Melibatkan perwakilan pemerintah dan pelaku usaha

Serat.id – Puluhan organisasi masyarakat sipil dari seluruh Indonesia mengidentifikasi masalah perbudakan anak buah kapal sekaligus mendorong percepatan perbaikan pelindungan ABK Indonesia perikanan. Langkah itu melibatkan perwakilan pemerintah dan pelaku usaha yang bertemu pada Rabu, 18 Mei 2022 dalam workshop “Permasalahan ABK Indonesia dan Solusi Multi-Stakeholder Terkait Peta Jalan Kesiapan Indonesia Meratifikasi Konvensi ILO 188”.
“Salah satu yang dibahas belum adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah hingga saat ini terkait dengan tata laksana perekrutan dan penempatan ABK sebagai turunan dari UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,” kata Ketua Umum serikat buruh migran Indonesia (SBMI), Hariyanto Suwarno.
Suwarno mengatakan kondisi itu semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya eksploitasi terhadap ABK Indonesia. Ketidakjelasan aturan di dalam negeri juga akan melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di tingkat internasional.
“Apalagi jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum diratifikasi “ kata Suwarno menambahkan.
Aktivis HAM dari HRWG Daniel Awigra menyebutkan perlu ada peta jalan yang jelas menuju ratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan tersebut.
Dalam hal ini, peta jalan perlu mempertimbangkan suara dari berbagai pemangku kepentingan, baik perwakilan sejumlah kementerian, serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil, asosiasi atau pelaku bisnis sektor perikanan, perusahaan perekrutan dan penempatan ABK, maupun lembaga-lembaga seperti PBB dan ASEAN.
“Pelibatan dan partisipasi ABK dan serikat buruh dalam perumusan peta jalan ini juga menjadi kunci pembuka bagi jalan pelindungan ABK. Dokumen bersama ini akan jadi rujukan bersama dan komitmen politik untuk mengakhiri praktik kerja paksa dan pembiaran perbudakan modern di laut,” kata Daniel.
Ia menyebut keberadaan para ABK adalah bagian dari rantai industri perikanan global, juru kampanye EJF Azizah Hapsari tak menampik bahwa ada kecenderungan perumusan peta jalan menuju ratifikasi Konvensi ILO 188 yang sarat dengan kepentingan bisnis.
Namun demikian, ia mengingatkan adanya United Nations Human Rights Office of the High Commissioner (OHCHR) yang mewajibkan negara-negara berdasarkan hukum HAM internasional untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia di dalam wilayah yurisdiksi mereka.
“Termasuk terhadap potensi pelanggaran HAM oleh korporasi atau sektor swasta. Semua perusahaan diharapkan untuk menghormati hak asasi manusia, dan harus dapat mengatasi dampak pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan mereka,” kata Daniel menjelaskan.
Menurut dia, ABK adalah ujung tombak rantai industri perikanan global yang bernilai ratusan juta dolar dan angkanya terus bertambah tiap tahunnya. Namun, mereka adalah pihak yang paling tidak diuntungkan dalam bisnis ini.
Sebagai negara pengirim ABK terbesar di dunia, langkah Indonesia dalam melindungi ABK-nya dengan ratifikasi Konvensi ILO 188 akan menjadi panutan negara-negara tetangga yang juga sebagai negara pengirim ABK
Koordinator Kebijakan Laut Greenpeace Indonesia, Annisa Erou, mengatakan workshop ini akan terbentuk sebuah tim kecil yang diusulkan beranggotakan 5 sampai dengan 9 orang sebagai perwakilan pihak pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, asosiasi perikanan, pelaku bisnis hasil tangkapan laut, dan perusahaan perekrutan dan penempatan ABK.
“Tim kecil ini akan menjalankan kajian terhadap berbagai temuan kasus serta laporan seputar praktik kerja paksa dan perdagangan orang terhadap ABK Indonesia,” kata Annisa.
Tim kecil ini juga berdasarkan mandat dari peserta workshop, akan menyusun rekomendasi dan merancang peta jalan menuju ratifikasi Konvensi ILO 188 untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah. (*)