Kamis, Agustus 28, 2025
27.5 C
Semarang

Disedot dari Bawah: Ancaman Senyap Penurunan Muka Tanah di Pesisir Semarang

Rumah milik Suyono, warga RT 04 RW 16, Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara menjadi salah satu bukti penurunan muka tanah di Kota Semarang. (Dokumentasi: Serat.id)

Di pesisir Kota Semarang, rumah Suyono tampak berbeda sendiri. Bukan karena warnanya mencolok, tapi karena rumah tersebut tampak seperti perlahan tenggelam oleh tanah. 

Pintu dan jendela depan yang dulunya menjulang kini nyaris sejajar dengan permukaan jalan. Pintu depan pun jarang dibuka, seolah tak lagi berfungsi. Alhasil, setiap hari, keluarga Suyono lebih memilih masuk lewat pintu belakang, yang bangunannya masih utuh.

Di bagian depan rumah, tepat di bawah atap, sepeda motor terparkir di samping beberapa bata putih yang dibiarkan tergeletak. Di atasnya, deretan sepatu dijemur di bawah terik matahari. Atap itu kini bisa dijangkau Suyono dengan mudah, cukup berdiri tegak.

“Dulu rumah saya (bagian depan) tingginya 4 meter dari tanah sampai atap, kini tinggal satu meter,” kenang Suyono, warga RT 04 RW 16, Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara.

Suyono merupakan seorang nelayan pemilik perahu kecil berukuran panjang tiga meter. Penghasilannya tak menentu, kalau beruntung ia bisa mendapatkan sekitar 100 ribu rupiah per hari. Namun, sesekali cuaca buruk yang tak menentu akibat krisis iklim, menghambatnya melaut. Dalam situasi itu, ia beralih menjadi tukang serabutan.

Memperbaiki rumah bukan perkara mudah bagi Suyono. Ia harus menyisihkan 5 ribu rupiah setiap hari, hingga cukup untuk membeli satu truk dump tanah guna meninggikan rumahnya. Proses rehab dilakukan bertahap, bahkan harus mengorbankan satu hari kerja sebagai nelayan.

Ia memperkirakan telah menghabiskan sekitar 15 juta rupiah, namun biaya itu masih jauh dari kata cukup. Ia terpaksa berutang kepada tetangganya selama lima tahun. Kini, hanya bagian belakang rumah yang sudah ditinggikan dan tampak lebih besar. Sementara bagian depan masih belum tersentuh perbaikan.

Suyono bercerita bahwa banyak warga di kampung Tambakrejo dan Tambaklorok, yang juga berprofesi sebagai nelayan, terpaksa beradaptasi meninggikan rumah agar tak mudah kemasukan air rob atau ketika hujan deras melanda.

“Ini tanahnya turun kira-kira 20-25 cm setahun, ambles perlahan-lahan, kalau orang kelihatannya segini, padahal ambles,” katanya

Baginya kondisi sekarang, masih terlihat lebih baik dibandingkan belasan tahun lalu. Saat itu, air rob disertai angin barat kencang merusak pintu rumahnya. Air setinggi satu meter masuk dan merusak kasur serta peralatan elektronik. Ia bahkan sempat memindahkan anaknya ke rumah saudara selama empat hari.

Ia merasa kini berkat tanggul pembatas dan sheetpile, rob sedikit teratasi, meski terkadang air laut masih bisa masuk lewat drainase dan menggenangi jalan hingga setinggi 5 cm.

Kondisi Kampung Tambakrejo yang masih digenangi air rob ketika pasang terjadi. (Dokumentasi Serat.id)

Suyono sadar beberapa tetangganya telah menerima bantuan dari program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengaksesnya. Meski begitu, ia tak banyak berharap. Baginya, lebih baik berjuang sendiri, sebisanya.

Cerita Suyono ternyata bukan satu-satunya. Marzuki, warga kampung nelayan Tambakrejo RT 06 RW 16, juga pernah mengalaminya. Selama 35 tahun tinggal di sana, ia menjadi saksi bagaimana tanah yang dipijaknya perlahan tenggelam. 

Marzuki, warga Kampung Nelayan Tambakrejo menunjukkan sejumlah rumah mulai menyesuaikan diri dengan dampak penurunan muka tanah.

