
Aipda Robiq saat sedang menjalani sidang etik di Polda Jateng, Senin, 9 Desember 2024 (Iwan/Serat.id)
Kerabat Gamma atau GRO, Nursalam (45) menuntut Robig dengan hukuman pidana maksimal berdasarkan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Robig merupakan anggota kepolisian Polrestabes Semarang berpangkat Aipda yang telah menembak mati Gamma pada 24 November 2024 lalu.
“Kami ingin hukuman maksimal. Kalau dia dikenakan Pasal 338, seharusnya ancaman hukuman maksimal diterapkan tanpa kompromi,” tegas Nursalam saat Aksi Kamisan di depan kantor Polda Jateng, Kota Semarang, Kamis, 2 Januari 2025.
Aksi Kamisan melakukan doa bersama lintas agama sebagai bentuk solidaritas sekaligus memperingati 40 hari meninggalnya Gamma, siswa SMKN 4 Kota Semarang yang tewas ditembak Aipda Robig.
Aksi yang dimulai pukul 17.00 WIB dengan agenda orasi, doa bersama lintas agama, dan konferensi pers itu, dihadiri puluhan massa.
Suasana aksi berlangsung khidmat. Para peserta menggelar poster-poster berisi tuntutan keadilan dan menyerukan pentingnya reformasi di tubuh institusi kepolisian.
“Kami dari keluarga GRO sangat berterima kasih kepada tim Kamisan yang telah mendukung perjuangan kami. Kami berharap tersangka mendapatkan hukuman maksimal, dan keadilan untuk GRO dapat terwujud seadil-adilnya,” ucap Nursalam.
Di aksi itu, keluarga korban juga menyoroti kekurangan dalam rekonstruksi kasus. Menurut Nursalam, rekonstruksi hanya menampilkan kronologi penembakan tanpa menyertakan langkah-langkah pelaku setelah insiden.
“Rekonstruksi hanya sampai pada titik penembakan. Tidak dijelaskan ke mana pelaku pergi setelah itu, siapa yang mengantar GRO ke rumah sakit, atau apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan, pernyataan Robig bahwa dia mengantar sendiri Gamma tidak didukung bukti visual maupun saksi,” jelas Nursalam.
Selain itu, keluarga mengkritik pernyataan pihak kepolisian yang sebelumnya menyebut GRO membawa senjata tajam saat kejadian.
“Dari rekonstruksi hingga rekaman CCTV, jelas bahwa GRO tidak memegang senjata apa pun. Namun, pernyataan Kapolrestabes menyatakan bahwa GRO mengayunkan senjata. Itu tidak benar, dan kami menuntut pemulihan nama baik GRO,” tambahnya.
Aksi ini juga dihadiri oleh Amin Muktafa, mahasiswa UIN Walisongo Semarang, yang memimpin doa lintas agama untuk GRO.
“Saya diundang untuk memimpin doa dalam agama Islam. Kehadiran saya di sini adalah bentuk solidaritas dan harapan agar keadilan untuk GRO segera terwujud,” ujar Amin.
Aksi diakhiri dengan doa bersama lintas agama sebagai bentuk solidaritas untuk GRO dan keluarganya. Para peserta berharap kasus ini menjadi pembelajaran penting untuk mendorong reformasi di tubuh institusi kepolisian, agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.
Penulis: Auliya Anas Tasya, mahasiswa UIN Walisongo Semarang jurusan Ilmu Hukum, peserta magang Serat.id.