
Kekerasan berbasis gender terhadap ruang hidup masih dirasakan pada sektor buruh tani, pekerja rumah tangga, perempuan dengan HIV dan sebagainya.
Hal tersebut diungkapkan beberapa perempuan dalam forum ‘kekerasan berbasis gender dan ruang hidup’ melalui aplikasi Zoom, yang difasilitasi Jaringan Perempuan Akar Rumput pada 25 Agustus 2023.
Diskusi publik itu digelar mulai pukul 10.00 hingga 12.00 pada sesi pertama dan pukul 14.00 sampai 16.00 untuk sesi kedua.
Forum tersebut untuk menyikapi Kongres Perempuan Nasional yang diselenggarakan pemerintah pada 24-26 Agustus 2023 di kampus Universitas Diponegoro Semarang.
Kegiatan itu sebagai bentuk protes serta merawat jaringan perempan di Indonesia yang termajinalkan.
Salah satu narasumber, Sulasa, buruh tani Pundenrejo, Kabupaten Pati mengungkapkan kekecewaannya terhadap PT Laju Perdana Indah (LPI), karena diduga telah melakukan perampasan lahan milik warga.
“Pihak perusahaan telah merampas lahan warga selama 20 tahun,” ucapnya.
Ia merasa dicurangi karena pemerintah tidak memihak rakyatnya dan malah membiarkan PT LPI mengunakan lahan yang seharusnya digarap oleh warga.
“Kami meminta pemerintah agar tidak memperpanjang izin LPI, supaya lahan bisa kembali dipergunakan warga,” kata Sulasa.
Ia bersama buruh tani lainnya berharap agar pemerintah memperhatikan nasib warganya. “Kami petani tapi gak punya lahan. Seluas 7,3 hektar sudah dipakai perusahaan.”
Perwakilan Ikatan Perempuan Positif Jawa Tengah, Nurul Safaatun juga mengeluhkan stok obat Antiretroviral atau ARV yang tak selalu ada.
“Perempuan dengan HIV sering kali kekurangan obat,” ujarnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, perempuan dengan HIV juga kerap mendapat kekerasan dalam rumah tangga.
“Perempuan dengan HIV juga berhak mendapat keadilan dan perlakukan yang sama,” kata Nurul.
Nurul mengaku, stigma terhadap perempuan dengan HIV masih belum positif. “Mereka masih dianggap berprilaku tidak benar dengan status HIV yang disandangnya.”
Keresahan lain juga diungkapkan Ida Fitriyani, perwakilan Pekerja Rumahan Jateng. Ia menyebut bahwa pekerja rumahan masih kerap mendapat kekerasan seksual.
“Mereka juga tidak mendapat kesejahteraan. Tidak ada kontrak kerja, upah murah dan belum ada fasilitas kesehatan,” ucapnya.
Yuri, dari Jakarta Feminist mengatakan, akar permasalahannya adalah negara.
“Dimana negara abai dan ruang hidup dirampas, perempuan juga berhak mendapat hidup yang layak,” katanya.
Menurutnya negara tidak melahirkan peraturan yang mengakomodir kebutuhan perempuan.
Jadi, lanjut Yuri, kita terus memperkuat kolektif agar negara tahu bahwa perempuan tidak bisa dibungkam.
“Kita sebagai perempuan jangan sampai terkecoh dengan janji-janji pada tahun politik ini,” terangnya.
Setiap manusia, terlebih perempuan berhak mendapatkan hidup yang layak tanpa stigma negatif.
Perempuan juga berhak mendapat perlindungan hukum atas kekerasan yang mereka alami tanpa diskriminasi dan embel-embel apapun. (*)