Jumat, Agustus 29, 2025
26.1 C
Semarang

Pejuang Toleransi, Tak Harus di Dunia Politik

Suasana Pasar Semawis di kawasan Pecinan Kota Semarang menjelang Pemilu 2024 (Riska Farasonalia/Serat.id)

Masyarakat Tionghoa di Kota Semarang memiliki pengaruh kuat di ranah sosial, politik dan budaya. Mereka sudah membaur dan menyatu dengan masyarakat non-Tionghoa yang menciptakan masyarakat tangguh yang mampu menangkal gejolak rasial dan intoleransi.

Sejumlah aktivis dan pelaku budaya di Kota Semarang mempunyai peran penting dalam melawan rasisme yang kerap menyasar etnis Tionghoa. Mereka aktif memperjuangkan kesetaraan dan hak asasi manusia demi mewujudkan toleransi dan menghapuskan diskriminasi.

Sore itu, awan mendung menggelayut di atas Kota Semarang. Seorang perempuan berambut hitam sebahu sedang duduk di salah satu sudut ruangan di café Anak Panah Kopi, Semarang Tengah. Ia sedang sibuk dengan laptopnya, sesekali menyeruput secangkir kopi dan menyantap camilan.

Perempuan itu adalah Yvonne Aileen Sibuea, seorang aktivis perempuan yang banyak terlibat dalam gerakan sosial dan budaya Tionghoa di Kota Semarang. Hujan turun tak terbendung tatkala ia mulai menceritakan pengalaman traumatis pada masa kecilnya.

Ketika berusia 4 tahun, Yvonne menyaksikan sendiri sebuah kerusuhan besar yang menyasar etnis Tionghoa di Kota Semarang, 1980. Peristiwa itu dipicu oleh pertikaian pelajar di Kota Solo yang menjadi konflik rasial dan menjalar ke beberapa kota di Provinsi Jawa Tengah.

Ketika kerusuhan mulai terjadi di tempat tinggalnya di daerah Depok, keluarga Yvonne dilanda kepanikan dan bergegas menutup pintu rumah rapat-rapat. Yvonne yang ketakutan itu sempat mengintip dari balik jendela rumahnya, massa melakukan konvoi lewat di depan rumahnya sembari berteriak dan melemparkan batu.

Meski semua keluarga selamat, peristiwa itu meninggalkan rasa trauma yang dalam bagi Yvonne kecil. Peristiwa ini dan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, membuat tergugah hati Yvonne, ia membentuk gerakan untuk mengikis intoleransi di Kota Semarang.

Awalnya ia mendatangi satu per satu tokoh atau orang tua di Semarang untuk belajar banyak tentang ke-Tionghoa-an. Kemudian Yvonne membuat forum-forum diskusi budaya yang membawa misi kemanusiaan dan perdamaian.

“Saya tergerak aktif membuat forum diskusi sebagai jejaring di antara komunitas Tionghoa,” katanya kepada Serat.id, Kamis, 11 Januari 2024.

Perjuangan Yvonne melawan rasisme dan diskriminasi kelompok minoritas dimulai sejak 2016. Ia mengawali dengan menggelar sebuah diskusi terkait pluralisme.

Kala itu dia bergabung dengan EIN Institute yang didirikan oleh Tjahjadi Nugroho, salah seorang sahabat dekat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Lembaga ini memiliki misi membumikan pemikiran Gus Dur tentang pluralitas dalam praktik keseharian warga Indonesia.

Serangan minoritas

Yvonne menyebut tindakan intoleran terhadap etnis Tionghoa di Kota Semarang mencuat pada 2017. Tepatnya ketika suatu kelompok intoleran menolak perayaan Cap Go Meh di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dan Pork Festival menjelang Imlek.

Setelah peristiwa itu, Yvonne bersama jaringan lainnya membuat diskusi untuk membuat counter opinion untuk kasus-kasus intoleransi itu. Ia mendatangkan organizer pork festival, pakar budaya, tokoh agama untuk membuka perspektif luas bagi masyarakat.

“Konflik-konflik itu bisa diredam karena dari sisi sejarah, Semarang ini bukan kota homogen, tetapi sangat plural sehingga tidak ada dominasi budaya,” ujarnya.

Ketika ada pro-kontra pendirian patung Jenderal Kwan Kong di Tuban, ia juga membuat diskusi untuk meredam konflik sekaligus membuka wawasan masyarakat. Diskusi ini melibatkan pakar budaya Tionghoa, komunikasi, dan resolusi konflik.

