
Buruh masih kerap mengalami ketidakadilan di tempat kerjanya, terlebih perempuan. Mereka belum mendapatkan hak cuti haid, menyusui hingga upah layak.
Kisah pilu para buruh tersebut, didokumentasikan dalam sebuah film berdurasi 18 menit berjudul “Silenced Workers”, yang digelar saat diskusi di Maring Kopi, Semarang.
Acara tersebut diinisiasi oleh Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Semarang, bekerja sama dengan Maring Institute.
Film pendek produksi Konde.co dan Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI) itu, menceritakan tentang penindasan yang dialami buruh, dalam dua kisah berbeda.
Kisah pertama menceritakan perjuangan tiga orang buruh bernama Cyntia Arnella, Robertus Rony, dan Gendis S Utoyo, dimana mereka adalah para pekerja film yang mengalami eksploitasi kerja.
Ketiga buruh tersebut bekerja lebih dari 20 jam setiap harinya, dengan segudang permasalahan yang mereka jumpai.
Sedangkan kisah kedua, menceritan nasib yang dialami oleh para buruh pabrik.
Yuli, nama samaran, dalam film tersebut diceritakan bahwa ia masih berstatus buruh kontrak, meski sudah 10 tahun bekerja di pabrik garmen di daerah Jakarta.
Dia rela dihina karena tak mau membayar pungutan liar atau pungli di lingkungan pabrik, demi terus bisa membiayai keluarganya.
Dalam diskusi itu, hadir sebagai narasumber sutradara film Silenced Workers Dian Septi Trisnanti, jurnalis perempuan Jinawi Rana Putri dan pekerja perempuan Iip Novitasari.
Sebanyak 35 peserta jaringan dari mahasiswa, buruh, jurnalis, dan elemen masyarakat sipil lainnya ikut meramaikan diskusi yang dimulai pukul 15.30 hingga 18.30.
Dalam pemaparannya, Dian Septi menceritakan latar belakang film dan ide cerita.
“Kisahnya bermula dari eksploitasi kerja, ketidakadilan upah, tidak dipenuhinya hak-hak normatif, kerentanan menjadi korban kekerasan seksual, dan lain sebagainya,” katanya saat diskusi, Kamis, 7 September 2023.
Artinya, lanjut Dian, selama masih menjadi buruh, dimanapun mereka bekerja tetap rentan mendapatkan penindasan.
“Dalam film ini, sutradaranya ada dua. Ani Ema Susanti selaku sutradara pada bagian cerita tentang pekerja film, dan saya sendiri bagian cerita pekerja garmen,” ujarnya.
Senada, Jinawi Rana Putri juga mengungkapkan hal yang sama. Yakni pengalamanya sebagai jurnalis perempuan di salah satu stasiun TV Nasional saat peliputan.
“Menjadi wartawan memang harus standby setiap waktu dan tak terhitung lagi mana yang tergabung jam kerja atau lembur,” kata Jeje, sapaan akrabnya.
Jeje mengaku standby di lapangan bisa berhari-hari untuk mendapatkan berita.
“Pengalaman lain adalah adanya hak normative sebagai pekerja yang tidak terpenuhi, misalnya cuti haid, bahkan kekerasan seksual yang kerap dirinya hadapi,” ungkapnya.
Iip Novitasari menyatakan, bahwa baru saja mendapatkan peristiwa yang sama seperti kisah film silenced workers, di lingkungan kerjanya.
“Teman saya dimintai Rp300 ribu oleh pihak management apabila kontraknya ingin diperpanjang,” ujar Iip.
Ia juga mengatakan pihak perusahaan tidak memberikan cuti haid maupun pemenuhan gizi makanan terhadap karyawan.
Hak dan keberlangsungan hidup layak para buruh harus tetap digaungkan hingga pihak perusahaan memenuhi kebutuhan pekerjanya. (*)