“Korban tak hanya massa aksi. Pengunjung mal juga ikut menjadi korban. Kami sempat ikut menangani dua manula dan dua balita yang alami sesak nafas akibat gas air mata,”

Tim Petugas Paramedis Jalanan Semarang di Kota Semarang, Rabu, 28 Agustus 2024 (Serat.id)
Sore itu, air mata Martha Kumala Dewi (25), anggota Paramedis Jalanan Semarang tak lagi bisa terbendung lantaran melihat puluhan demonstran tumbang. Peserta aksi yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Jawa Tengah Menggugat (GERAM) di Kota Semarang itu menjadi korban kekerasan polisi, Senin, 26 Agustus 2024.
Sembari menyeka air matanya, Martha berjalan kembali ke mal Paragon Semarang seusai gagal mendapatkan oksigen ke sejumlah apotek di sekitar mal karena tutup.
Padahal, di depannya puluhan aksi massa sudah tergeletak lemas akibat terpapar gas air mata yang ditembakan oleh polisi. Oksigen tersebut sedianya digunakan para korban yang mayoritas mengalami sesak nafas.
“Mereka membutuhkan oksigen sedangkan stok persediaan oksigen kami habis, kondisi inilah yang membuat saya begitu terenyuh,” terangnya, Rabu, 28 Agustus 2024.
Mal paragon menjadi lokasi evakuasi darurat bagi para korban represif aparat kepolisan saat memukul mundur massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMK saat demonstarasi bertajuk Jateng Bergerak “Adili dan Turunkan Jokowi” di Balai Kota Pemerintah Kota Semarang.
Gerakan demonstrasi ini muncul dari solidaritas #PeringatanDarurat untuk menolak pengesahan Revisi UU Pilkada dan kawal putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam aksi massa ini banyak korban berjatuhan lantaran polisi berulang kali menembakan gas air mata dan menyemprotkan water canon. Total ada 1.541 personel polisi diterjunkan untuk menghadap demonstran.
Mal ini menjadi tujuan pendemo untuk menyelamatkan diri karena polisi tidak masuk ke area tersebut. Jarak antara mal dengan balai kota atau titik aksi sekira 800 meter.
Petugas paramedis Jalanan Semarang, Nur Colis (28) menuturkan, jalan pemuda dari balai kota sampai depan mal paragon diselimuti oleh asap putih tebal hasil tembakan gas air mata polisi.
Dia bahkan sampai kehilangan jarak pandang sehingga harus meraba motor dan dinding yang ada di pinggir jalan supaya dapat menjauh dari kepulan asap.
“Saya sampai tahan nafas. Setelah keluar dari kepungan asap langsung membersihkan mata pakai air walau perih dan sakit tetap harus dilakukan agar efek gas air mata hilang,” terangnya.
Selepas matanya jernih melihat, dia disajikan pemandangan yang menurutnya sangat miris. Ratusan korban tergeletak baik massa aksi maupun pengunjung mal.
Mereka terkena asap gas air mata yang mengarah ke sisi selatan jalan atau persis ke arah mal. Setidaknya ada empat titik evakuasi darurat di mal paragon meliputi teras mal, lorong parkir, gudang, dan belakang mal.
“Korban tak hanya massa aksi. Pengunjung mal juga ikut menjadi korban. Kami sempat ikut menangani dua manula dan dua balita yang alami sesak nafas akibat gas air mata,” ungkapnya.
Tim paramedis jalanan yang berjumlah 30 orang akhirnya harus bekerja keras.
Mereka yang terbagi menjadi 20 tim runner mengeluarkan seluruh obat-obatan yang mereka bawa di antaranya kasa perban, plester, revanol, alkohol murni, dan obat merah.
Paramedis yang merupakan mahasiswa pencinta alam (Mapala) dan korps sukarelawan (KSR) kampus ini menolong demonstran maupun warga sipil yang alami luka serius seperti kepala bocor kena pentungan polisi, kaki tertembak diduga peluru karet dan gejala sesak nafas.
“Para korban mayoritas alami sesak nafas akibat gas air mata. Makanya puluhan oksigen portable yang kami bawa langsung ludes,” imbuh Colis.
