“Seharusnya, JPU menggunakan kewenangannya untuk menuntut secara maksimal para terdakwa, sehingga selain hal tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban, juga menjadi salah satu upaya dalam meminimalisir potensi pengulangan kekerasan di kampus kedinasan pada kemudian hari,”

Pengadilan Negeri (PN) Semarang melanjutkan persidangan terhadap enam terdakwa taruna senior Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang pada Kamis, 5 September 2024.
Agenda persidangan adalah pembacaan tuntutan oleh jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU menuntut para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama satu tahun karena telah melakukan tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 351 Ayat (1) jo 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Dalam dakwaannya, JPU Kejaksaan Negeri Semarang menyebut bahwa keenam terdakwa, diduga telah melanggar Pasal 170 jo 351 Ayat (1) jo 55 KUHP.
Selama proses persidangan, JPU telah mengahdirkan sejumlah saksi baik dari dokter klinik PIP, Pengasuh/Pengajar, pihak Rumah Sakit Bayangkara Semarang yang sempat memeriksa MG (korban).
Kuasa hukum MG, Ridho Rinaldo mengatakan bahwa tuntutan yang diajukan oleh JPU terlalu rendah.
“Terlebih, jika melihat praktik-praktik kekerasan oleh senior di kampus kedinasan yang banyak terjadi dan seringkali dinormalisasi,” katanya saat dihubungi Serat.id, 5 September 2024.
Dalam persidangan terungkap bahwa telah terjadi kekerasan/pengeroyokan yang dilakukan oleh para terdakwa terhadap MG, sehingga korban mengalami sakit, memar pada bagian ulu hati dan kencing darah.
Dalam persidangan, penasehat hukum para terdakwa tidak menghadirkan saksi yang meringankan. Oleh sebab itu, Majelis Hakim lansung meminta keterangan/kesaksian dari para Terdakwa yang pada intinya mengakui adanya pemukulan pada korban masing-masing sebanyak dua kali.
Sementara dalam kesaksiannya, MG mengaku mendapat pemukulan sekitar lima kali dari para Terdakwa. Para terdakwa mengakui bahwa pemukulan tersebut merupakan tradisi perkenalan dari senior kepada junior yang ada di kelompok dekorasi dengan tujuan untuk melatih mental.
“Seharusnya, JPU menggunakan kewenangannya untuk menuntut secara maksimal para terdakwa, sehingga selain hal tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban, juga menjadi salah satu upaya dalam meminimalisir potensi pengulangan kekerasan di kampus kedinasan pada kemudian hari,” ungkap Ridho.
Maka dari itu, imbuh Ridho, kuasa hukum bersama keluarga korban menuntut agar Majelis Hakim pemeriksa perkara nomor: 411/Pid.B/2024/PN Smg untuk memutus perkara ini melebihi tuntutan JPU dengan mempertimbangkan rasa keadilan bagi korban sekaligus meminimalisir potensi pengulangan kekerasan di lembaga pendidikan.
“Pertama, meminta PIP Semarang agar mengavaluasi diri terkait masih adanya praktek-praktek kekerasan di dalam dan di luar kampus. Lalu, adanya upaya konrit dari PIP Semarang untuk menghilangkan praktik praktik kekerasan senioritas di kampus PIP Semarang,” katanya.