“AJI, IJTI, PFI, dan LBH Pers merangkum kondisi pekerja media secara nasional saat ini belum sejahtera seperti yang dicita-citakan dalam gerakan May Day tahun 1886,”

Serat.id – Sejumlah organisasi profesi jurnalis dan pekerja media mengeluarkan peryataan sikap saat peringatan hari buruh internasional atau May Day bertepatan satu hari jelang lebaran tahun 2022.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), didukung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengatakan masih perlu menyuarakan pentingnya penyelesaian beragam persoalan hubungan industrial yang dialami para pekerja media di Indonesia.
“AJI, IJTI, PFI, dan LBH Pers merangkum kondisi pekerja media secara nasional saat ini belum sejahtera seperti yang dicita-citakan dalam gerakan May Day tahun 1886,” tulis pernyataan bersama organsiasi itu yang diterbitkan pada 1 Mei 2022 siang tadi .
Dalam pernyataanya, para pekerja media masih menghadapai bayang bayang masa pandemi dengan upah tidak layak, pemotongan upah hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Indikator di sejumlah media nasional dan daerah yang membayar upah pekerjanya tidak sesuai dengan kebutuhan minimum menjadi masalah majemuk. Banyak di antara pekerja media baik jurnalis cetak, televisi maupun online dan foto hanya dibayar separuh dari upah mereka,” tulis pernyataan itu lebih lanjut.
Tak hanya upah, pekerja media juga menghadapai masalah pembayaran tunjangan hari raya atau THR yang banyak tidak dibayarkan secara utuh dan hanya diangsur tanpa batasan waktu yang jelas. Hal itu jelas bertentangan dengan surat edaran Menaker RI No M/1/HK.04/IV/2022 tentang pembayaran THR.
Selain itu kasus PHK yang terbaru dialami lebih dari dua ratus pekerja media di BeritaSatu TV yang dikelola oleh PT First Media News. Status pekerja yang di-PHK sebagian besar merupakan pekerja tetap, disusul jurnalis di daerah , dan pekerja outsourcing atau alih daya.
“Kondisi ini sungguh ironi ketika para pekerja media sedang memperingati Hari Buruh Se-dunia atau May Day yang biasa diperingati 1 Mei kali ini bertepatan dengan bulan suci Ramadan dan jelang Lebaran,” kata ketua AJI indonesia Sasmito Madrin.
Ia menyebut kebijakan pemerintah dengan menerbitkan Undang-undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan semakin menciptakan hubungan industrial yang menyulitkan pekerja media.
Selain itu AJI, IJTI, PFI, dan LBH Pers melihat Undang-undang Cipta Kerja masih saja digunakan perusahaan meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pembentukan undang-undang ini bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pernyataan Meminta perusahaan tidak menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk menunda atau tidak membayar THR, tidak memberikan upah layak, dan melakukan PHK terhadap buruh media.
“Perusahaan media harus tunduk dengan surat edaran Menaker RI Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang pembayaran THR. Di antaranya tidak mengangsur pembayaran,”kata Sasmito menegaskan.
Selain itu AJI IJTI, dan PFI juga minta agar perusahaan menghilangkan status tenaga kontrak maupun kemitraan bagi pekerja media yang selama ini bagian dari pekerjaan utama perusahaan media penyaji informasi publik.
Sedangkan LBH Pers yang selama ini banyak mendampingi kasus sengketa ketenagakerjaan pekerja media, meminta agar pemerintah dalam hal ini Kemenaker dan Dinas Tenaga Kerja di daerah mengawasi hubungan industrial perusahaan media.
“Pemerintah harus hadir ketika terjadi sengketa hubungan industrial yang selama ini merugikan pekerja media,”kata direktur LBH pers Ade Wahyudin.
Ia juga mendorong pekerja media untuk berserikat sebagai alat hubungan industrial yang lebih sehat dengan manajemen perusahaan. (*)