“Aku dari awal memang ingin kerja di luar kota atau bahkan luar negeri, Bagiku, Kebumen ya kayak hometown (Kota asal) saja, bukan untuk menetap,”

Suasana di pusat Kabupaten Kebumen yang semakin ditinggalkan generasi mudanya. Di sisi lain, pemerintah tengah berbenah membangun kotanya sembari mengentaskan kemiskinan. (Khizbulloh Huda/Serat.id)
Hamparan lahan perkebunan membentang di Desa Sadang Kulon, Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Sayangnya, sebagian generasi Z memilih untuk merantau ketimbang merawat kapulaga dan jenis rempah lainnya.
LailaTifani, perempuan usia 22 tahun memilih bekerja di perusahaan pasar online di Kebumen sejak 2023 sambil menyelesaikan kuliah. Sepertinya pilihan bekerja di perusahaan tak sepenuhnya membuatnya puas. Sebab, gaji yang diterima di bawah Upah Minimun Kabupaten (UMK).
Setiap bulan Laila menerima upah Rp1.250.000. Padahal, UMK Kebumen 2024 sebesar Rp2.121.947. Minimnya upah membuat Laila memiliki keinginan untuk merantau selepas tamat kuliah nanti.
Baginya, hasil bekerja di Kebumen hanya cukup bertahan hidup, bukan untuk kesejahteraan.
“Gaji UMK di Kebumen mungkin untuk biaya hidup cukup. Namun, lowongan pekerjaan yang ada sekarang masih belum (bisa) untuk memenuhi gaya hidup,” terangnya kepada Serat.id, September, 2024 lalu.
Alasan kesejahteraan membulatkan tekat Laila untuk meninggalkan kampung halamannya. Mahasiswi semester 7 Universitas Putra Bangsa Kebumen itu bahkan sudah menentukan daerah tujuan, kelak saat merantau.
“Aku setelah lulus kuliah mantap merantau. Tujuannya daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi),” ungkapnya.
Merantau Menjadi “Budaya”
Bagi generasi muda Kebumen, merantau adalah pilihan nomor wahid. Kota ini sekedar dipandang sebagai rumah yang dirindukan kemudian rindu itu akan dituntaskan dengan mengunjunginya setiap satu tahun sekali kala momen mudik Lebaran.
Hal itu dialami oleh warga Sadang lain, Veby Fachrudin (22). Dia mengaku, dari awal tak pernah berniat bekerja di Kebumen karena UMK-nya kecil.
Selain itu, Kebumen adalah tempat yang tak cocok bagi Gen Z seperti dirinya yang membutuhkan pengembangan diri.
Oleh sebab itu, laki-laki yang kini bekerja di sebuah klinik gigi di Tangerang Selatan sebagai admin e-commerce ini merasa terpenuhi ambisinya ketika bekerja di daerah tersebut. Upah yang didapat Veby juga tak banyak, yakni sekitar Rp3 juta. Tetapi dia mengaku ada pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhannya.
“Aku dari awal memang ingin kerja di luar kota atau bahkan luar negeri, Bagiku, Kebumen ya kayak hometown (Kota asal) saja, bukan untuk menetap,” ujarnya.
Veby menyebut, faktor kelengkapan fasilitas umum seperti transportasi juga menjadi penentu dirinya betah tinggal di perantauan. Kondisi tersebut sangat jomplang dengan daerahnya di Kebumen.
“Di sini (Tangerang Selatan) transportasi umum bisa beroperasi sampai malam dan setiap 5 menit ada, berbeda di Kebumen yang sepi,” tuturnya.
Kondisi tersebut dibenarkan oleh Pemerintah daerah yang melihat budaya merantau cukup mengakar di kalangan masyarakat Kebumen.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Kebumen Budhi Suwanto mengatakan, budaya merantau di kebumen sudah terjadi secara turun-menurun.
Selepas lulus sekolah, para generasi muda memilih kerja di luar Kebumen.
Bahkan, ada kebanggaan di kalangan anak muda Kebumen kala pulang merantau saat lebaran Idul Fitri.