Yvonne mengatakan tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas di Semarang, biasanya muncul secara random. Sebenarnya konflik itu berhasil diredam oleh masyarakat sipil sendiri dengan melakukan perlawanan.

“Yang membuat Semarang lumayan adem dan tidak separah kota-kota lain karena ada upaya resistensi dari sesama warga yang membentuk jejaring supaya aman,” ungkapnya.

Bagi Yvonne, perjuangan melawan intoleransi bisa dilakukan dengan membangun kesadaran dan memperkuat jaringan antar sesama masyarakat mulai di tingkat akar rumput.

“Aku pikir kekuatan di Kota Semarang itu ada di warga sipil, jadi tidak bisa berharap pemerintahnya melindungi. Tapi dari inisiatif sekelompok orang-orang yang mau peduli,” ucapnya.

Perempuan berdarah Tionghoa dan Batak ini juga mengamati banyak perempuan Tionghoa yang terjun ke politik, seperti calon legislatif dalam Pemilu 2024. Bahkan ada sejumlah parpol yang mempunyai banyak anggota orang Tionghoa, terutama perempuan.

Tetapi bagi Yvonne pribadi, yang penting bukan etnisnya. Tetapi ia lebih menekankan pada soal perspektif kesetaraan dari beragam etnis dan agama.

Ia berpendapat perempuan berpolitik itu tidak harus di politik praktis tetapi bisa berjuang di berbagai bidang dengan membawa isu-isu sosial dan minoritas. Namun, dalam konstruksi sosial seringkali aktifisme tersebut tidak dimaknai sebagai langkah politis.

“Di Semarang, ada beberapa tokoh perempuan Tionghoa yang cukup berpengaruh dan menjadi pengawal isu-isu sosial-politik,” ujarnya.

Misalnya, Widjajanti Dharmowijono dari Yayasan Budaya Widya Mitra dan Ellen Kristi dari EIN Institute. Dua lembaga ini tidak secara khusus fokus pada isu etnis Tionghoa, namun otomatis akan dibawa saat mengangkat isu pluralisme dalam setiap kegiatannya.

Upaya perkumpulan Tionghoa melawan intoleransi

Harjanto Halim (58) adalah seorang pengusaha yang aktif menggelar kegiatan sosial-budaya untuk menciptakan iklim toleransi di Kota Semarang. Ia adalah ketua perkumpulan Tionghoa tertua di Kota Semarang, yakni Rasa Dharma atau Boen Hian Tong.

“Boen Hian Tong berdiri pada 1876. Dulu beranggotakan orang-orang Tionghoa yang cukup elit, dari kalangan menengah atas yang bergerak di bidang seni dan budaya,” ujarnya kepada Serat.id di Orange Brown Kafe, Kota Semarang, Jumat, 22 Januari 2024.

Harjanto Halim seorang pengusaha Tionghoa (Riska Farasonalia/Serat.id)

Sejak ia menjadi ketua, Boen Hian Tong mulai bergerak ke aktivitas sosial seperti pelayanan asuransi kematian untuk para anggota. Seiring perubahan zaman, organisasi ini mulai menggelar acara seni dan budaya untuk memperkenalkan tradisi Tionghoa kepada masyarakat, khususnya kaum muda.

Ia punya impian perkumpulan ini tidak terjebak pada primordialisme dan ritual semata. Budaya Tionghoa bukan tembok pembatas tetapi justru menjadi jembatan bagi semua orang yang ingin belajar dan tertarik budaya Tionghoa.

Dalam aspek agama, Harjanto ingin mewujudkan toleransi antaretnis dan umat beragama. Tak kenal maka tak sayang, untuk mewujudkannya, Boen Hian Tong mengundang masyarakat dari berbagai agama untuk hadir dalam kegiatan keagamaan, seperti sembahyang arwah dan membasuh kaki orangtua ketika menjelang Imlek.

“Saya ingin melawan konstruksi sosial yang terlalu kaku dan tidak mau terjebak pada simbol. Jadinya malah terkotak-kotak,” katanya.

Oh ya, sejak 2018, Harjanto juga membuat acara unik, yaitu makan bareng rujak pare sambal kecombrang. Acara ini dilaksanakan setiap tahun untuk merawat ingatan peristiwa politik, Tragedi Mei 1998.

