“Terus juga longsor (sampah) waktu itu. Nah, baunya mengganggu hampir sepanjang hari. Tetapi kalau cuaca cenderung panas biasanya tidak terlalu tercium,”

Tumpukan sampah di sekitar TPA Cipayung (Akbar Gibrani Aliffianto/Serat.id)
Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Cipayung, Depok, Jawa Barat sudah hampir kepayahan mengurusi permasalahan sampah di Kota Depok. Sebagai lokasi akhir penampungan sampah di kota yang terdiri atas 11 kecamatan, volume sampah diperkirakan bisa mencapai 1.000 ton per harinya. Jumlah sampah yang sudah over kapasitas di TPA ini memberikan dampak sosial bagi pemukiman yang ada di sekitarnya.
Hana Palupi, salah seorang warga Kelurahan Pasir Putih, Depok menceritakan, keluhannya pada Serat.id pada Jumat, 3 Agustus 2024 lalu. Lokasi tempat tinggalnya berada di radius 2 kilometer dari gunung sampah, seringkali bau tak sedap tercium hingga ke rumahnya.
“Baunya sudah ada sejak saya pindah dan tinggal di sini. Berarti sekitar kurang lebih 3 tahun, tetapi yang mengganggu banget 2 tahun ke belakang,” ujarnya. Bau tak sedap yang bersumber dari TPA Cipayung mengganggu kenyamanan dia dan keluarganya.
Menurutnya, bau sampah seringkali tercium apabila turun hujan. Sementara, bau tak sedap biasanya hilang timbul pada hari yang cerah. Bau tak sedap kian mengganggu saat terjadi pergeseran sampah di TPA hingga menutup akses jalan masuk.
“Terus juga longsor (sampah) waktu itu. Nah, baunya mengganggu hampir sepanjang hari. Tetapi kalau cuaca cenderung panas biasanya tidak terlalu tercium,” terangnya.
Hingga saat ini, Palupi mengaku belum ada dampak kesehatan yang dialaminya. Meski demikian, ia mengkhawatirkan dampak jangka panjang yang dapat timbul dari tumpukan sampah yang mencemari udara, terlebih anaknya kini baru berusia 2 tahun.
Pengelolaan Sampah yang Amburadul
Untuk meninjau lebih jauh mengenai permasalahan pengelolaan sampah di Kota Depok, Serta.id menjalin kontak dengan Renia Ekawati (Rere), pegiat lingkungan dari Yayasan Wangi Bumi Nusantara (WBN).
Yayasan ini mulanya terbentuk dari konsorsium Komunitas Bank Sampah yang berasal dari 11 kecamatan di Kota Depok. Kemudian diresmikan dengan nama Yayasan Wangi Bumi Nusantara pada tahun 2019. Hingga saat ini mereka masih terus gencar menjalankan berbagai aktivitas edukasi dan pendampingan bagi warga untuk mengelola sampah.
Menurut Rere, permasalahan sampah di TPA Cipayung sudah sangat pelik. Hal ini terjadi karena sampah di TPA sudah campur aduk tanpa dibedakan sesuai dengan jenisnya.
“Kalau berkaca pada kasus TPA Cipayung, kami sebenarnya melihat (masalahnya) sudah terlalu pelik di sana. Jadi, memang semua jenis sampah sekarang terbuang ke sana. Kalau sejak awal sampahnya sudah terpilah, harusnya hanya residu yang terbuang ke sana. Sampah residu itu sebenarnya jumlahnya sedikit. Karena sebagian besar sampah masuk dalam kategori organik yang sudah difasilitasi oleh pemerintah melalui Unit Pengelola Sampah (UPS). Sementara sampah yang non-organik dikelola oleh bank sampah.”
Akan tetapi, realita pelaksanaan pengelolaan sampah di wilayah Kota Depok masih jauh panggang dari api. Permasalahan sampah di hulu yang bersumber dari sampah rumah tangga dan sampah pelaku usaha belum terpilah dengan baik.
UPS yang jadi tempat pengolahan sampah organik sebenarnya ada di setiap wilayah kecamatan di Kota Depok. Akan tetapi, pelaksanaannya masih belum maksimal. Beberapa di antaranya justru beralih fungsi hanya menjadi Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) sebelum diangkut ke TPA Cipayung.
Begitu juga dengan pelaksanaan kerja bank sampah. Sebenarnya pemerintah Kota Depok sudah mengarahkan setiap tingkat wilayah RW agar mampu mengelola bank sampah di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi, tak pelak masih banyak RW yang masih belum menjalankan program bank sampah dengan konsisten.