Menurut Marzuki, keberadan abrasi di wilayahnya makin diperparah dengan adanya penurunan muka tanah. Dampaknya tampak jelas. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang dulu berdiri megah, kini hilang ditelan air laut.

Padahal, ia masih ingat dua bangunan yang dibangun sekitar tahun 2005, TPI dan SPBN, bangunannya tampak megah dan jadi pusat aktivitas nelayan. “TPI dan SPBN saat itu hanya aktif beberapa tahun, terus dibiarkan sampai abrasi, sampai tenggelem tahun 2018, sekarang saya manfaatkan untuk jadi terumbu karang,” katanya

Marzuki menunjuk ke arah laut. Jauh sebelum sheetpile dibangun, di sana sudah berdiri sebuah tembok pagar milik Pelindo. “Dulu tingginya tiga meter, sekarang tinggal dua meter yang kelihatan.” katanya

Lebih lanjut Marzuki menceritakan, abrasi dan penurunan muka tanah juga memaksa warga Tambakrejo yang saat itu masih tinggal di tepi sungai Banjir Kanal Timur (BKT) untuk beradaptasi dengan cara meninggikan rumah agar tak mudah terkena rob. Jika uang tak mencukupi, sebagian warga hanya mampu meninggikan jalan di depan rumah mereka.

“Aku sempet tak tinggikan 60 cm, kalau diakumulasikan zaman itu bisa lima sampai delapan juta (rupiah), dari tabungan itu nyicil-nyicil beli satu sak semen, beli batu-batu juga,” katanya

Sejak tahun 2021 imbas dari penggusuran paksa oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, Marzuki menjadi salah satu dari 97 kepala keluarga yang pindah dari bantaran Kali Timur (BKT) ke Kampung Nelayan Tambakrejo, tepat di sisi barat tempat tinggal lamanya. Namun, baru setahun menempati lokasi baru, mereka kembali dihadapkan pada persoalan lama, air rob datang tanpa permisi setinggi 40 cm. 

Rumah warga di Tambakrejo yang ditinggikan akibat penurunan muka tanah.

“Blok A, B dan C yang kena rob, cenderung turun tanahnya, karena itu beberapa ada yang ninggiin rumah” katanya

Marzuki menceritakan kini warga sedikit lega, rampungnya pembangunan sheetpile telah membuat abrasi dan rob, sedikit berkurang. Meski begitu, ia sadar ancaman lain masih ada yang belum hilang yakni penurunan muka tanah.

Ia mendesak agar Pemkot Semarang memberikan perhatian serius atas pengawasan penggunaan air tanah secara masif oleh industri komersial. “Itu jadi tanggung jawab Pemkot Semarang, kita berharap Pemkot Semarang lebih cekatan mengatasi penurunan muka tanah,” ujarnya tegas.

Lokasi kampung Tambakrejo dan Tambaklorok tak jauh dari dua kawasan industri, yaitu Kawasan Industri Sinar Cipta dan Kawasan Industri Tanjung Mas. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Kota Semarang, masing-masing kawasan tersebut menaungi 39 dan 9 perusahaan.

Sekitar empat kilometer ke arah timur dari kampung Tambakrejo, sejumlah warga di Kecamatan Genuk juga mengalami dampak penurunan muka tanah yang makin terasa. Salah satunya Marsinah, warga RT 02 RW 02, Kelurahan Terboyo Wetan, Kecamatan Genuk. Rumahnya berdiri di antara dua kawasan industri besar Kawasan Industri Terboyo Megah dan Kawasan Industri Terboyo.

Di kawasan Terboyo tersebut, tercatat ada 302 perusahaan yang beroperasi. Dari jumlah tersebut, 213 perusahaan berada di Kawasan Industri Terboyo, dan 89 lainnya di Kawasan Industri Terboyo Megah. 

Marsinah, yang saat ini berusia 68 tahun, mengenang rumah yang kini tampak renta. Dulu, rumah itu nyaman dihuni, dengan tinggi bangunan sekitar tiga meter. Tapi sejak tanah perlahan turun dan banjir datang silih berganti, rumahnya makin rapuh.

Ia sudah tak bisa menghitung berapa kali jalan di depan rumahnya ditinggikan oleh Pemkot Semarang. Sementara, fondasi rumahnya hanya sempat sekali ditinggikan oleh suaminya yang bekerja sebagai buruh, dengan batu bata seadanya, tanpa sempat dilapisi semen.

Marsinah di depan rumahnya di Kelurahan Terboyo Wetan, Kecamatan Genuk. Hanya bagian depan rumah yang masih layak dihuni akibat penurunan muka tanah.

“Akhirnya diemplek-emplek (dikasih batu bata) bapake biyen, rumah pernah biyen ambrol nimpani kulo,” ujarnya.

Beberapa tahun lalu, suaminya meninggal dunia. Sejak itu, Marsinah tinggal sendiri dan tak banyak yang ia bisa perbuat untuk memperbaiki rumahnya. Bagian belakang rumah sudah lama ambruk, tak menyisakan ruang untuk dipakai.

Praktis, kini yang tersisa hanya bagian depan rumah, yang ia manfaatkan sebagai kamar sekaligus dapur kecil untuk memasak. Di muka rumah, Marsinah meletakkan sebuah tangga kecil dari kayu sebagai penopang sederhana untuk fondasi atap asbes yang mulai lapuk dimakan waktu.

Setiap tahunnya jika banjir datang, Marsinah hanya bisa pasrah. Kasur tempat tidurnya ikut terendam. Ia terpaksa mengungsi sementara ke rumah anak sulungnya yang berada tepat di sebelah barat rumahnya. Rumah anak sulungnya tampak lebih tinggi dibanding rumahnya sendiri.

Ia berharap Pemkot Semarang bisa membantu memperbaiki rumahnya. Bagi Marsinah, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal, di sanalah kenangan bersama suaminya tersimpan, termasuk saat-saat membesarkan anak-anaknya.

“Ini ibu rak iso kerjo maneh, mboten nate angsal bantuan rumah juga, rumahe yo wes ngene, (Ini ibu sudah gak bisa kerja lagi, gak dapat bantuan rumah, rumahnya saya biarkan gini) ujarnya lirih.

Bergeser sekitar satu kilometer ke arah timur, Suprapto, warga RT 01 RW 02 Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk, juga merasakan dampak penurunan muka tanah. Rumah peninggalan neneknya, yang telah ia tempati selama lebih dari sepuluh tahun, dulunya memiliki pagar setinggi satu meter.

Kini, jika diperhatikan dengan saksama, di ujung jalan yang mengarah ke rumahnya, masih tampak sisa pagar lama yang menyembul sedikit dari permukaan tanah. Terlihat jelas bahwa permukaan tanah di kawasan itu telah turun drastis.

Untuk beradaptasi, Suprapto terpaksa merehabilitasi rumahnya. Fondasi rumah ia tinggikan hingga satu meter.

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah WhatsApp-Image-2025-06-24-at-14.41.09-1024x576.jpeg
Penurunan muka tanah membuat pagar setinggi satu meter di depan rumah Suprapto, warga RT 01 RW 02 Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk, nyaris tak tampak lagi.

Proses peninggian itu ia lakukan dengan susah payah. Biaya ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari penghasilannya sebagai tukang becak motor. Dalam sehari, penghasilannya tidak menentu, kadang hanya Rp50 ribu, paling banyak Rp100 ribu.

“Rumah ini sudah ditinggikan (fondasinya), itu dulu kecil gini hampir Rp7 juta pas 2019an,” ucapnya.

Suprapto mengaku rumahnya masih sering terendam banjir yang datang hampir setiap tahun. Adapun banjir terparah terjadi pada tahun lalu yakni setinggi 1,5 meter, yang membuatnya bersama warga sekitar mengungsi ke masjid, bahkan hingga seminggu lamanya.

“Saya sejak kecil ya sudah diterima kondisinya kayak gini ya sudah, minta bantuan (rumah) gak usah (berharap),” katanya.

Penyebab Penurunan Muka Tanah Terjadi Secara Kompleks

Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Mila Karmilah mengatakan, penyebab penurunan muka tanah di wilayah Semarang Utara terjadi secara kompleks. Faktor pertama adalah aktivitas kawasan industri di Semarang Utara, termasuk di antaranya Terboyo, yang banyak melakukan pengambilan air tanah secara masif.

