
Di awal tahun 90-an ada iklan rokok yang tagline nya “How Low Can You Go?”. Maksudnya, mau tunjukkan produknya rendah kandungan tar dan nikotin. Di Piala Dunia Qatar tahun ini, ketika dua Negara Asia, Jepang dan Korea Selatan berhasil lolos ke fase grup (16 besar) melalui perjuangan yang sangat heroik dan spartan, ada pertanyaan yang mirip tagline itu untuk keduanya, “How Long Can You Go?”.
Dan kita semua sudah tahu jawabannya. Mereka tidak bisa melewati babak 16 besar. Jepang kalah adu penalti lawan Kroasia 1-3, setelah menyudahi skor sama 1-1, hingga masa perpanjangan lewat. Empat jam setelah itu, giliran Korea Selatan dikalahkan Brasil 1-4.
Saya sebenarnya berharap, keduanya bisa saling berhadapan di babak 8 besar. Bukan karena sentimen sesama bangsa Asia, tapi karena rivalitas di antara keduanya memang menarik untuk diamati.
Secara geografis, Jepang dan Korea Selatan bertetangga. Tapi mereka sesungguhnya adalah rival, dalam banyak bidang kehidupan. Jepang pernah menjajah Korea pada tahun 1910 hingga 1945, sebagai batu loncatan untuk mengkolonisasi China (1931-1945).
Sangat terasa bahwa Korea menganggap Negara bekas penjajahnya adalah “rival”, istilah yang barangkali lebih lunak dibanding “musuh”. Dalam segala hal, Korea Selatan tidak ingin kalah dari Jepang. Negeri ginseng itu telah menyublimasi rasa benci akibat konolinasi di masa lalu, menjadi spirit “tak mau kalah” dengan bekas penjajahnya, yang sekaligus tetangga dekatnya.
Di dunia otomotif, Jepang punya Toyota, Honda, Suzuki, dan sebagainya, Korea Selatan punya Hyundai. Jepang punya Sony, Toshiba, dan lainnya, Korsel punya Samsung yang juga mendunia. Jepang punya Yonex untuk segala peralatan badminton, Korsel bisa memunculkan Victor.
“Saya tidak melihat mobil-mobil Jepang di jalan-jalan Korea,” tutur teman dosen Unika Soegijapranata, yang ke Korea sebelum pandemi. Kontras sekali dengan negeri kita, yang menjadi “tuan rumah yang baik” bagi industri otomotif Jepang.
Di industri hiburan Jepang bisa menghasilkan film film anime (kartun khas Jepang), yang sebagian di antaranya diproduksi untuk film layar lebar, Korea Selatan menyainginya dengan drama korea. Drakor itu punya penggemar fanatik di seluruh dunia.
Saat ini, bahkan bisa dibilang boyband dan girlband asal Korea Selatan lebih menonjol dibanding Jepang. Hingga Korsel pun mendapatkan kehormatan untuk menampilkan penyanyinya di pembukaan Piala Dunia 2022, pada 20 November lalu.
Yang menarik, Korea Selatan menjadikan Jepang sebagai rival, tapi sekaligus modelnya. Filsuf asal Prancis Rene Girard pernah mengemukakan, rival dan model bisa melebur jadi satu, ketika memaparkan konsep mimesis (peniruan). Jepang, bagi Korea Selatan, adalah Negara yang dibenci, tapi sekaligus juga dikagumi.
DNA Rivalitas Masyarakat
Rivalitas tampaknya juga menjadi bagian dari DNA seluruh masyarakat Korea Selatan. Barangkali kita masih ingat peristiwa di Piala Dunia Rusia 2018 lalu. Korea Selatan berhasil menumbangkan Jerman 2-0 di fase grup. Karena kekalahan itu, Jerman tak berhasil lolos ke babak 16 besar. Sebaliknya, sekalipun menang, Korsel pun tak bisa melewati fase grup karena kalah 1-2 dari Meksiko dan 0-1 dari Swedia.
Kemenangan Korea Selatan itu menjadi bahan perbincangan hangat di seluruh dunia. Tapi masyarakat Korea Selatan sendiri menganggap dingin kemenangan itu. Mereka cuek saja ketika tim Korea kembali ke tanah air. Pelatih Sin Tae Young pun dianggap kurang berhasil.
Apa yang membuat sikap dingin itu muncul. Tak lain adalah Jepang! Pada Piala Dunia Rusia itu Jepang lolos dari fase grup, setelah menang lawan Kolombia (2-1), seri lawa Senegal (2-2), dan kalah lawan Polandia (0-1). Sayang di babak 16 besar tim samurai biru itu dikandaskan tim unggulan Belgia 2-3, setelah lebih dulu unggul 2-0.
Di Piala Dunia kali ini keduanya tak bisa melangkah jauh ke babak 8 besar. Kita pun bersedih. Tapi keduanya telah meninggalkan kenangan tak terlupakan bagi para penonton bola dunia. Mereka penuh determinasi, pantang menyerah, dan sangat heroik, sampai peluit akhir berbunyi.
Dan Jepang juga memenangkan simpati dari masyarakat dunia untuk hal-hal di luar pertandingan sepakbola. Suporter mereka membersihkan segala sampah yang mereka hasilkan di stadion. Pelatih mereka, Hajime Moriyasu membungkukkan badan di tengah lapangan seusai kalah dari Kroasia. Dalam budaya Jepang, sikap itu dinamakan ojigi. Maknanya bisa macam-macam. Di antaranya rasa penyesalan dan minta maaf karena kekalahan itu.
Di ruang ganti, para pemain dan ofisial Jepang pun merapikan ruangan dengan sebaik mungkin, dan meninggalkan tulisan dalam bahasa Arab, yang artinya “Terima kasih”.
Dua Negara Asia, Korea Selatan dan Jepang, telah menyajikan pertunjukan yang memikat di Piala Dunia Qatar 2022. Penyanyi Korsel turut menjadi bagian penting dalam upacara pembukaannya. Pelatih, pemain, ofisial dan supporter Jepang di akhir keikutsertaan mereka di pesta bola dunia kali ini, melalui tindakan-tindakan yang terpuji, yang menunjukkan betapa berkelasnya tingkat peradaban bangsa itu.***
- Maksim D Prabowo –wartawan serat.id