“Mereka bangga ketika pulang merantau bertemu dengan saudara dan teman-teman, bercerita. Berbeda dengan yang bekerja di sini (Kebumen). Ya, itu fakta setelah saya amati,” katanya saat ditemui Serat.id di kantornya, 6 September 2024.
Selain menyoal budaya, maraknya warga Kebumen merantau tak lepas dari angka kemiskinan yang cukup tinggi. Mengacu data BPS tahun 2024, Kebumen menjadi kabupaten termiskin di Jawa Tengah.
Pemerintah setempat mengklaim telah berupaya untuk menekan angka kemiskinan melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Pada tahun 2024, TKPK menekan laju penurunan kemiskinan sebesar 0,63 persen.
“Penyelesaian kemiskinan, penyelesaian masalah perluasan kesempatan kerja, itu kan tidak hanya dari Disnaker. Kita harus bicara bagaimana masyarakatnya, melihat investor yang akan datang, kemudian bagaimana juga akses sarana infrastrukturnya, fasilitas pendukungnya,” sambung Budhi.
Menurut Budhi, faktor lain dari minat warga Kebumen merantau karena UMK Kebumen juga masih jauh dibandingkan dengan UMK di Jabodetabek yang menjadi tujuan utama perantau. Terlebih, di Kebumen masih banyak lowongan-lowongan pekerjaan yang menawarkan gaji di bawah UMK.
“Hal itu terjadi karena kesempatan lapangan kerja di bidang informal seperti di sektor pertanian, perkebunan, dan perdagangan lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan besar,” paparnya.
Melihat tren perantau yang terus meningkat di Kebumen, Budhi menilai banyak perusahaan yang beroperasi di Kebumen kesulitan mencari tenaga kerja.
Hal itu tampak saat Kebumen Job Fair 2024 yang digelar Juni lalu, dari 11 ribu lowongan kerja yang tersedia, hanya 5,8 ribu orang yang tercatat melakukan registrasi.
Disnaker Kebumen mencatat, dari total 813.172 angkatan kerja yang terdata, terdapat 41.590 jiwa yang menganggur. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Kebumen sebesar 5,11 persen (BPS,2023).
“Pemerintah Kabupaten Kebumen tentunya di satu sisi juga memiliki tanggung jawab agar Kebumen itu bisa dibangun oleh warga masyarakat Kebumen, tapi di satu sisi warga masyarakat Kebumen juga punya hak untuk bekerja,” terangnya.
Pemkab Kebumen mengklaim telah berupaya agar masyarakat Kebumen betah bekerja di daerahnya sendiri tanpa perlu merantau, Berbagai aspek dibenahi seperti fasilitas dan sarana pendukung lainnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kebumen Bahrun Munawir mengatakan, ada dua yang menjadi fokus pemerintah daerah yakni menjalankan program sebagai perwujudan pengurangan kantong-kantong kemiskinan dengan membangun infrastruktur di desa, serta membangun wajah jantung Kota Kebumen.
“Bicara kantong kemiskinan itu kan berarti wilayah dengan jumlah penduduk miskin yang relatif banyak. Apa yang kita lakukan di situ salah satunya penyiapan infrastruktur,” ungkap Bahrun kepada Serat.id saat ditemui di kantornya pada 30 Agustus 2024.
Di wilayah kantong kemiskinan, lanjut dia, bagian-bagian esensial yang diperlukan terus diperbaiki dan dibangun. Mulai dari kebutuhan air minum dan sanitasi yang bersih untuk kesehatan, hingga infrastruktur yang mendukung konektivitas seperti jalan dan jembatan serta listrik dan lampu penerangan.
Dalam hal ini, Bappeda membantu menyusun skema pembangunan dan anggaran yang dibutuhkan. “Kajian itu kemudian diserahkan pada pejabat desa yang berwenang untuk menindaklanjuti,” tandasnya.
Penulis: Khizbulloh Huda, mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Tulisan ini bagian dari magang jurnalistik antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Serat.id, dan mahasiswa FISIP Undip Semarang.