Sejumlah kesaksian menyebutkan petugas BPN yang ikut turun ke lapangan saat pengukuran tak memahami seperti apa dan bagaimana peta minute itu dibuat. Mereka mengaku tak paham sejarahnya seperti apa dan bagaimana cara membuatnya peta minute yang diajukan TNI.

Parijo menunjukkan batas tanah yang sudah dipatok oleh TNI yang jaraknya sekitar 1 hingga 1,5 kilometer membentang dari sisi timur ke barat pantai Urutsewu Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Pria yang menjadi satu perangkat desa Ambalresmi, Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen itu menunjukkan tonggak batas lahan yang ditancapkan berjarak 400 hingga 500 meter ke arah selatan menuju bibir pantai tepatnya di sisi utara.
“Panjang dan lebar batas tanah itu mendekati luas tanah dalam sertifikat TNI AD yang diserahkan pada Agustus 2020 yang luasnya 47,72 hektare,” kata Parijo, kepada tim kolaborasi liputan agraria, pertengahan Mei 2021 lalu
Parijo mengaku pada awal tahun 2020 lalu diminta menjadi saksi pengukuran dan pematokan oleh TNI. Dirinya diminta menandatangani berita acara yang menunjukkan sebagai saksi dalam pengukuran dan pematokan tersebut. Namun setelah itu Ia mengaku tidak ada sosialisasi lebih lanjut kepada warga terkait hasil pengukuran. “Tidak ada pemberitahuan, sosialisasi kepada warga juga tidak,” ujar Parijo menambahkan
Menurut Parijo, sebagian warga tidak mengetahui jika lahan yang biasa mereka gunakan untuk bercocok tanam selama ini ternyata telah disertifikat oleh TNI. Hal itu diakui Suturno, warga desa setempat yang justru mengetahui pensertifikatan dari media massa. “Padahal selama ini saya selalu membayar pajak lahan setiap tahun,” kata Suturno.
Warga lain, Basiran, menunjukkan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan yang ia bayar hingga tahun 2021, sedangkan tanah miliknya telah disertifikatkan hak pakai oleh TNI AD dari sejak 2020 lalu.
Kepemilikan lahan itu dibuktikan surat perjanjian jual beli tanah pada tahun 1988 tepatnya saat berusai 24 tahun. Surat perjanjian itu tercatat dalam buku peta atau C desa nomor 620/persil dan ditandatangani oleh Kepala Desa Ambalresmi, Sekretaris desa Ambalresmi, dan juga kepala Dusun Ambalresmi kala itu.
Namun anehnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN menerbitkan lima sertifikat hak pakai yang berlokasi di wilayah Urutsewu kepada TNI AD melalui kepala staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa di Kodam V Diponoegoro, di Semarang pada 12 Agustus 2020
Masing-masing sertifikat hak pakai di Desa Ambalresmi yang diserahkan seluas 47.72 hektare; Sertifikat hak pakai di desa Kenoyojayan seluas 24,78 hektare; Sertifikat hak pakai di desa Sumber Jati seluas 55,46; Sertifikat hak pakai di Desa Tlogodepok seluas 59,58 hektare; dan Sertifikat hak pakai di Desa Tlogopragoto seluas 25,68 hektare.
Sedangkan hasil penelurusan ada lahan lain yang sudah diterbitkan sertifikatnya oleh BPN Jateng meliputi di desa Brecong, sebanyak 65,24 hektare dan di desa Mirit sebanyak 22,98 hektare. Tak hanya itu, sertifikat juga diterbitkan untuk lahan di desa Lembupurwo 84, 51 hektare dan desa Entak 78,38 hektare, kedua sertifikat itu diserahkan kepala BPN jateng baru, Dwi Purnama yang menyerahkan ke TNI AD saat pertemuan di Korem 072 Pamungkas Yogyakarta, pada 4 September 2021 Degan begitu total lahan warga yang diklaim oleh TNI AD mencapai 464, 327 hektare.
Pemerintah menganggap, sertifikasi merupakan jalan penyelesaian sengketa lahan di daerah itu. Namun, pemberian sertifikat oleh Kementerian ATR/BPN ternyata tidak serta merta menyelesaikan masalah. Warga di beberapa desa menolak lahan mereka diklaim oleh TNI.
Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Nurhasan Ismail mengatakan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah tak serta merta ditandai dengan selalu hadirnya pemilik tanah di lokasi itu.
“Kalau memang ada tanaman dan tanaman itu tampak terawat, artinya ada orang yang menjalankan kegiatan dan penguasaan atas tanah itu,” kata Nurhasan.
Artinya, jika ada yang hendak mengukur atau mematok tanah harus memberitahu orang yang menanam tanaman itu. “Karena dengan orang menguasai dan memanfaatkan secara intensif itu bukti kepemilikan,” kata Nurhasan menambahkan.
