Tanah kas Desa seluas sekitar tujuh hektare itu, dibuktikan dengan surat latter C yang dimiliki Desa. Karena awalnya Balai Konservasi Borobudur pinjam saat pemugaran Candi Borobudur untuk peletakan batu-batu sekitar tahun 1960-an.

Serat.id – Warga Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur menuding pemerintah menjagal cagar budaya terkait konflik tanah di wailayah mereka. Warga mengadukan ke Ombudsman Jawa Tengah terkait klaim Balai Konservasi Borobudur, yang merupakan instansi di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
“Kedatangan kami untuk melakukan pengaduan atas tanah kas Desa kami. Dimana di atasnya ada Candi Borobudur,” kata Sekretaris Desa Borobudur, Ichsanusi usai menyerahkan laporan di kantor Ombudsman, Kamis, 14 April 2022.
Ichsanusi meyakini tanah kas Desa seluas sekitar tujuh hektare itu, dibuktikan dengan surat latter C yang dimiliki Desa. Karena awalnya Balai Konservasi Borobudur pinjam saat pemugaran Candi Borobudur untuk peletakan batu-batu sekitar tahun 1960-an.
Desa memahami tanah tersebut hanya dipinjam, artinya akan dikembalikan setelah pemugaran selesai dilakukan. “Tapi malah sekarang diklaim milik balai konservasi. Kalau itu diklaim sebagai milik negara kan dibeli dengan uang APBN, tapi kenyataanya tidak membeli, menghibahkan atau tukar guling. Itu yang membuat kami keberatan,” kata Ichsanusi menjelaskan.
Sebelumnya warga sering melakukan ritual budaya di tanah tersebut, seperti pertunjukan wayang atau merti desa. Namun sekarang kalau mau melakukan merti desa tidak dibolehkan, dengan alasan ditakutkan merusak cagar budaya Candi Borobudur.
Tak hanya itu, jika warga desa akan memasuki area candi, warga diwajibkan membayar tiket masuk. “Ini akan merusak narasi sejarah yang dilakukan pemerintah itu sendiri. Istilahnya pemerintah menjadi penjagal cagar budaya, bukan menjaga,” ujar Ichsanusi menegaskan.
Pegiat Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Atqo Darmawan mengatakan Badan Pertanahan Negara Kabupaten Magelang menggunakan dasar hukum yang salah terkait sengekta lahan itu.
“BPN menyurati Kelurahan untuk melakukan gugatan dalam waktu 30 hari. Jadi tidak boleh ada instansi yang intervensi untuk melakukan gugatan. Itu salah satu mal administrasi yang kami temukan,” kata Atqo.
Menurut dia, keberatan yang dilakukan masyarakat oleh pemerintah diabaikan oleh BPN. “BPN telah menciderai aturan yang mereka buat sendiri,” ujar Atqo menjelaskan.
Hingga kini masyarakat bersama Desa masih mempertahankan tanah kas Desa tersebut. Sedangkan pemerintah memanfaatkan aparaturnya untuk menekan pemerintah desa dan warga agar desa segera mengeluarkan surat bebas sengketa.
“Itu salah satu alasan BPN untuk mengeluarkan surat hak pakai,” kata Atqo menjelaskan. (*)