Rancangan aturan itu masih memuat banyak pasal bermasalah, di antaranya ; pasal terkait Living Law: pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah karena adanya aturan menuruti penguasa masing-masing daerah.

Serat.id – Pegiat organisasi masyarakat sipil dari berbagai kalangan menggelar aksi membentangkan spanduk penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) saat Car Free Day di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu 27 November 2022.
Aksi ini merupakan protes dari masyarakat terhadap DPR dan pemerintah yang berencana mengesahkan (RKUHP) sebelum masa reses ketiga atau sebelum 16 Desember 2022.
“Selain aksi bentang spanduk, hari ini juga dilakukan sosialisasi bahaya RKUHP dengan membagi flyer kepada warga yang berada di area Car Free Day. Materinya terkait pasal-pasal berbahaya,” kata direktur yayasan lembaga bantuan hukum indoensia (YLBHI), M. Isnur, Minggu 27 November 2022.
Menurut Isnur, pemantauan masyarakat terhadap proses revisi RKUHP di DPR pada 24 November 2022, menujukkan rancangan itu masih memuat banyak pasal bermasalah, di antaranya ; pasal terkait Living Law: pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah karena adanya aturan menuruti penguasa masing-masing daerah.
“Termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal ini, sebab saat ini masih banyak terdapat perda diskriminatif,” ujar Isnur menambahkan.
Selain itu, masih menerapkan pasal pidana mati yang merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Padahal pasal itu harus ditiadakan karena beberapa kasus terjadi pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi.
“Pasal terkait Perampasan aset untuk denda individu juga masih kami pertanyakan, karena hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa,” ujar Isnur menjelaskan
Tak hanya itu, dalam RKUHP juga masih menampilkan pasal penghinaan presiden yang menurut Isnur sebagai pasal anti kritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada pidana.
Selain masih memuat beragam pasal bermasalah, proses pembahasan dari RKUHP juga tidak partisipatif dan harus melalui proses diskusi lanjutan.
“Jika negara mengesahkan RKUHP, itu menunjukkan pemeirntah tidak peduli dengan suasana duka yang masih dirasakan masyarakat,” katanya.