Beruntung, ada bantuan medis datang dari Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang berupa dua ambulance dengan dua dokter dibantu empat tenaga kesehatan. Mereka lalu saling berjibaku membantu para korban di bawah tekanan polisi yang terus menembakan gas air mata.
Petugas Paramedis Jalanan Semarang, Arya Mubarok (23) mengaku, sempat kebingungan karena massa aksi terus berteriak memanggil para tenaga medis.
Di sisi lain, aparat terus mendesak. “Korban mayoritas perempuan mereka menangis minta tolong dengan teriak medis, medis, medis secara berulang kali. Saya pribadi merasa tertekan karena harus menolong dengan kondisi pergerakan yang terbatas,” ujarnya.
Arya sendiri menolong korban yang alami luka lebam dan kepala bocor. Ia menilai, perbandingan jumlah petugas para medis dengan korban sangat jomplang setidaknya 1 banding 20.

Paramedis sedang melakukan pertolongan kepada massa aksi, Semarang, Rabu, 28 Agustus 2024 (Serat.id)
Tak heran ia sangat kelelahan. Namun, ketikan gairah semangatnya untuk menolong meredup, ia melihat pendemonstran yang baru saja ditanganinya karena luka lebam kembali ke barisan paling depan untuk menantang barikade aparat.
Pendemo itu terluka lagi dan kembali kepadanya untuk berobat. Usai diobati, mahasiswa itu kembali ke garda terdepan.
“Ya pada momen itu saya tersadar ternyata yang kita punya adalah solidaritas,” ungkapnya.
Berdasarkan data Paramedis Jalanan Semarang, total korban demonstran tercatat ada 38 orang. Korban yang dirujuk ke rumah sakit sebanyak 20 orang. Para korban dievakuasi ke rumah sakit menggunakan sepeda motor.
“Jumlah itu korban yang terdata, untuk korban tidak terdata bisa mencapai ratusan. Belum lagi masyarakat umum di sekitar lokasi kejadian di antaranya para murid TPQ yang sedang mengaji di masjid kawasan permukiman belakang Mal Paragon,” ujar Colis.
Selain itu, korban yang mengalami luka serius ada tiga orang terdiri satu perempuan berinisial AR dan dua laki-laki masing-masing NWA dan AL, ketiganya dari Kampus Islam Negeri Semarang.
Dua mahasiswa terinjak mobil komando (Mokom) milik paramedis karena situasi yang cukup mencekam imbas tekanan aparat yang menyuruh mahasiswa mundur sehingga terjadi kecelakaan.
“Korban perempuan tumit kaki kirinya retak sehingga harus pakai kursi roda. Sedangkan korban satunya seorang pria terluka di kaki kanan berupa alami kelonggaran antar sendi. Kami damping proses pengobatan mereka di rumah sakit,” tutur Colis.
Adapun satu korban lainnya, AL mahasiswa dari Kampus Negeri di Kota Semarang diduga terkena peluru karet. “Saya sempat menolong dia, ada tenaga medis juga mereka menerangkan bahwa itu luka berlubang di belakang betis kaki kiri mahasiswa itu serpihan peluru karet,” sambung Martha.
Paramedis Reborn
Aksi demonstrasi #PeringatanDarurat untuk menolak pengesahan Revisi UU Pilkada dan kawal putusan Mahkamah Konstitusi di Jalan Pahlawan dan Jalan Pemuda Kota Semarang pada akhir Agustus 2024 menjadi pemicu kembali lahirnya Paramedis Jalanan Semarang.
Martha mengatakan, Paramedis Jalanan Semarang sempat vakum hampir 4 tahun lantaran adanya pandemi Covid-19.
Aksi Paramedis Jalanan Semarang terakhir bertugas pada aksi demonstrasi menentang UU Omnibus Law di rentang tahun 2019-2020.
Kebutuhan paramedis mulai diperhatikan para aktivis ketika melihat demonstrasi menentang rezim Jokowi di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Kamis, 22 Agustus 2024.
Saat itu, dari ratusan massa aksi, 26 di antaranya tumbang karena gas air mata. Sebanyak 18 mahasiswa dilarikan ke rumah sakit.
