Waria, individu transgender dengan identitas gender perempuan, menghadapi tantangan dalam mengekspresikan diri mereka.

Illustrasi keberagaman gender (pixabay)
Kota Semarang bak samudera yang menampung seluruh “sungai-sungai” kultur tanah Jawa bagian Tengah. Dibalik hiruk-pikuk kehidupan urban, ada cerita menarik dari komunitas waria yang penuh perjuangan, identitas, dan eksistensi. Salah satunya Perwaris Satu Hati Semarang, sebuah komunitas yang memberikan sudut pandang unik tentang bagaimana perjuangan gender dan cara mengekspresikan diri dalam masyarakat yang syarat akan norma tradisional.
Ketua Perwaris Satu Hati Semarang, Silvy Mutiari mengungkapkan bagaimana perjuangan kelompoknya saat membentuk komunitas. Perjuangan mengembangkan komunitas bertahun-tahun hingga penolakan pendirian yayasan yang tidak hanya sekali dengan alasan ketidakwajaran pada norma masyarakat. Bahkan, mereka harus menurunkan egonya demi legal standing komunitas. “Awalnya didaftarkan nama Perwaris, Persatuan Waria Semarang, mengalami penolakan sebanyak tiga kali, dengan alasan ada suku kata waria. Akhirnya bisa karena menurunkan ego kami, idealisme kami, dengan menambahkan dua suku kata ‘Satu Hati'”, ungkap Silvy beberapa waktu lalu.
Lewat Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (SK Menkumham) No. 4 tahun 2018, organisasi yang didirikan oleh lima orang termasuk Silvy sejak tahun 2009, secara sah telah menjadi yayasan yang diakui oleh Menkumham. Setelah organisasi ini berdiri, harapannya mampu menampung waria yang ada di Semarang Raya. “Kebetulan ada satu dari lima pendiri yang sudah meninggal,” jelasnya.
Waria, individu transgender dengan identitas gender perempuan, menghadapi tantangan dalam mengekspresikan diri mereka. Kehadiran mereka di ruang publik sering kali memicu perdebatan tentang batas-batas gender dan penerimaan mereka dalam masyarakat. Namun, berdirinya Perwaris Satu Hati menjadi simbol keberanian dan ketahanan dalam memperjuangkan hak berekspresi mereka sebagai manusia merdeka.
Dalam wacana feminisme saat ini, waria memberikan andil besar dalam memperkaya khazanah diskursus tentang kesetaraan dan pengakuan gender. Feminisme berupaya membongkar norma-norma yang menindas dan membatasi hak manusia dalam berekspresi. Feminisme dapat menjadi alat advokasi bagi komunitas waria dalam memperjuangkan hak dan kebebasan. Mereka menantang batasan-batasan patriarki yang mengatur peran gender dalam masyarakat.
Perwaris Satu Hati mengusung visi inklusif di masyarakat, artinya Perwaris menginginkan sebuah iklim penerimaan di mana masyarakat umum menerima cara mereka berekspresi dan mereka juga bersedia untuk menerima bagaimana kehidupan di dalam masyarakat umum.
“Karena dua sisi lebih ideal daripada salah satunya, yang bisa mencapai titik inklusif yang kami maksud. Dengan visi inklusivitasnya, maka teman-teman waria contohnya di lingkungan pendidikan tidak akan mendapatkan diskriminasi, seperti dikucilkan oleh teman-temannya, dicemooh, dan lainnya Sebab mereka berbeda dengan orang-orang pada umumnya,” kata Silvy.
Prasangka dan stereotip yang melekat pada kelompok waria menyebabkan mereka tidak mampu menjalankan pekerjaan mereka dengan semestinya. Silvy, sebagai seorang Make Up Artist (MUA), menceritakan bagaimana hal tersebut telah menghalangi proses pekerjaannya.
“Akhirnya harus mencari win-win solution, agar pekerjaan bisa selesai, akhirnya aku pakai sarung tangan agar tidak menyentuh pengantin,” ungkapnya. Hal ini terjadi sebab waria masih dianggap eksklusif dari masyarakat pada umumnya.
