Jumat, Agustus 29, 2025
26.8 C
Semarang

Masih Ada Hakim Tak Mengimplementasikan Perma Nomor 3 Tahun 2017, Pengadilan Tinggi Semarang Minta Maaf

“Perempuan yang menjadi korban mengalami beban ganda kedua kalinya atau revictimisasi, itu yang bikin korban trauma,”

Diskusi yang digelar LBH Semarang, bekerja sama dengan PMII Rayon Sayriah UIN Walisongo dan Tim Kerja Peringatan 16 HAKTP & Hari HAM bertema “Mewujudkan Pengadilan yang Inklusif melalui Implementasi Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2017”, di UIN Walisongo Semarang, Jumat, 8 Desember 2023.


Tinuk Kushartati, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Negeri (PN) Semarang mengakui masih adanya aduan aparat penegak hukum termasuk hakim yang tidak mengetahui implementasi dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Ia berjanji saat melakukan pembinaan ke beberapa hakim di beberapa daerah akan berusaha untuk meminta penerapan Perma No.3 tahun 2017 seefektif mungkin.  

“Jadi mungkin ada yang belum mengimplementasikan dengan baik Perma ini, kami mohon maaf,“ katanya.

Ia mengatakan pertimbangan Perma No.3 tahun 2017 keluar lantaran dalam konstitusi negara tidak boleh ada tindakan diskriminasi. Kemudian pertimbangan lain juga karean adanya juga ratifikasi atas konvenan Internasional tentang hak sosial dan politik (ICCPR) dan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (CEDAW).

Setidaknya ada 3 poin penting dalam pokok pembahasan Perma No.3 tahun 2017. Pertama, perempuan yang berhadapan hukum dan permasalahannya, kedua berkaitan etika dan perilaku hakim dalam mengadili perkara, ketiga putusan yang berspektif gender.

Ia menjelaskan perempuan yang berhadapan hukum bisa jadi pelaku, korban, saksi, maupun pihak penggugat maupun tergugat. Adapun asas hakim dalam mengadili perkara perempuan harus berdasarkan kemanfaatan dan kepastian hukum, harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetraan gender, keadilan, persamaan di hadapan hukum.

“Perempuan yang menjadi korban mengalami beban ganda kedua kalinya atau revictimisasi, itu yang bikin korban trauma,” katanya.

Ia menjelaskan dalam Perma No.3 tahun 2017 tersebut ada beberapa hak perempuan dalam berehadapan dengan hukum.  Hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, bebas dari ancaman, kemudian ada hak memberikan keterangan tanpa tekanan, lalu ada hak mendapatkan penerjemah, ada hak bebas dari pertanyaan yang menjerat, hak mendapatkann informasi mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan.

Selain itu, ada hak dirahasiakan identitasnya, hak mendapatkan nasihat hukum, hak atas pemulihan, hak mendapatkan pendamping, hak mendapatkan restitusi.  

Meski begitu, ia mengakui ada banyak hambatan perempuan berhadapan dengan hukum dalam mendapatkan keadilan. Beberapa diantaranya meliputi keterbatasan pengetahuan tentang hak-hak hukum, adanya ancaman, tekanan, stigma terhadap perempuan, keterbatasan keuangan, lalu keterbatasan akses ke penasihat hukum.

Lalu ada juga hambatan lainnya berupa akuntabilitas dan transparansi, hambatan bahasa/komunikasi, jarak dan transportasi, serta hambatan fisik/transportasi. Jika perempuan berhadapan dengan hukum mengalami hambatan fisik dan psikis maka menyarankan untuk menghadirkan pendampin dan hakim harus mengabulkan permintaan tersebut.

Selanjutnya ia menjelaskan putusan berspektif gender meliputi sesuai dengan asasa pasal 2 Perma No.3 Tahun 2017, kemudian ada penafsiran perundang-undangan/ hukum tidak tertulis yang menjamin kesetaraan gender.

