang tersebar di 14 desa di empat kecamatan, yakni Ambarawa, Banyubiru, Bawen, dan Tuntang, di sekeliling Rawa Pening. 

“Ini bukan revitalisasi lagi, melainkan pemekaran Danau Rawa Pening. Sebab, pemasangan patok batas danau itu masuk ke perkampungan,” kata Kasian, warga Dusun Klurahan, Kecamatan Tuntang. 

BBWS Pemali-Juana melibatkan tentara-tentara Kodam IV/Diponegoro, dalam perjanjian yang disebut “kerja sama swakelola”, untuk menjalankan proyek tersebut di lapangan.  

Kepala Bidang Pelaksana Jaringan Sumber Air (PJSA) BBWS Pemali-Juana, Mustafa, berkata pihaknya menggandeng Kodam Diponegoro karena hasil kerjanya “efektif.” TNI memiliki sumber daya yang bisa mengerahkan prajurit, sementara dananya dari Kementerian PUPR.

“Dulu kami kewalahan membersihkan eceng gondok. Sekarang volumenya berkurang 500 ha atau tersisa 350 ha. Anggaran untuk pembersihan eceng gondok dan penataan keramba pada 2023 sebesar Rp9 miliar. Proyek dengan TNI ini tidak tender,” katanya. 

“Sebelum 2019, sekitar 80% danau tertutup eceng gondok. Kami kurangi 10%, eh tumbuh lagi. Eceng gondok itu musuh danau,’’ ujarnya. 

Mustafa berkata luas genangan danau mencapai 1.850,10 ha (+463,00) dengan kedalaman sekitar 0,35-10 m atau rerata 2,17 m. Rawa Pening, yang berada di cekungan antara Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran, ini disebutnya mengalami sedimentasi hingga 778,93 ton/tahun. Kedalaman danau pun setiap tahun berkurang sekitar 0,42 m. Dulu kedalaman danau sekitar 10-15 m, sekarang sekitar 3-6 m. 

Ia menyebut masalah Danau Rawa Pening tak cuma berkurangnya daerah tangkapan air, tapi juga alih fungsi lahan serta kerusakan hutan dan lahan. Perubahan penggunaan lahan di daerah tangkapan air selama 1991-2009 sebesar 30,43%, menurut data sda.pu.go.id.

“Banyak kawasan industri dibangun di hilir sehingga sedimentasi mengalir ke Rawa Pening,’’ tambahnya. 

Persoalan lain adalah tingkat kemiringan yang curam, membuat material sedimen terbawa arus sungai dengan laju sedimentasi 9,44 mm/tahun. Lalu, ada limbah yang terbawa sungai. 

Sementara di sempadan danau, ujar Mustafa, ada alih fungsi lahan, okupasi lahan, dan erosi lahan serta terjadi genangan atau banjir antara 1-4 kali setiap tahun.

Padahal, jelasnya, ada 14 sungai yang bermuara ke Danau Rawa Pening dan mengairi lahan pertanian dengan irigasi teknis seluas setidaknya 20.000 ha, melalui Sungai Tuntang yang melintasi Kabupaten Semarang, Grobogan, dan Demak. Air baku Danau Rawa Pening juga dimanfaatkan untuk penggerak turbin PLTA, yakni 750 liter/detik, untuk menghasilkan listrik maksimal 25,5 MW, tambahnya.

“Kami melihat itu harus diselamatkan. Sedimentasi harus dikendalikan, di antaranya dengan membangun cekdam untuk mengendalikan (bangunan pengendali sedimen di palung sungai, menampung sedimen), dan menormalkan sungai agar tidak terjadi limpasan dan genangan,’’ ujarnya.

Rencana Dijadikan ‘Ikon Pariwisata’ 

Joko Susanto, warga Kecamatan Bawen, yang halaman rumahnya dipasang patok kuning bertuliskan “BBWS Pemali-Juana bekerja sama dengan Kodam IV/Diponegoro’’, tidak menolak revitalisasi Danau Rawa Pening. Sekretaris Perhimpunan Petani Nelayan Rawa Pening ini hanya menolak perluasan Rawa Pening.

Hal sama diungkapkan Kasiyan. Proyek ini seharusnya berfokus mengatasi sedimentasi danau, bukan justru mengancam ruang hidup dan mata pencaharian warga setempat.

Joko juga mendengar, di tengah sosialisasi yang minim, proyek ini menyimpan ambisi pemerintah hendak menjadikan Rawa Pening sebagai ikon pariwisata Jawa Tengah.

Bila benar demikian, katanya, tujuan itu bertentangan dengan nilai-nilai lokal di mana warga setempat menggantungkan sumber ekonominya dengan bertani dan sebagai nelayan.

“Sumber penghasilan primer warga adalah petani sama nelayan,” katanya.  

Informasi soal Rawa Pening bakal dijadikan destinasi wisata setidaknya muncul dari Wakil ketua DPRD Kabupaten Semarang, Arif Zayin, saat dikonfirmasi Tim Kolaborasi.  

Zayin berkata Danau Rawa Pening akan dibangun tempat wisata yang merupakan proyek strategis nasional. 

Nantinya, katanya, kawasan itu akan dibangun resort-resort dan dilengkapi jalan melingkar di bantaran danau yang dapat dimanfaatkan untuk jogging

Ia membayangkan ada wisatawan yang bermain paralayang dari Gunung Telomoyo lalu mendarat di sekitar Rawa Pening. Dan, wisatawan tinggal di sekitar danau. 

