
Suasana acara Diskusi Publik Road To Camp Rimpang Alit Jilid II di Gedung PKM Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip) Jalan Prof. Soedarto, Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang, Rabu, 4 Desember 2024. (Intan/Serat.id)
Komunitas Bara Puan memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HATKP) dan Camp Rimpang Alit Jilid IIdengan menggelar Diskusi Publik Road To Camp Rimpang Alit Jilid II bertemakan ‘Gerakan Perempuan dan Perlawanan Terhadap Ketimpangan’ di Gedung PKM Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip) Jalan Prof. Soedarto, Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang, Rabu, 4 Desember 2024.
Kegiatan itu sebagai upaya memperkuat kesadaran para mahasiswa maupun kelompok marjinal. Diskusi tersebut dihadiri oleh seluruh perwakilan dari mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, buruh, dan kelompok marjinal.
Ketua penyelenggara dari LBH Semarang, Tuti Wijaya mengatakan, diskusi ini berfokus pada ketimpangan dan gerakan yang dialami oleh para perempuan dari berbagai elemen pasca rezim baru dimulai. Menurutnya, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin tidak masuk akal.
“Seperti contohnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen. Hal itu berdampak pada teman-teman mahasiswa. Sehingga kita coba kumpulkan dan mendiskusikan dan kemas menjadi Road to Rimpang Alit yang kedua yang nanti kita juga bahas soal ketimpangan itu lagi,” ujarya, Rabu, 4 Desember 2024.
Kata Tuti, ada banyak sekali hal yang dikeluhkan oleh teman-teman mahasiswa maupun kelompok marjinal, antara lain isu kekerasan seksual, krisis iklim, feminisme, dan masih banyak lagi yang berdampak pada hak perempuan.
Pada akhir 2023 sampai 2024 terjadi badai PHK di Jawa Tengah. Terlebih lagi, adanya krisis iklim berdampak pada buruh perempuan di wilayah Pantura.
“Namun dalam diskusi ini ternyata dalam konteks PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang tidak disahkan terus kemudian ada perempuan pekerja seks juga berdampak mengalami ketimpangan itu,” jelasnya.
Ke depan, pihaknya optimis tidak hanya membicarakan soal isu ketimpangan perempuan saja. Namun, juga akan merambah ke permasalahan yang dialami oleh pekerja informal yang berdampak ke isu lingkungan. “Kita harus bisa melakukan pendampingan kepada mereka,” katanya.
Wakil Ketua Bidang Sospol BEM Undip, Aulya Azrawati Fakhira sebagai narasmber diskusi, menjelaskan banyak sekali Pekerjaan Rumah (PR) perempuan yang harus dikawal bersama-sama. “Di antaranya, isu PRT, pekerja seks, pekerja informal, dan isu pajak yang berdampak pada buruh perempuan.”
“Peran mahasiswa sendiri upaya tentu mendengar keluh kesah aspirasi dari kawan-kawan. Kita rangkum, kongkritnya kita buat kajian dan dari BEM seringkali mengawal melalui infografis di Instragram dan melaksanakan diskusi seperti ini,” ungkapnya.
Dia berharap dengan adanya acara diskusi ini bisa menjadi sebuah catatan bersama. Selain itu, juga bisa mengawal bersama isu-isu soal ketimpangan yang dialami oleh perempuan agar mereka mendapatkan haknya.
“Jadi langkah kedepan kita harus terus mengawal isu ini bersama-sama jangan sampai ini upaya terakhir dari kita semua,” harapnya.
Sebagai informasi, Bara Puan merupakan sekumpulan para perempuan yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, serta mahasiswa yang berusaha memperjuangkan hak-haknya di berbagai isu. Dalam hal ini, pihaknya tidak hanya berfokus pada pendidikan kritis, namun juga melakukan pengorganisasian terhadap aktivis mahasiswa yang terdiri dari Undip, Unnes, UIN Walisongo,dan Upgris.
Acara ini juga turut diisi oleh dua narasumber dari kaum perempuan, seperti Editor Buku Seri Ekofeminisme, Dewi Candraningrum, dan Menteri Memberikan PKM BEM FH UNNES, Arvika Agustina.