
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Fajar Muhammad Andhika menyebut penangkapan terhadap 4 demonstran oleh aparat kepolisian merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Penangkapan tersebut terjadi saat aksi unjuk rasa menolak pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Kamis, 21 Maret 2025, di Kompleks Gubernur Jateng,
Keempat peserta aksi yang sempat ditangkap polisi yakni dua mahasiswa berinisial K mahasiswa dari Unika Soegijapranata dan WG mahasiswa Universitas Sultan Agung (Unissula). Dua lainnya merupakan petugas aksi yakni C soundman dan MA sopir mobil komando. Mereka berdua adalah masyarakat sipil yang disewa mahasiswa untuk kebutuhan aksi.
“Kami menilai bahwa apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian tindakan yang ugal-ugalan dan melanggar hak asasi manusia karena kebebasan mengumakakan pendapat dilindungi hukum,” ucapnya dalam konferensi pers, Kamis, 20 Februari 2025.
Ia menjelaskan keempat orang tersebut baru dilepaskan selepas lebih dari dua jam menjalani pemeriksaan di ruang penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Semarang. Polisi melepaskan keempat orang tersebut secara bertahap.
K, mahasiswa dari Unika Soegijapranata dibebaskan terlebih dahulu pada pukul 21.00 WIB, disusul tiga lainnya sekitar 15 menit kemudian. Pembebasan tersebut dinilai sebagai keberhasilan dari solidaritas jaringan masyarakat sipil
Ia menilai tindakan kepolisian bertentangan dengan tugasnya, yang seharusnya menjaga massa aksi tetapi justru bertindak dengan kekerasan.
“Peserta aksi dari Aliansi Rakyat Semarang yang lantang menolak RUU TNI agar citra demokrasi tidak diciderai justru ditangkap layaknya sebagai penjahat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Andhika menyebut bahwa keempat orang tersebut selain ditangkap juga mendapatkan kekerasan fisik dan intimidasi. Satu korban mahasiswa Unika sedang melakukan visum ke RSUP Kariadi Semarang.
Sementara tiga lainnya meskipun tidak melakukan visum tetapi mendapatkan kekerasan serupa. “Hasil visum ini nanti akan digunakan untuk langkah lanjutan,” katanya.
Andhika menyebut dari kesaksian keempat orang tersebut mereka menyatakan tidak melakukan apa yang sama sekali dituduhkan oleh kepolisian. Justru polisi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), melakukan tindakan sewenang-sewenang memeriksa mereka sebagai saksi lantaran dituding melakukan penghasutan.
Padahal, penetapan sebagai saksi harus berdasarkan surat dengan pemanggilan yang jelas.
Dosen Unika Soegijapranata, Hotmauli Sidabalok yang melakukan pendampingan pada mahasiswanya yang ditangkap polisi menyebut mahasiswanya ditangkap polisi saat membela temannya yang mendapat represifitas dari aparat berupa pemukulan.
Ketika seorang mahasiswa menegur polisi yang memukul massa aksi, justru ia ditarik dan ditangkap.
Hotmauli menjelaskan pengeroyokan itu diterima mahasiswa yang diduga dilakukan oleh lima orang anggota polisi. Korban dipiting dan ditarik hingga terjatuh. Saat terjatuh itulah, korban merasa mendapatkan beberapa injakan kaki.
Akibatnya, dia mengalami sejumlah luka di kepala, kaki dan tangan. “Kami visum ke RSUP Kariadi Semarang untuk jaga-jaga ketika terjadi apa-apa karena mahasiswa kami ini mengeluh sakit di kepala,” katanya
Terpisah, Kapolrestabes Semarang Kapolrestabes Semarang Kombes Pol M Syahduddi membantah telah menjerat keempat orang peserta aksi tolak UU TNI di depan kantor Gubernur Jawa Tengah dengan pasal penghasutan.
“Tidak benar, mereka juga sudah di pulangkan semua,” terangnya.
Syahdudi juga membantah keempat orang tersebut diperiksa atau di BAP. “Itu hanya interogasi saja,” ucapnya