“Kami terhenyak ketika itu ternyata paramedis perlu dibentuk kembali. Sebab, ketika aksi lebih besar korban akan lebih banyak makanya ketika aksi kemarin di Balai Kota Semarang (26 Agusutus) kami bentuk paramedis,” katanya.
Paramedis dalam setiap aksi juga kini menjadi bagian terpenting dari sebuah aksi massa. Menurut martha, hal itu karena respon aparat sudah berlebihan dan selalu represif terhadap massa aksi.
“Kami tak bisa membayangkan ketika aksi kemarin tidak dibentuk paramedis bisa saja korban akan lebih banyak. Kami tidak ingin jangan sampai ada korban jiwa atau korban sampai alami cacat karena tak mendapatkan pertolongan pertama,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, paramedis jalanan memiliki dua tugas dalam kegiatan demonstrasi meliputi Mutual Aid Medic (MAM) berupa memberikan pertologan pertama, evakuasi, membantu tugas nakes dan lainnya.
Tugas berikutnya Tear Gas Defensive (TGD) berupa memberikan keamanan massa aksi terhadap gas air mata. Petugas paramedis dilengkapi alat pertolonga pertama pada kecelakaan (p3k) seperti kasa perban, plester, revanol, alkohol murni, dan obat merah, tabung gas oksigen portabel, dan lainnya.
Mereka memiliki kemampuan dasar pertolongan pertama yang diperoleh dalam pelatihan sebagai pecinta alam maupun tenaga sukarelawan Palang Merah Indonesia. Ketika bertugas, mereka dilengkapi helm, masker khusus, dan tiga logo palang merah yang menempel di lengan kanan, helm dan punggung. “Kami bertugas melakukan evakuasi, pertolongan pertama, dan melakukan akses korban ke layanan kesehatan,” tutur Martha.
Paramedis juga perlu melakukan pemetaan jalur evakuasi dan posko lapangan. Kendati hal itu seringkali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Seperti halnya dalam aksi demonstrasi di Balai Kota Semarang. Sedianya aksi tersebut dilakukan di Jalan Pahlawan depan Gedung DPRD Jawa Tengah tetapi karena di Jalan Pahlawan sudah dikepung aparat, aksi massa bergeser ke Jalan Pemuda, depan Balai Kota Semarang.
“Kami lalu menyikapinya dengan segara menentukan dua posko yang ditarik dari titik tengah aksi yakni di sisi barat ada posko Lawang Sewu dan sisi timur ada posko Taman Signature seberang mal Paragon. Untuk jalur evakuasi memang cukup sulit karena selain daerah itu adalah perkantoran di belakangnya merupakan wilayah permukiman padat penduduk,” bebernya.
Imbasnya , posko yang digunakan akhirnya hanya satu di Taman Signature karena polisi memukul mundur ke arah tersebut. “Maka pada akhirnya ada posko darurat di mal Paragon,” tuturnya.
Tak Luput Jadi Korban
Paramedis jalanan semarang meskipun sudah mengenakan tanda pengenal berupa lambang palang merah sebagai tanda petugas medis tetap saja mendapatkan tindakan represif dari aparat.
Colis mengatakan, ada petugas paramedis jalanan yang mendapatkan tindakan buruk aparat kepolisian. Pertama, paramedis sempat diserang polisi ketika hendak melakukan evakuasi aksi massa. Kedua, hendak ditangkap oleh polisi walaupun akhirnya dilepaskan.
“Ada petugas paramedis yang disuruh mencopot lambang palang merah dilengananya oleh polisi. Anggota itu menarik paksa suruh melepas, entah apa maksudnya,” katanya.
Kendati mengutuk keras hal itu, bagi Martha tak menyurutkan Paramedis Jalanan Semarang untuk menjalankan tugasnya.
Bagi dia, paramedis memang tidak berada di garda terdepan aksi demonstran dan tak menjadi pusat perhatian seperti orator. Namun, paramedis harus ada di tengah-tengah aksi demonstrasi demi menjaga mereka yang bersuara demi sehatnya negara.
“Sekarang juga dalam kondisi darurat kekerasan aparat sehingga paramedis jalanan harus terus eksis,” harapnya.