Oetomo (2003; dikutip Mia, 2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat golongan sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria. Stigma atau pandangan negatif dikalangan masyarakat terhadap waria menyebabkan masyarakat tidak mau untuk mencoba memahami dan bergaul dengan kaum waria. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan aktivitas kaum waria yang mencoba menjunjung nilai inklusivitas di dalam masyarakat dan menjadikan mereka golongan yang termarjinalkan.
Stereotip yang menyebar dalam pemahaman masyarakat juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kaum waria. Dengan anggapan negatif terhadap waria tentunya kaum waria berusaha dengan caranya masing-masing agar bisa beraktivitas di tengah masyarakat, seperti berdandan tidak mencolok, menjaga sikap, bahkan memakai kerudung (dikutip dari Umi, 2013).
Silvy berharap masyarakat umum tidak dengan mudahnya percaya framing-framing dalam media sebelum dirinya sendiri mencari kebenaran lewat dialog langsung dengan mereka, para waria. Silvy mengutip sebuah pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Ia berharap masyarakat bisa secara terbuka untuk saling berkomunikasi demi saling memahami satu sama lain.
Melawan Stigma dengan Cinta
Ada suatu cerita menarik dari komunitas ini, Silvy ternyata juga menjadi guru ngaji bagi anak-anak di sekitar kompleks kantor Perwaris, dimulai dari belajar mengaji Juz Amma’ untuk pemula yang ingin belajar membaca Al-Qur’an. Dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh komunitas ini, diharapkan mampu mengubah paradigma masyarakat tentang transgender, khususnya transpuan yang juga melaksanakan kegiatan yang positif dan bisa berbaur dengan masyarakat.
Selain itu, setiap bulan Ramadhan, Perwaris Satu Hati melaksanakan kegiatan yang mereka namakan dengan ‘Berbagi Ramadhan’. Perwaris melaksanakan agenda rutin tahunannya ini sejak tahun 2012. Dalam program ini, banyak kegiatan yang dilaksanakan, seperti berbagi takjil, Sahur On The Road (SOTR), serta donasi dan silaturahmi ke panti asuhan. Sayangnya, pada tahun 2022, donasi dan silaturahmi ke panti asuhan harus ditiadakan sebab adanya Covid-19 yang melanda. Pandemi ini tidak hanya menyerang regional Indonesia, melainkan merambah hingga level global. Perwaris akhirnya hanya bisa melaksanakan dua kegiatan pada program tahunan ini, yakni berbagi takjil dan Sahur On The Road (SOTR).
Dalam momen-momen sebelum Covid-19 menyerang, Perwaris biasanya melaksanakan kegiatan di panti asuhan dengan melaksanakan donasi dan hiburan untuk penghuni panti asuhan. Donasi yang diberikan berupa sembako dan uang tunai, serta hiburan berupa musik dan doorprize untuk penghuni panti asuhan tersebut. Dana yang digunakan dalam program Berbagi Ramadhan ini berasal dari iuran anggota serta donasi dari luar maupun relasi yang terjalin. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan jiwa-jiwa sosial diantara anggota Perwaris dan bersosialisasi ditengah-tengah masyarakat Semarang.
Perjuangan feminisme dan hak-hak gender kaum waria masih merupakan isu yang selalu dibicarakan hingga saat ini. Kaum waria sering kali mengalami diskriminasi dan marginalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan dan pekerjaan. Penerimaan dan pengakuan terhadap identitas gender yang beragam sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Perjuangan gender tidak bisa dilakukan hanya oleh satu sisi saja. Kaum waria, masyarakat, dan pemerintah harus bersama-sama dalam memperluas pemahaman akan keberagaman gender demi terciptanya suatu ruang yang aman dan inklusif bagi setiap golongan.
Naskah opini ini ditulis oleh M. Rifky Adi Anggana, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang