Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) secara sadar mematikan aspirasi masyarakat, dengan tujuan membangun demokrasi lokal melalui dan melakukan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUUXXII/2024. Tindakan tersebut dilakukan seakan demi kepentingan politik praktis elite sesaat dan berpihak pada kepentingan oligarki.

Puluhan akademisi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang meminta Presiden Joko Widodo menghentikan proses revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Pasalnya hal ini bertentangan dengan dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024,” tulis Ferdinandus Hindiarto, Rektor Unika Soegijapranata dalam keterangan tertulis yang diterima serat.id, Kamis, 22 Agustus 2024.
Akademisi Unika Soegijapranata mengikuti dan mencermati secara seksama dinamika politik menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2024 khususnya tindakan politik pasca keluarnya dua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Saat ini, akademisi Universitas Katolik Soegijapranata menilai telah terjadi krisis demokrasi substantif dan krisis konstitusi di negara yang kita cintai ini.
Unika Soegijapranata juga menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) secara sadar mematikan aspirasi masyarakat, dengan tujuan membangun demokrasi lokal melalui dan melakukan pembangkangan terhadap dua putusan MK tersebut. Tindakan tersebut dilakukan seakan demi kepentingan politik praktis elite sesaat dan berpihak pada kepentingan oligarki.
Akademisi Unika Soegijapranata menilai DPR RI wajib menjunjung tinggi konstitusi dengan mendengarkan aspirasi masyarakat. Selain itu, mereka meminta Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) agar bertindak independen dan tidak mau dikooptasi pihak mana pun sehingga segera melaksanakan putusan MK No. 60 dan No. 70 tahun 2024 demi terwujudnya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila.
Dalam kondisi krisis kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tersebut, sebagaimana ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Konstitusi Apostolik Ex Corde Ecclesiae atau Dalam Hati Gereja menyatakan bilamana diperlukan, pendidikan tinggi Katolik harus berani berbicara tentang kebenaran yang tidak mengenakkan, yang tidak menyenangkan opini publik, tetapi diperlukan untuk menjaga kebaikan masyarakat yang sesungguhnya.
“Mgr. Albertus Soegijapranata sebagai payung universitas, mewariskan nilai cinta pada tanah air yaitu 100 persen Indonesia,” tulis pernyataan tersebut
Terakhir, akademisi Unika Soegijapranata meminta seluruh komponen bangsa harus tunduk pada konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pernyataan sikap ini adalah ungkapan kecintaan civitas akademika Universitas Katolik Soegijapranata terhadap bangsa dan negara tercinta ini ketika melenceng dari konstitusi dan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi,” pungkas pernyataan tersebut