
Serat.id – Kasus kekerasan terhadap jurnalis banyak didiamkan. Sebagian kecil berhasil masuk proses hukum. Namun ada jurnalis yang berakhir dengan meregang nyawa karena berita.
Herliyanto dan Nurhadi, dua jurnalis korban kekerasan yang bekerja di Jawa Timur punya kisah berbeda.
**
Tak mudah menelisik kembali peristiwa pembacokan 17 tahun silam, di jalan setapak Hutan Jati Kawasan Resort Pemangku Hutan KRPH Klenang, Desa Tulupari, Tiris, Probolinggo, Jawa Timur.
Korbannya, Herliyanto (38), jurnalis yang bekerja untuk Tabloid Delta Pos. Warga menemukan jasad Herliyanto yang tergeletak tengkurap bersimbah darah. Tak bernyawa, pada Sabtu 29 April 2006.
Heri, sapaan akrab Herliyanto luka di bagian perut, tengkuk belakang dan kepala bagian atas. Usus terburai keluar. Di lokasi kejadian tertinggal sepeda motor, tas pinggang, dompet, kamera dan block note. Polisi menemukan sarung senjata tajam dan sandal. Dugaannya, milik pelaku pembacokan. Di sekitar lokasi kejadian, warga juga menemukan telepon genggam.
Tim Terakota.id mencoba mengumpulkan kepingan peristiwa itu untuk membuka ingatan kasus kekerasan jurnalis yang hingga kini tak terselesaikan.
Sami Mudiyana, istri Herliyanto yang tinggal di Desa Tarokan, Banyuanyar, Probolinggo, menolak ditemui. Apalagi bercerita seputar kematian suaminya.
Ia ingin melupakan trauma dan kenangan ayah dua anak ini.
Dalam konferensi pers pada 29 September 2006, Kapolres Probolinggo, AKBP Nana Sudjana AS menyebut, Abdul Basyir, Ketua Lembaga Ketahanan Desa dan pimpinan proyek jembatan di Desa Rejing diduga kuat sebagai pelaku utama yang menyuruh keenam orang lainnya menghabisi Heri karena sakit hati dengan pemberitaan penyelewengan dana proyek jembatan yang getol ditulis Heri.
Para pembunuh bayaran mendapat bayaran satu juta rupiah per orang.
Pelaku pembunuhan masih berkeliaran
Dalam penyidikan, polisi menangkap Slamet, Suid, dan Nipah. Ketiganya warga Desa Ranuyoso, Ranuyoso, Lumajang. Sedangkan Abdul Basyir berhasil melarikan diri.
Dari rekonstruksi, peran ketujuh orang itu terungkap. Abdul Basyir, Leng, Sun, Limjer dan Slamet sebagai eksekutor. Suit dan Nipa berjaga mengamankan lokasi dari orang yang melintas di lokasi.
Abdul Basyir melancarkan aksinya dengan menelpon dan mengajak Herliyanto bertemu di jalan setapak hutan jati KRPH Klenang, usai Magrib. Dengan menggunakan tiga sepeda motor, Abdul Basyir boncengan dengan Suit dan sun, Slamet berboncengan dengan Limjer, sedangan Nipa berboncengan dengan Leng.
Belum sempat mematikan mesin sepeda motor, para pelaku membacok tubuh Herliyanto. Setelah memastikan tubuh tak bernyawa, mereka melarikan diri. Abdul Basyir, Suit dan Sun lari ke arah Desa Tulupari, Tiris. Sedangkan Limjer, Slamet, Nipa dan Leng menggeber motornya ke arah Desa Tarokan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa ketiga pelaku dengan pasal 340 KUHP Junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, dengan tuntutannya 13 tahun penjara. Namun, di tengah persidangan, Slamet mengamuk, menyerang tahanan lain dan mencoba bunuh diri.
Warga Desa Alun-Alun, Ranuyoso, Lumajang ini mengalami gangguan jiwa berat karena kondisi psikotik dan dikirim ke RSJ dr Radjiman Wediodiningrat, Malang, pada 23 Maret 2007.
Slamet sembuh setelah menjalani dua bulan perawatan. Pihak RSJ mengirimkan surat hingga dua kali ke Kejaksaan Negeri Kraksaan untuk mengusulkan pemulangan Slamet.
Namun, Slamet kabur dari RSJ pada 29 Juni 2007, nampak sehat dan sering terlihat mencari rumput dekat rumahnya.
Kejahatan tersembunyi dan tak terselesaikan
Perkara kian gelap setelah Majelis Hakim PN Kraksaan, Probolinggo, Kamis, 19 Juli 2007 memutuskan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana. Kasasi JPU ke Mahkamah Agung berujung penolakan.