Putusan berspektif gender juga termasuk identifikasi fakta, persidangan yang didalamnya meliputi status sosial, relasi kuasa, diskriminasi, dampak fisik/ psikis, ketidaksetaraan, riwayat kekerasan. Lalu putusan tersebut juga harus menggali nilai-nilai hukum, kearifan local, rasa keadialn yang hidup dalam masyarakat.

Di samping itu, putusan tersebut juga mempertimbangkan kesetaraan gender dan streotip gender dalam peratuarn perundang-undangan dan hukum tidak tertulis. “Terakhir, pertimbangkan penerapan konvensi dan atau perjanjian-perjanjian internasional terkait kesetaraan gender,” katanya

Moch. Sukkri, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang mengatakan komitmen peradilan agama terhadap perlindungan perempuan dan anak jauh sebelum adanya Perma No.3 tahun 2017. Komitmen tersebut kali pertama muncul saat pembentukan pokja perempuan dan anak.

“Dari pokja itu lalu mendorong munculnya Perma No.3 tahun 2017 kemudian ada Perma Nomor 5 tahun 2019 tentang dispensasi kawin,” katanya

Ia menjelaskan pada tahun 2016 saat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 keluar maka hasil rumusan kamar agama bahwa pengadilan agama secara ex-officio dapat menetapkan nafkah anak kepada ayahnya apabila secara nyata anak tersebut dalam asuhan anaknya.

Lalu setelah keluar Perma No.3 tahun 2017 muncul Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur pembayaran kewajiban akibat perceraian khussunya nafkah iddah, mut’ah, madhiyah dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak

“Kemudian SEMA Nomor 3 tahun 2018 istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan nafkha mut’ah dan nafkah id’ah sepanjang tidak terbukti khusus. Itu kalau kesalahan tersebut dilakukan suami,” katanya

Selanjutnya pada tahun 2019 Mahkamah Agung kembali mengeluarkan SEMA No2 tahun 2019 yang mengharuskan mantan suami untuk membayar kewajibannya sebelum mengambil akta cerai. Lalu pada Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2021 istri dapat mengajukan penetapan sita terhadap harta milik suami sebagai jaminan pemenuhan nafkah anak.

“Itu komitmen kepedulian khususnya di kamar agama terhadap suami yang dibebankan kewajiban untuk membayar hak-hak isteri, “katanya

Meskipun dari segi hukum sudah cukup progresif, namun ia mengakui dalam implementasi di lapangan masih ada tantangan. Dalam persidangan itu hakim memiliki kebebasan dan kadang ada inkonsistensi persepsi hakim dalam proses peradilan yang melibatkan perempuan.

“Makanya selalu dalam Mahkamah Agung selalu ditekankan Perma No 3 tahun 2017 itu jadi panduan dan betul betul diperhatikan karena itu petunjuk teknis terhadap hal hal yang belum diatur dalam perundang-undangan,” katanya

Lalu ada juga tantangan pertimbangan hukum yang menjauhkan perempuan untuk mendapatkan akses keadilan.

Maka dari itu, ia setuju adanya langkah kerjasama agar sosialisasi penerapan atas peraturan Perma No.3 tahun 2017 berjalan komprehensif dan berkelanjutan.

Hal ini agar hakim selalu dapat memahami dan menerapkan asas-asas perempuan. Tidak terkecuali dalam menerapkan kesetaraan gender dan streotip gender dalam peraturan yang tidak tertulis.

Ia menceritakan di dalam peradilan agama pada praktiknya, justru suami ingkar atau enggan memenuhi kewajibannya apa yang sudah menjadi keputusan hakim. Jadi kesadaran untuk melaksanakan putusan secara sukarela itu berada di luar jangkauan pengadilan.

“Upaya perempuan dapat mengajukan permohonan untuk menjadikan harta milik suami sebagai jaminan dari pada hak-hak anak termasuk hak dia sendiri,” katanya

Ia menyebut salah satu contoh Pengadilan Agama Surabaya punya Mou dengan Pemerintah Kota Surabaya. Makanya saya berharap ada aplikasi yang bisa diterapkan, jadi suami yang dibebankan atas hak isteri kalau mengurus dokumen tertentu, maka akan muncul notifikasi tersebut.