Kita tahu, pare adalah sayur yang rasanya pahit. Begitulah yang dirasakan masyarakat Tionghoa saat Tragedi Mei 1998 terjadi.

Waktu itu, massa memenuhi Kota Jakarta, menggelar demonstrasi untuk menggulingkan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama tiga dasa warsa. Tiba-tiba ada amuk massa di Jakarta, ada penjarahan dan menjadikan kelompok etnis Tionghoa jadi sasaran kekerasan.

“Kita tidak hanya memperingati peristiwa politik tragedi Mei 98 tetapi juga menyoroti isu kekerasan seksual, banyak perempuan Tionghoa yang menjadi korban,” ujarnya.

Tahun 2014, Perkumpulan Tionghoa ini juga memberi penghormatan kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur mendapat sebuah Sinci dan ditetapkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia karena berjasa dalam mengizinkan kembali kebudayaan Tionghoa.

Sinci adalah sebuah papan arwah terbuat dari kayu dan bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal. Papan arwah ini diletakkan di altar Gedung Rasa Dharma sebagai suatu bentuk penghormatan

Soal caleg Tionghoa, tidak pakai politik identitas

Harjanto juga memperhatikan banyak warga Tionghoa yang mendadak berkiprah di dunia politik dengan menjadi calon legislatif dalam pemilu 2024. Jumlahnya lebih banyak jika dibandingakn dengan pemilu sebelumnya.

“Menurut saya bagus, asalkan punya ide-ide yang jelas dan tidak menggunakan politik identitas. Pemilu 2019 itu kan memang sangat kenceng politik identitasnya. Kelihatannya tahun ini sudah tidak laku,” ucapnya.

Harjanto sempat membagikan pandangannya soal caleg dari etnis Tionghoa di akun instagramnya @harjantohalim yang diposting pada Sabtu, 3 Februari 2024.

“Saya mengamati ya di Kota Semarang memang banyak spanduk para caleg dari Tionghoa. Mendadak banyak sekali dibanding Pemilu yang lalu. Ternyata teman saya di Jakarta, Surabaya bahkan luar pulau juga mengatakan hal yang sama. Sekarang banyak caleg Tionghoa ikut dan dari berbagai partai semua ada,” katanya.

Bagi Harjanto, ini fenomena menarik karena jadi indikator bagus dalam sistem demokrasi di Indonesia. Dulu jarang keturunan Tionghoa tertarik dunia politik, sekarang banyak sekali. Ini jadi pertanda ada keterbukaan politik untuk etnis Tionghoa.

“Pokoknya kampanye jangan pakai politik identitas, itu orang-orang Tionghoa juga tidak suka. Begitu pakai politik identitas pasti ditinggal,” ujarnya.

eLSA tagih komitmen pemerintah

Ketua Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Tedi Kholiludin mengatakan belum ada laporan kasus intoleransi yang berdampak secara komunal di Kota Semarang dalam beberapa tahun terkahir. Tetapi bukan berarti tidak ada kasus-kasus intoleran.

“Mungkin karena sekarang kecenderungan gerakan intoleran bergeser dari level makro ke level mikro, militansi di rung-ruang kecil,” ujarnya kepada Serat.id, Selasa, 30 Januari 2024.

Sebelumnya, eLSA mencatat beberapa peristiwa intoleransi yang berpotensi memecah belah masyarakat di Kota Semarang selama 2016-2017. Peristiwa itu antara lain penolakan perayaan Cap Go Meh di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) pada 2017 yang kemudian dipindahkan ke Balai Kota Semarang. Kemudian larangan kepada penganut Syiah untuk memperingati 10 Asyura di Komplek PRPP Semarang oleh Forum Umat Islam Semarang (FUIS) pada 2016.

Selanjutnya, penolakan kegiatan Pork Festival yang dilaksanakan warga Tionghoa menjelang Imlek 2017. Meskipun akhirnya dapat berlangsung setelah diubah menjadi Festival Kuliner Imlek.

Lalu, ada penolakan pendirian Gereja Baptis Indonesia (GBI) di Jalan Malangsari, Kelurahan Tlogosari Kulon, Pedurungan, Semarang Timur pada 2019. Akhirnya bisa dibangun setelah 20 tahun lebih menuai polemik.

Sepanjang 2023, eLSA Semarang masih menemukan sejumlah kasus intoleransi, seperti soal pembangunan rumah ibadah. Ada sekira 6 hingga 7 kasus.

