Kasus femisida paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, dengan masing-masing 35 kasus. Kemudian Provinsi Jawa Barat sebanyak 29 kasus, sementara Provinsi Sulawesi Utara sebanyak 19 kasus dan Provinsi Aceh sebanyak 16 kasus.

Serat.id – Laporan analisa pemberitaan online dari Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta mencatat sepanjang tahun 2021 terdapat sebanyak 256 kasus pembunuhan perempuan di Indonesia dengan jumlah korban mencapai 289 jiwa perempuan dan jumlah pelaku mencapai 309 orang.
“Di antaranya, ditemukan 217 kasus femisida, 17 kasus pembunuhan akibat tindak kriminal, 4 kasus pembunuhan transpuan, dan 18 kasus pembunuhan bayi, balita, dan anak perempuan,” ungkap Fatima Gita Elhasni, Research Officer Jakarta Feminist dalam rilis yang diterima serat.id, Rabu, 7 Desember 2021.
Fatima menyebut sebesar 49 persen dari kesuluruhan kasus dilakukan di area rumah, dan 37 persen dari korban yang dapat diidentifikasikan memiliki hubungan intim dengan pelaku. Ia menjelaskan bahwa femisida adalah pembunuhan perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap perempuan, termasuk transpuan.
Kasus femisida bisa terjadi dalam ranah personal, seperti hubungan keluarga dan intim/romantis, maupun ranah publik, seperti di tempat kerja. Femisida memiliki dimensi yang berbeda dengan pembunuhan biasa, karena memiliki unsur kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) serta penindasan terhadap perempuan yang terjadi secara masif.
Kasus femisida paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, dengan masing-masing 35 kasus. Kemudian Provinsi Jawa Barat sebanyak 29 kasus, sementara Provinsi Sulawesi Utara sebanyak 19 kasus dan Provinsi Aceh sebanyak 16 kasus.
“Hal unik terjadi ketika kami mengkalkulasikan kontribusi kasus pembunuhan perempuan di suatu daerah dengan tingkat kerentanan per 100.000 perempuan di daerah tersebut,” ujarnya
Ia menjelaskan tingkat kerentanan perempuan menjadi lebih tinggi di daerah-daerah yang jumlah kasusnya lebih rendah, seperti Sulawesi Utara dan Aceh dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas temuan tersebut, ditemukan bahwa perempuan lebih rentan atas pembunuhan di wilayah-wilayah tersebut.
“Ini bisa kita tanyakan kembali, apakah ada konteks lokal di dimensi sosial-kultural pada daerah tersebut yang mempengaruhi perbedaan angka ini?,” ujarnya
Berdasarkan analisa pemberitaan kasus, motif pelaku femisida yang paling sering ditemukan adalah masalah komunikasi antara pelaku dan korban sebanyak 75 kasus, diikuti problem asmara sebanyak 36 kasus, lalu penyerangan seksual sebanyak 22 kasus, dan kehamilan sebanyak 18 kasus.
Permasalahan komunikasi ini kebanyakan terjadi pada relasi-relasi intim, khususnya di ranah rumah tangga.
Siti Mazuma selaku Direktur LBH Apik Jakarta mencatat, LBH Apik Jakarta sudah melakukan pendampingan pada 1.512 korban kekerasan terhadap perempuan di tahun 2022.
“Kami menemukan bahwa KDRT memang menjadi motif kekerasan terbanyak,” ungkapnya.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan secara umum banyak masyarakat beranggapan kalau para kobran meninggal, maka haknya telah selesai. Padahal, mereka masih memiliki hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan baik untuk korban maupun keluarga dan relasi yang ditinggalkan.
Khanza Vinaa dari Sanggar Swara menyayangkan sedikitnya pemberitaan media untuk kasus pembunuhan perempuan transgender. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena letak geografis peristiwanya hingga adanya anggapan bahwa peristiwa tersebut tidak penting.
“Kerap kali bahkan ada anggapan bahwa kelompok trans pantas dibunuh karena dianggap menyimpang,” ucapnya