Direktur Divisi Kebebasan Berekspresi dan Pengembangan Media Bidang Komunikasi dan Informasi UNESCO, Guy Berger pernah melayangkan surat kepada Delegasi Tetap Republik Indonesia di UNESCO, tertanggal 21 Februari 2017. Isinya mempertanyakan status penyidikan hukum atas pembunuhan Herliyanto.
Jawabannya: Status hukum kasus pembunuhan Herliyanto telah memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht).
Herliyanto jurnalis ke-6 yang tercatat dalam Buku “Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia” yang terbit pada 12 Oktober 2022 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sebagai bagian sejarah kelam dan pengingat kasus pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia yang belum tuntas.
Buku berisi kisah jurnalis terbunuh karena berita yang masuk kategori dark number atau masih gelap penyelesaiannya. AJI memverifikasi ulang, dan menelusuri kembali di lapangan.
“Buku ini sebagai usaha menulis sejarah dan mendokumentasikan dark number,” kata Koordinator Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung yang juga menjadi Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ).
Ia mengakui sebagian pelaku mendapat vonis, namun tidak menyentuh pelaku utama. Ada impunitas atau pembiaran terhadap pelaku pembunuhan jurnalis. negara bertanggungjawab menyelesaikan perkara ini
“Negeri ini harus mengakui catatan kelam dari para jurnalis yang terbunuh karena berita dan hingga kini belum terungkap,” imbuhnya.
AJI bersama LBH Pers mendesak presiden dan Dewan Pers membentuk tim pencari fakta dan mengawal agar kasus pembunuhan jurnalis terselesaikan.
“Dewan Pers memiliki mandat UU Pers untuk mendorong penegak hukum. Buka lagi dark number dan bekerja sama dengan Komnas HAM yang memiliki hak menyelidiki penegakan hukum pro justitia. Dewan Pers harus bersuara terus karena perkara ini seolah terlupakan,” tandas Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin kepada tim Serat.id dan Terakota di Jakarta, Januari 2023.
***
Perjuangan mencari keadilan
Dua tahun lalu, Nurhadi harus berhadapan dengan hukum. Kisahnya berawal ketika jurnalis Tempo di Surabaya ini mendapat tugas dari redaksi untuk mengonfirmasi bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak, Angin Prayitno Aji, terduga menerima suap hingga Rp 50 miliar, di acara resepsi sang putri.
Nurhadi bersama videografer F (inisial) mendatangi lokasi pernikahan di Gedung Samudra Bumimoro, Krembangan, Surabaya, 27 Maret 2021. Besan Angin, Kombes Achmad Yani, bekas Karo Perencanaan Polda Jatim.
“Saya sempat memotret pelaminan dan mengirim foto ke redaktur untuk memastikan target wawancara,” kata Nurhadi.
Namun, sesaat kemudian, dua orang berseragam batik menggelandangnya keluar, mengintrogasi dan merampas gawainya. Nurhadi jadi bulan-bulanan.
“Saya dianiaya selama 2-3 jam, dijambak, dipukul, ditampar, kepala dimasukan kresek warna merah dan diancam disetrum,” kenang Nurhadi kepada tim Serat.id dan Terakota.id pada Januari 2023.
Nurhadi lantas dipulangkan pukul 00.30 WIB. Sesampai di rumah, Nurhadi meminjam telepon istri dan menghubungi redaktur Tempo.
“Esoknya, jajaran redaksi majalah Tempo rapat daring. Ada pemred, redpel dan redaktur utama. Pemred mendukung penyelesaian secara hukum,” katanya.
Sejak itu, Nurhadi berkomitmen mencari keadilan dengan menempuh jalur hukum.
**
Telepon Ketua AJI Surabaya Eben Haezer, berdering pada Minggu, 28 Maret 2021, pukul 03.00 WIB. Di ujung telepon, suara jurnalis Tempo Ferdinandus Moses memintanya AJI Surabaya mendampingi Nurhadi yang juga anggota organisasi profesi ini.
“Saya tindaklanjuti menghubungi advokat LBH Lentera dan KontraS untuk menjemput Nurhadi dan berkoordinasi di kantor KontraS Surabaya,” ujar Eben.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi menemui Nurhadi dan proaktif menawarkan perlindungan. Selama 1,5 tahun LPSK memberi perlindungan melekat kepada Nurhadi dengan memantau setiap aktivitas dan memasang kamera pengawas di setiap sudut rumah Nurhadi.

“Pelaku mendatangi rumah saksi dan menakuti istrinya. pasca reka ulang, dua orang membuntuti Nurhadi. Sejak itu LPSK melindungi Nurhadi dan istri di safe house. Kami solid dengan belajar banyak dari kasus Nurhadi dan berkaca dari kasus Herliyanto yang advokasinya kehabisan stamina,” kata Eben.