“Sehingga kalau dia (suami) belum bayar pemerintah tidak melayani. Jadi suami tidak bisa lari dari tanggung jawabnya,” pungkasnya.

Implementasi Perma No 3 tahun 2017 Minim

Tuti Wijaya, staff bidang Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menilai minimnya implementasi dalam Peraturan Mahkamah Agung No.3/2017 dalam menangani perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Padahal dalam aturan tersebut telah berisi Standar Operasional Prosedul (SOP) untuk hakim dalam menangani perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

“Hasil dari FGD 2022 yang dilakukan LBH Semarang menemukan saat perempuan di ruang pengadilan masih ada intimidasi dalam bentuk pertanyaan maupun gestur tubuh kepada korban,” katanya.

Tuti menceritakan  hasil FGD tersebut juga menemukan hakim justru kadang mewajarkan apa yang dialami oleh korban perempuan, alih-alih untuk mevalidasi fakta yang diungkapkan korban.  Hal ini sekaligus membuktikan bahwa masih banyak hakim yang bertindak stigmatis dan diskriminatif ke korban perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Kemudian ada juga cerita dari pendamping korban yang masih mengalami kesulitan saat mendampingi korban. Tak hanya itu, pada tahun 2023 dirinya saat menangani korban kasus Kekerasan Berbasis Gender Online(KBGO) di salah satu pengadilan negeri, justru tidak diperbolehkan masuk dalam mendampingi korban

“Akibatnya apa yang terjadi ketika korban diperiksa, setelah pemeriksaan selesai korban pingsan,” katanya

Hot this week

Jurnalis MNC Terluka Usai Meliput Aksi di Grobogan, AJI Semarang: Polda Jateng Harus Usut Tuntas Kasus Ini

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras aksi pembacokan...

Robig Penembak Mati Gamma Resmi Dipecat

Illustrasi sidang Robig Zainudin di Mapolda Jawa Tengah pada...

Lima Mahasiswa Aksi Hari Buruh Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Negeri Semarang

Kelima mahasiswa saat sedang menjalani sidang perdana di Pengadilan...

Puluhan Warga Pati Terluka, Sebagian Terkena Selongsong Peluru

Massa aksi saat melakukan protes kenaikan PBB sebesar 250...

Saparan di Kopeng, Tradisi Ucap Syukur Kepada Alam

Festival Budaya Kulon Kayon di dusun Sleker, Desa Kopeng,...

Topics

Jurnalis MNC Terluka Usai Meliput Aksi di Grobogan, AJI Semarang: Polda Jateng Harus Usut Tuntas Kasus Ini

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras aksi pembacokan...

Robig Penembak Mati Gamma Resmi Dipecat

Illustrasi sidang Robig Zainudin di Mapolda Jawa Tengah pada...

Lima Mahasiswa Aksi Hari Buruh Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Negeri Semarang

Kelima mahasiswa saat sedang menjalani sidang perdana di Pengadilan...

Puluhan Warga Pati Terluka, Sebagian Terkena Selongsong Peluru

Massa aksi saat melakukan protes kenaikan PBB sebesar 250...

Saparan di Kopeng, Tradisi Ucap Syukur Kepada Alam

Festival Budaya Kulon Kayon di dusun Sleker, Desa Kopeng,...

Robig Divonis 15 Tahun Penjara, LBH Semarang: Polri Harus Memecatnya

Suasana Sidang Robig Zainudin di Pengadilan Negeri Semarang, Jumat,...

Komunitas Sastra di Kendal Kembali Gelar KCA 2025

Beberapa komunitas sastra di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah kembali...

Ini Desakan Koalisi Advokat Progresif Indonesia Terkait RUU KUHAP

Koalisi Advokat Progresif Indonesia (KAPI) menyoroti sejumlah pasal dalam...
spot_img

Related Articles

Popular Categories

spot_imgspot_img