“Ada 5 kasus yang masih berjalan dan belum menemukan titik terang karena masih ada penolakan,” katanya.

Selain itu, ada satu kasus yang dikhawatirkan bisa memicu koflik rasial. Kasus ini tentang volume suara dari rumah ibadah yang terlalu kencang dan mengarah ke rumah warga itu sehingga ia merasa tidak nyaman

“Lalu ia masuk ke rumah ibadah, berusaha mematikan suara,” ujarnya.

Kasus berhasil dimediasi oleh Kesbangpol. Pihak pengelola rumah ibadah mencoba mengatur ulang volume dan arah suara dan warga yang keberatan telah meminta maaf.

Berkaca dari kasus-kasus di atas, eLSA Semarang menagih komitmen pemerintah untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM) dan menjalankan kebijakan yang berpihak pada kelompok minoritas. Konstitusi sudah jelas aturannya, yang jadi persoalan adalah implementasi di lapangan.

“Sering muncul aturan-aturan di bawah yang secara spirit justru menyulitkan kelompok minoritas untuk memperoleh haknya sebagai warga negara dalam kehidupan keagamaan,” kata Tedi.

Contohnya adalah Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 46 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Rumah Ibadat di Kota Semarang. Kritik yang disampaikan tidak didengarkan, dampaknya indeks kota toleran jeblok.

Pemerintah juga harus menyelesaikan persoalan yang muncul dari aparat keamanan. Saat menjadi fasilitator negoisasi, aparat keamanan justru sering minta kelompok minoritas untuk mengalah demi kepentingan yang berssifat praktis.

Sementara itu di masyarakat ada kelompok masyarakat yang belum terbuka dengan ide-ide tentang toleransi keberagaman. Prinsip toleransi harus jadi nilai utama dalam hidup beragama untuk mengikis sikap menang sendiri.

“Negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat belum berkontribusi maksimal untuk menanamkan nilai-nilai keterbukaan. Perlu adanya upaya preventif untuk menciptakan kerukunan,” tegasnya. (*)

Hot this week

Jurnalis MNC Terluka Usai Meliput Aksi di Grobogan, AJI Semarang: Polda Jateng Harus Usut Tuntas Kasus Ini

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras aksi pembacokan...

Robig Penembak Mati Gamma Resmi Dipecat

Illustrasi sidang Robig Zainudin di Mapolda Jawa Tengah pada...

Lima Mahasiswa Aksi Hari Buruh Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Negeri Semarang

Kelima mahasiswa saat sedang menjalani sidang perdana di Pengadilan...

Puluhan Warga Pati Terluka, Sebagian Terkena Selongsong Peluru

Massa aksi saat melakukan protes kenaikan PBB sebesar 250...

Saparan di Kopeng, Tradisi Ucap Syukur Kepada Alam

Festival Budaya Kulon Kayon di dusun Sleker, Desa Kopeng,...

Topics

Jurnalis MNC Terluka Usai Meliput Aksi di Grobogan, AJI Semarang: Polda Jateng Harus Usut Tuntas Kasus Ini

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras aksi pembacokan...

Robig Penembak Mati Gamma Resmi Dipecat

Illustrasi sidang Robig Zainudin di Mapolda Jawa Tengah pada...

Lima Mahasiswa Aksi Hari Buruh Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Negeri Semarang

Kelima mahasiswa saat sedang menjalani sidang perdana di Pengadilan...

Puluhan Warga Pati Terluka, Sebagian Terkena Selongsong Peluru

Massa aksi saat melakukan protes kenaikan PBB sebesar 250...

Saparan di Kopeng, Tradisi Ucap Syukur Kepada Alam

Festival Budaya Kulon Kayon di dusun Sleker, Desa Kopeng,...

Robig Divonis 15 Tahun Penjara, LBH Semarang: Polri Harus Memecatnya

Suasana Sidang Robig Zainudin di Pengadilan Negeri Semarang, Jumat,...

Komunitas Sastra di Kendal Kembali Gelar KCA 2025

Beberapa komunitas sastra di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah kembali...

Ini Desakan Koalisi Advokat Progresif Indonesia Terkait RUU KUHAP

Koalisi Advokat Progresif Indonesia (KAPI) menyoroti sejumlah pasal dalam...
spot_img

Related Articles

Popular Categories

spot_imgspot_img