“Karena belum ada hotel yang representatif di Kabupaten Semarang sehingga larinya ke Kota Semarang atau Salatiga. Itu harus kita siapkan juga,” kata Zayin pada 18 Oktober 2023. 

Ia berkata andai Rawa Pening jadi pusat pariwisata, masyarakat sekitar akan merasakan dampak ekonominya. Masyarakat dapat menjadi bagian inti dari pengelolaan atau “mendapatkan barokah” dari desain Rawa Pening ke depan. 

“Mari kita desain menjadi alternatif pariwisata yang aman dan nyaman,” imbuhnya.

Proyek Perluasan Rawa Pening Melanggar HAM

Fajar Muhammad Andika dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang berkata revitalisasi Rawa Pening memperlihatkan bagaimana negara gencar membuat banyak proyek berskala nasional yang mengabaikan hak asasi manusia. 

Banyak sekali sumber daya agraria milik warga, termasuk pemukiman, dimasukkan ke dalam kurva wilayah sempadan Danau Rawa Pening, ujarnya. Sehingga banyak sekali sawah dan pemukiman yang berpotensi digusur. Pada akhirnya, masyarakat akan kehilangan sumber penghidupan. 

“Kalau berkaca dari sejarah Rawa Pening, itu sudah terjadi pada masa kolonial Belanda dengan penghilangan desa karena perluasan Rawa Pening. Di rezim pemerintahan sekarang, pencaplokan desa itu terjadi lagi. Ini semacam neokolonialisme,” katanya.

Andika menyoroti proyek revitalisasi Rawa Pening tidak menaati Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). 

Setidaknya ada dua hal yang tidak dijalankan. Pertama asas kecermatan. Pemerintah mengabaikan wilayah Rawa Pening itu dikelola masyarakat. 

Kedua asas kebermanfaatan. Pemerintah tidak melihat kebermanfaatan Rawa Pening pada masyarakat setempat untuk keberlanjutan generasi mendatang. 

Seharusnya negara melihat apakah proyek ini dapat bermanfaat masyarakat atau justru menghilangkan hak-hak masyarakat. “Dalam hak asasi manusia, itu prinsipnya enggak bisa dicabut,” katanya.

Proses revitalisasi Rawa Pening juga telah melanggar etika hak atas tanah dan kepemilikan properti dan hak atas pekerjaan, kata Andika. Ketika hak atas tanah itu hilang, maka berdampak ke hak atas pekerjaan sehingga masyarakat tidak bisa bekerja dengan baik sebagai petani dan nelayan. 

“Ketika negara melakukan pengabaian terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya, maka negara telah terindikasi melakukan pelanggaran hak asasi manusia,” tambahnya.

Andika juga melihat ada indikasi pelanggaran dalam proyek ini terhadap hak kepemilikan masyarakat atas tanah pemukiman maupun lahan produktif seperti sawah. Padahal, warga sudah memiliki sertifikat hak atas tanah maupun letter C. Hak-hak warga tersebut dijamin konstitusi. 

“Sumber-sumber agraria yang dikuasai turun-temurun selama 20 tahun itu bisa diajukan sebagai hak milik masyarakat. Dari situ bisa dilihat, negara telah mengakui hak milik pribadi. Namun, saat ini, yang terjadi di Rawa Pening, negara justru mencaplok hak tersebut,” katanya.

Andika juga menilai proses pematokan batas air dan batas sempadan mengabaikan hak atas pembangunan yang prinsipnya partisipatif. Padahal, yang merasakan kebermanfaatan pembangunan itu masyarakat Rawa Pening, bukan pihak luar. 

“Dalam konteks Rawa Pening, yang diklaim melibatkan partisipasi itu sebenarnya manipulatif. Penguasa mengumpulkan perangkat desa dan dijadikan legitimasi bahwa masyarakat setuju tanah-tanah dan permukimannya dipatok atas nama revitalisasi Danau Rawa Pening,” katanya

Selain itu, keterlibatan tentara-tentara Kodam IV/Diponegoro yang mematok batas air dan batas sempadan sama saja situasinya seperti kembali ke masa otoriter Orde Baru. 

Pada 1980-an, pemerintahan Soeharto membangun Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, didanai oleh Bank Dunia, dengan melibatkan ABRI, yang menenggelamkan puluhan desa dan mengusir lebih dari 5.000 keluarga di Grobogan.

“Sekarang di Rawa Pening, alat kenegaraan TNI dipakai lagi. Akhirnya membuat warga takut dan merasa terintimidasi dan terancam karena yang menjadi tameng adalah alat kenegaraan itu,” kata Andika.

Masyarakat seharusnya punya hak atas rasa aman. “Intimidasi tak hanya tindakan fisik secara langsung, tapi termasuk dapat mempengaruhi psikis warga. Apa yang terjadi sekarang di Rawa Pening juga terjadi marak di proyek-proyek strategis nasional lain pemerintahan Jokowi,” katanya.  

Bila alasan pemerintah melakukan perluasan Rawa Pening demi untuk kesejahteraan bersama, Andika justru mempertanyakan kesejahteraan untuk siapa. Seharusnya, yang terutama didahulukan demi kepentingan masyarakat sekitar Rawa Pening sendiri. 

“Jadi alasan demi kesejahteraan yang diklaim pemerintah itu perlu dilihat ulang. Justru jika sumber daya itu dirampas, kesejahteraan masyarakat yang akan menghilang,” katanya. (*)

TIDAK ADA KOMENTAR