Kolaborasi kunci tuntaskan kasus kekerasan
Tim non litigasi dari AJI Indonesia, AJI Surabaya dan Tempo. AJI Surabaya mengorganisir aksi kampanye menggaungkan kasus kekerasan Nurhadi secara serentak dan masif melalui media sosial, hingga pelibatan lintas organisasi pers dan akademisi sebagai ahli pers. Tempo berkomitmen dengan hadir di persidangan dan dukungan kebutuhan operasional.
Koordinator Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung menyebut dalam kasus Nurhadi, AJI mengkoordinir advokasi dan menyediakan pendanaan pendampingan non litigasi. “Kami lobi ke Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi III DPR, sampai Mahkamah Agung. Butuh biaya besar,” katanya.
Sedangkan tim advokasi litigasi mempercayakan kepada KontraS dan LBH Lentera secara Pro bono, menyusun kronologi dan mengumpulkan bukti pendukung dan visum et repertum untuk dokumen laporan perkara ke Polda Jatim.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fathul Khoir menjelaskan, tim litigasi berperan mendampingi proses hukum dan mendorong penyidik menerapkan UU Pers dalam perkara ini. Dukungan dari korban dan perusahaan media juga penting selama proses hukum.
“Tak banyak jurnalis yang mengalami kekerasan mendapat dukungan penuh dari perusahaan pers. Dalam perkara Nurhadi, Tempo cukup kuat dan masif di persidangan, pemred Tempo dan ahli pers hadir menjelaskan persoalan delik pers secara gamblang. Hakim memutus hak restitusi korban. Dalam konteks hukum pidana, jarang sekali mendapat restitusi,” katanya.
Nurhadi menjadi kasus pertama kekerasan polisi terhadap jurnalis dengan vonis bersalah hingga tingkat Kasasi di Mahkamah Agung.
Majelis hakim PN Surabaya memvonis Bripka Purwanto dan Brigpol M Firman Subakhi selama 10 bulan penjara. Keduanya terbukti melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dengan menganiaya Nurhadi saat melakukan kerja jurnalistik. Terdakwa juga harus membayar restitusi kepada saksi Nurhadi sebesar Rp 13.813.000 dan saksi F Rp 21.850.000.
Terdakwa banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya dan vonis menyusut jadi delapan bulan penjara.
Pada 9 Desember 2022, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan atas kasasi yang diajukan kedua terdakwa yang menguatkan putusan di PT Surabaya.
Fathul Khoir mengatakan, kasus Nurhadi sebagai kemenangan kecil. Namun pihaknya tak puas karena belum menjerat aktor utama yang memerintah terdakwa dan institusi kepolisian juga tidak menjatuhkan hukuman Pemberhentian dengan Tidak Hormat (PDTH) kepada pelaku.
Hingga kini Nurhadi masih menunggu proses eksekusi terdakwa. Pelaku masih aktif sebagai aparat penegak hukum sehingga ada dugaan proses eksekusi akan sulit. Pasca putusan MA menjadi masa yang rentan dan rawan.
“Khawatir ada perlawanan. Jika eskalasi meningkat jelang eksekusi, petugas LPSK kembali memberi perlindungan melekat 24 jam,” jelas Nurhadi yang hingga kini masih dalam perlindungan LPSK.
baca juga : kekerasan jurnalis di daerah tak kunjung padam
***
Literasi hukum jadi solusi
Hasil riset AJI dalam Indeks Keselamatan Jurnalis (IKJ) 2022 menunjukkan, secara umum pengetahuan jurnalis mengenai risiko keamanan fisik, digital, psikologis, maupun kekerasan seksual sangat baik.
Namun dukungan keamanan dari tempat kerja mendapat indeks rendah. Indikatornya, minim pelatihan keamanan jurnalis. Pelatihan keamanan jurnalis justru berasal dari organisasi profesi.
Ini menjadi catatan perbaikan keamanan jurnalis bagi perusahaan pers dan pemangku kepentingan. Perkara Nurhadi menjadi pembelajaran bagi perusahaan pers, organisasi profesi, advokat dan jurnalis.
Dukungan Tempo terhadap kasus Nurhadi menjadi penting, agar korban tidak merasa sendiri.
Aliansi Jurnalis Independen AJI Malang mencatat lemahnya perlindungan jurnalis di daerah. Contohnya dalam aksi tolak Omnibus Law, 15 jurnalis di Malang menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Ini kasus kekerasan oleh aparat yang terbanyak di Indonesia.