Nurhasan menjelaskan jika penguasaan dan pemanfaatan tanah secara fisik lebih dari 20 tahun, maka sesuai dengan undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) maupun Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997. Dalam aturan itu menguatkan kedudukan dari penduduk itu sebagai pemegang hak atas tanah.
Secara detail Nurhasan menyebut pada pasal 24 ayat 2, PP Nomor 24 Tahun 1997, menyebutkan bahwa pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahuluannya.
Syaratnya penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
Terkait dengan peta minute yang dikatakan sebagai peta peninggalan Belanda dan dijadikan patokan untuk mengukur tanah oleh TNI, menurut Nurhasan belum cukup kuat. “Masih dilematis, semua pasti ada peta pada zaman Hindia Belanda tetapi yang daikui oleh UUPA adalah mereka yang menguasai dan memanfaatkan secara intensif,” ujarnya.
Lurah Ambalresmi Wagino mengaku proses pengukuran, sudah melibatkan tokoh masyarakat desa, meski tidak secara khusus sosialisasi ke warga terkait adanya sertifikasi dan pengukuran tersebut. Ia beralasan masih dalam masa pandemi, sehingga tidak memungkinkan untuk berkumpul.
“Nah itu prosesnya, memang dari BPN sama pemerintah desa, sama tokoh masyarakatnya (RT). Kalau dulu kan sudah duduk bareng dengan yang kaitannya sama tanah masyarakat, maksudnya itu kan batas pagar, itu dulu sudah sepakat,” ujar Wagino yang akrab disapa Tino.
Menurut dia, proses pengukuran yang dilakukan oleh TNI sudah sesuai peta desa dan letter C. Sehingga tak membutuhkan persetujuan semua masyarakat desa. Tino menambahkan jika masyarakat masih bisa apabila ingin melakukan pensertifikatan ulang di daerah pesisir seperti yang dilakukan TNI.
Namun sebelum TNI selesai mensertifikasi, dirinya tidak menerima pengajuan sertifikasi tanah dari masyarakat. Ia juga mengaku saat itu konflik batas tanah negara dan tanah milik warga belum jelas.
“Iya, belum bisa (mengajukan sertifikasi) karena masih grambyang (tidak jelas). Kalau sekarang sudah fix karena itu yang menentukan bukan tentara tapi BPN pusat atau provinsi,” ujar Tino.
Sejumlah kesaksian menyebutkan petugas BPN yang ikut turun ke lapangan saat pengukuran tak memahami seperti apa dan bagaimana peta minute itu dibuat. Mereka mengaku tak paham sejarahnya seperti apa dan bagaimana cara membuatnya peta minute yang diajukan TNI. Sedangkan aparat TNI tidak memperbolehkan petugas BPN untuk merekam peta itu da hanya diperbolehkan untuk melihat.
Kepala Kantor Wilayah BPN, Embun Sari menyebut pengukuran itu sudah disetujui oleh pihak desa dan sudah melakukan sesuai dengan prosedur yang benar.
“Sepanjang TNI bisa memasang tanda batas, tanah dikuasai, tidak ada yang komplain di lapangan, terpenuhi azas itu keluarlah peta bidang,” kata Embun.
Menurut Embun, selanjutnya kegiatan pemeriksaan tanah dari tim peneliti turun untuk memeriksa atas hak TNI. “Termasuk juga ada tidak hubungan hukum antara TNI dengan bidang tanah itu, kalau clean and clear keluarlah sertifikat,” kata Embun menjelaskan.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa mengatakan tak akan mengambil keputusan apapun terhadap lahan yang belum ada sertifikat hak pakainya. “Selama sudah terbit seritifikat dari BPN ya itu yang kita pegang, kalau belum kita juga tidak akan mencoba untuk menyentuh apalagi mengelola,” kata Andika .
Andika juga terbuka jika ada warga yang merasa keberatan dengan dikeluarkan sertifikat hak pakai kepada TNI AD. Ia meminta agar mereka menempuh jalur hukum. “Kalau sudah resmi sertifikat hak pakai sudah keluar tapi masih ada masyarakat yang mungkin belum bisa menerima ya enggak apa-apa, kan yang penting kita patuh hukum. Mereka juga monggo, punya hak setiap warga negara untuk misalnya membawa tuntutan ke ranah hukum kami terbuka sekali,” kata Andika menjelaskan. (*)
Laporan ini merupakan hasil reportase kolaborasi sejumlah jurnalis, di antaranya Jamal Abdul Nasher (Tempo), Rudal Afgani Dirgantara (Liputan6.com), Anin Kartika (KBR), Irwan Syambudi (Tirto.id), Stanislas Cossy (Serat.id).