Berdasarkan data yang dihimpun WBN, Rere menjelaskan, kini setidaknya sudah ada 421 titik bank sampah se-Kota Depok. Dari seluruh bank sampah yang terdata itu tidak semuanya berjalan dengan baik. Beberapa di antaranya ada yang vakum melaksanakan kegiatan pengelolaan sampah. Setidaknya hanya sekitar 300 bank sampah yang masih benar-benar aktif.
Santer terdengar kabar kalau pihak Pemerintah Kota Depok memiliki wacana membuat pabrik pengolahan sampah di wilayah TPA Cipayung. Adanya fasilitas ini tentu mampu menjadi angin segar, setidaknya untuk mengurangi volume sampah harian yang sudah tidak tertampung lagi.
Tetapi, sejauh pantauan tim Serat.id di lokasi dan berdasarkan keterangan petugas TPA belum ada langkah konkret yang dilakukan oleh Pemerintah Kota terkait pembangunannya.
Salah seorang petugas juga memberikan keterangan, kalau saja ada 4 unit UPS di sekitar wilayah TPA Cipayung yang sudah tidak dapat beroperasi akibat pemutihan.
Pengelolaan sampah di Kota Depok ditengarai mulai menunjukan tren negatif sejak tahun 2019. Kondisi penumpukan sampah di TPA Cipayung semakin memburuk pascapandemi Covid-19. Padahal dua tahun sebelumnya, pada tahun 2017, Depok sempat menerima Penghargaan Adipura karena mampu mengurangi jumlah sampah dengan angka yang signifikan.
Kondisi menjadi semakin buruk ketika terjadi pergeseran sampah yang sudah menggunung menutupi jalan masuk TPA. Kejadian semacam ini sempat terjadi beberapa kali. Alhasil, truk pengangkut sampah tidak bisa memasuki wilayah pembuangan.
Kejadian tersebut membawa dampak negatif bagi masyarakat. Hana bercerita kalau saja saat kejadian tersebut sampah di wilayah lingkungan rumahnya tidak dapat diangkut selama kurang lebih 1 minggu lamanya. Akibatnya, sampah menumpuk dan mengganggu kebersihan lingkungan sekitar rumahnya.
Sejak 20 Agustus 2024, Pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok juga sudah meneken kerja sama dengan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut Nambo, Kabupaten Bogor. Kerja sama dilakukan agar TPPAS Lulut Nambo dapat menerima sampah dari TPA Cipayung.
Setidaknya, hingga saat ini program masih dalam masa percobaan dengan jumlah 10 ton sampah yang dikirim dari sumbernya langsung ke TPPAS Lulut Nambo. Akan tetapi, upaya ini tentu bukan cara ‘ajaib’ guna menyelesaikan permasalahan sampah di Kota Depok. Pasalnya, over kapasitas sudah terjadi hingga 1.000 ton per harinya tentu tidak sebanding dengan jumlah sampah yang diangkut ke Lulut Nambo.
Di sisi lain, upaya untuk mengentaskan permasalahan sampah di Depok terus dilaksanakan melalui gerakan-gerakan akar rumput. Salah satunya dilakukan di salah satu RW di Kelurahan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung. Menurut Rere, pihak RW membuat sebuah inovasi kebijakan agar masyarakat mampu membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan menabung sampahnya di bank sampah. Upaya seperti ini disambut baik dan membuat masyarakat sekitar tertarik untuk memilah dan menyetorkan sampah.
Upaya sosialisasi, edukasi, dan pendampingan juga terus dilakukan pegiat lingkungan di Kota Belimbing guna memberikan pemahaman kepada masyarakat agar dapat mengelola sampah dengan lebih baik.
Didatangi terpisah, Kepala UPTD Puskesmas Cipayung mengatakan, sampai saat ini belum ada keluhan penyakit yang masif di masyarakat terkait dengan masalah polusi yang berasal dari sampah di TPA. Akan tetapi, masalah sampah tetap tidak boleh dianggap sepele. Karena sangat mungkin menjadi bom waktu bagi Kota Depok bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh.
Pemerintah sebenarnya sudah pernah membentuk kajian strategis terkait persampahan pada tahun 2022 yang dituangkan dalam Peraturan Wali Kota Depok No 59 Tahun 2022. Dalam kajian tersebut, mempertimbangkan perkiraan peningkatan jumlah penduduk sebanyak 3,97% per tahun. Jumlah penduduk yang semakin banyak tentu sangat berhubungan dengan jumlah produksi sampah yang dihasilkan setiap rumah tangga. Menghadapi fakta tersebut, tentu harus ada langkah konkret yang diambil oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk mengentaskan permasalahan di TPA Cipayung. (*)
Penulis: Akbar Gibrani Aliffianto, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip.
Karya ini merupakan hasil program magang kerja sama antara AJI Kota Semarang, Serat.id, dan Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang.