
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) menilai diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi di Jawa Tengah. Diskriminasi tersebut terjadi dalam berbagai bentuk dan terstruktur.
“Temuan LRC-KJHAM di Jateng situasi perempuan masih mengalami diskriminasi saat akan menjadi pekerja migran, perempuan menjadi korban traficcking, perempuan menjadi korban kekerasan,” kata Nihayatul Mukharomah, Kepala Internal LRC-KJHAM dalam diskusi bertajuk “Diskusi Publik Merefleksikan Implementasi CEDAW”, Rabu, 26 Juli 2023.
Ia menjelaskan adapun bentuk diskriminasi perempuan saat menjadi pekerja migran mulai dari identitas dipalsukan, mengalami kekerasan di penampungan, pemotongan gaji oleh agen, jam kerja yang panjang, melakukan pekerjaaan tidak sesuai dengan kontrak, serta gaji yang tak dibayarkan.
Diskriminasi lainnya berupa dokumen pribadi dan surat perjanjian kerja tak diberikan, mengalami kekerasan di tempat kerja, mengalami kekerasan seksual, mengunakan visa kunjungan bukan visa kerja.
Ia juga menilai perempuan yang menjadi pekerja migran seringkali diberlakukan berbeda dibandingkan dengan pekerja laki-laki mulai syaratnya lebih mudah dipenuhi, tak perlu membayar, mengurus dokumen gratis, mendapatkan pesangon, bekerja di ranah domestik.
Perlakuan tersebut seringkali juga menjurus pada modus pelaku human traficcking yang seringkali menyasar pada perempuan. Beberapa modus tersebut yakni dengan cara merekrut tenaga ekrja melalui sekolah kejuruan.
Kemudian ada juga perekrutan tenaga kerja ke luar negeri dengan cara tidak benar, persyaratan bekerja menjadi pekerja migrran dimudahkan, serta ada yang perekrutrannya gratis tapi nantinya gaji yang diterima harus dipotong dengan nilai yang tinggi.
“Hampir semua perempuan pekerja migran yang ditemui menjadi korban kekerasan seksual di luar negeri,” katanya
Di samping itu, ia menilai sebagian besar kasus kekerasan yang diterima perempuan dalam bentuk kekerasan seksual. Di luar itu, masih adanya perempuan yang menjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga, terlebih banyak korban kesulitan untuk keluar dari lingkaran kekerasan.
Selain itu, ia menyinggung bahwa korban kekerasan seksual masih mengalami hambatan untuk mendapatkan keadilan.
Meski saat ini UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan, namun belum diimplementasikan dalam proses hukum. Hal ini terlihat dalam kasus trafiking yang dianggap remeh sebagai kasus mal administrasi.
“Dalam hak atas restitusi, tak semua jaksa mau memasukkan restitusi dalam tuntutannya. Kemudian putusan untuk kasus kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga rendah,” katanya
Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Jateng Tertinggi
Sri Dewi Indarajati, Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah memaparkan data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2022 di Jateng menduduki peringkat pertama sebanyak 940 kasus. Kemudian pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2022 menduduki peringkat kedua di Indonesia dengan 2.164 kasus.
“Sebenarnya bisa saja kita (kaget) Jateng paling tinggi, tapi kalau kita lihat dari posisi yang berbeda korban di Jateng sudah berani melapor,” katanya
Ia menjelaskan bahwa pada saat kasus kekeraan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es, maka yang harus dilakukan korban itu berani melapor. Pemprov Jateng juga telah berkomitmen melindungi perempuan agar tak menjadi korban kekerasan, eskploitasi maupun diskriminasi.
Komitmen tersebut, misalnya dalam bentuk pencegahan kekerasan di tempat kerja, dengan mempersiapkan rumah perlindungan pekerja perempuan.
Ia menyebut Pemerintah Provinsi Jateng telah mengeluarkan Perda No.2/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan yang mencangkup mengatasi berbagai masalah yang menimpa perempuan dan anak mulai dari diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi. Meski demikian, ia berharap agar Perda Provinsi dibuat turunan peraturannya di masing-masing daerah kabupaten/kota.
Di samping itu, dalam menangani perempuan pekerja migran maupun pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), Pemprov Jateng berencana membentuk dua peraturan terpisah. Ia juga menjelaskan nantinya gugus tugas TPPO juga tak lagi berada di tangan Pemprov Jateng, namun diserahkan ke Polda Jateng.
“Pemprov Jateng mengajak seluruh elemen masyarakat turut berkomitmen dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan,” katanya