Ketua AJI Malang Mohammad Zainudin juga mendata dari 39 jurnalis peliput tragedi Kanjuruhan, ada sembilan jurnalis yang harus mengikuti trauma healing hingga pulih.
“Banyak jurnalis tak menyangka liputan berakhir tragedi. Tidak ada persiapan diri dan perlengkapan khusus seperti masker dan helm saat terjadi tembakan gas air mata dan lemparan batu,” ungkap Zainudin.
Jurnalis sebaiknya memprediksi potensi konflik dan risiko liputan dan redaksi harus memetakkan profil jurnalis yang akan liputan untuk meminimalisir risiko.
“Kami menggelar pelatihan keamanan dan keselamatan jurnalis muda untuk membekali kesiapan liputan konflik, bencana alam, bencana kesehatan, manajemen risiko, dampak psikososial, keamanan digital dan strategi perlindungan,” ujarnya.
Jaring pengaman untuk korban kekerasan
Di Jawa Tengah, AJI Semarang juga memitigasi maraknya kasus kekerasan jurnalis dengan mempersiapkan jaring aman menyediakan rumah aman, advokasi litigasi bekerjasama dengan LBHI dan dana khusus bagi jurnalis penyintas.
“Belum ada sistem yang baik untuk perlindungan jurnalis di daerah, tapi kami berupaya ketika jurnalis butuh jaring aman. Setidaknya kami tidak diam,” jelas Muhammad Dafi Yusuf, Divisi Advokasi AJI Semarang kepada tim Serat.id.
Dafi menambahkan, di banyak kasus kekerasan, perusahaan pers sebagai tangan pertama justru tidak menaruh perhatian. Apalagi jika kasusnya kekerasan seksual, korban enggan melapor ke kepolisian.
“Kami bekerja sama dengan LRC KJHAM dan LBH APIK mendampingi kasus kekerasan seksual dengan Pro bono, tapi kami tidak bisa bergerak kalau korban tidak siap,” imbuhnya.
“Sumber daya yang ada di organisasi profesi di daerah juga tak imbang dengan banyak persoalan yang menimpa jurnalis. Harapannya ada sistem pelaporan kasus kekerasan terhadap jurnalis di daerah yang lebih baik.”
Riset LBH Pers tahun 2019 dalam laporan “20 Tahun UU Pers: Menagih Janji Perlindungan” menyebut pola klasik kasus kekerasan jurnalis yang terus berulang.
Ade Wahyudin, Koordinator LBH Pers menilai minimnya kesadaran pentingnya penyelesaian kasus kekerasan jurnalis memicu tingginya kasus kekerasan.
“Proses hukum mandek dan sangat sedikit kasus yang masuk proses kepolisian karena pelaporan dan penyelesaianya lama. Ada terkesan tidak ada tindak lanjut sehingga jurnalis atau perusahaan media lebih memilih diam atau damai. Kondisi ini menambah deretan panjang kasus impunitas kekerasan terhadap jurnalis dan terus terulang,” jelas Ade.
Menurut Ade, literasi hukum kepada jurnalis jadi penting. Salah satu upaya LBH Pers dengan meluncurkan platform konsultasi hukum lapor.lbhpers.org. Jurnalis dapat konsultasi kasus pidana, ketenagakerjaan, atau sengketa pers.
“Konsultasi efektif untuk jurnalis di daerah yang tak ada LBH Pers dan advokat Pro bono. Pengetahuan tentang hukum menjadi titik awal keberanian jurnalis agar tak abai dan berani melapor jika mengalami kekerasan,” tandas Ade.
***
Lindungi dirimu !
Kekerasan terhadap jurnalis terjadi tanpa diduga, di mana saja dan kapan saja. Jurnalis mutlak melindungi diri mempersiapkan protokol keamanan peliputan.
Cek kesiapan liputanmu dengan mengisi kuis berikut ini :
[ProProfs src=”https://www.proprofs.com/quiz-school/ugc/story.php?title=mzcxmje0oqjhn8&id=3714458&ew=430″ width=”100%” height=”500″]
Untuk lebih lengkap, sila berkunjung ke : https://advokasi.aji.or.id/safety.html
Anda seorang jurnalis dan mengalami kekerasan
Atau mengetahui ada kekerasan terhadap jurnalis di sekitarmu
Mari bersuara dengan klik : lapor.lbhper.org / https://advokasi.aji.or.id/v/lapor.html
Tim Penulis :
Girindra Whardana, Noni Arnee, Via Pustaka
Eko Widiyanto, Zainul Arifin, Abdul Malik
Grafis dan ilustrasi :
Tim Serat.id
Liputan kolaborasi Serat.id dan Terakota.id didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dalam program Hibah Liputan JARING AMAN 2022 untuk #JurnalisAman.