Selain itu, bangunan-bangunan di kawasan industri tersebut juga memberikan beban yang cukup tinggi terhadap tanah. Faktor lainnya adalah jenis tanah di wilayah Semarang Utara yang didominasi oleh tanah aluvial yang masih muda. Jenis tanah ini belum stabil sehingga sangat rentan mengalami penurunan secara bersamaan.

“Inilah kemudian penurunan muka tanah Semarang sampai 20 cm per tahun, ini kalau tidak ada regulasi yang mengatur pengawasan atas pengambilan air tanah, maka mungkin saja daerah pesisir itu bisa hilang,” katanya.

Mila menjelaskan bahwa pada akhirnya warga lah yang merasakan dampak paling parah dari penurunan muka tanah, padahal mereka tidak menggunakan air tanah secara masif. Ia juga menyoroti perhatian pemerintah yang dinilai hanya bersifat sementara, terbatas pada pemberian bantuan saat banjir terjadi. 

Padahal, peran pemerintah seharusnya hadir sejak awal dalam perencanaan pembangunan kawasan industri dengan mempertimbangkan keberlangsungan hidup masyarakat setempat.

Lebih lanjut ia menilai, pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) masih belum mampu menyelesaikan masalah di kawasan pesisir. Baginya, proyek tersebut justru cenderung untuk menyelesaikan motif ekonomi karena kedepannya semakin banyak industri yang akan dibangun di kawasan itu.

Mila melihat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah masih lemah mengawasi pengambilan air tanah oleh industri. Lebih rumit lagi, tata kelola pengawasan industri dilakukan oleh dua institusi berbeda, yaitu Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Izin pendirian industri diberikan oleh Pemkot Semarang, sedangkan izin pengambilan air tanah dikeluarkan oleh Pemprov Jawa Tengah.

“Jadi ini dua level skala kebijakan tidak sama, jadi semua orang akan lepas tanggung jawab. Pengendalian itu yang susah seringkali, kalaupun mau industri dibangun harus dipastikan harus tidak mengambil air tanah, dan mengganti dengan air PDAM,” katanya.

Di samping itu, bukti lain bahwa kepentingan penduduk masih terpinggirkan dapat dilihat dari hilangnya kawasan mangrove yang dikorbankan untuk TTLSD. Padahal keberadaan mangrove dapat berfungsi untuk melindungi daerah pesisir. 

Deputi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah Nur Colis menjelaskan bahwa masalah penurunan muka tanah di Semarang berawal dari kebijakan pemerintah yang memberi ruang bagi eksploitasi air tanah oleh industri komersial.

“Pemerintah tak ada sidak dan pengawasan yang cukup intens ke lapangan sehingga kecolongannya (pengambilan air tanah masif seperti itu),” katanya.

Riset Walhi menunjukkan bahwa wilayah seperti Tambakrejo, Pelabuhan Tanjung Emas, Tambak Lorok, Tanah Mas, hingga Marina termasuk dalam Zona 1 yakni zona dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap penurunan muka tanah.

Secara geologis, wilayah ini memiliki ketebalan material urug antara 3 hingga 4,5 meter, lapisan lempung lunak setebal 25 hingga 30 meter, dan pasir pada kedalaman 15 hingga 17 meter. Permukaan air tanah juga telah mengalami penurunan hingga 10 hingga 15 meter.

Penurunan muka tanah di kawasan ini dipicu oleh dua faktor utama. Pertama, beban tanah urug yang menyumbang sekitar 52 hingga 59 persen tekanan pada lapisan tanah di bawahnya. Kedua, penurunan muka air tanah yang mempercepat proses kompaksi yakni pemadatan tanah akibat hilangnya tekanan air di dalam pori-pori.

Kondisi ini diperparah oleh masuknya air laut ke dalam lapisan tanah. Daya serap tanah pun menurun, membuat air hujan dan rob sulit meresap dan kerap menyebabkan genangan.

“Tanah sudah sulit untuk meresap air, sehingga (Pemkot) kemudian pompa-pompa air ini menjadi tumpuan utama (untuk membuang genangan air),” katanya.

Ia menyambut positif langkah pemerintah yang mulai menunjukkan kesadaran terhadap masalah penurunan muka tanah di Kota Semarang. Salah satu indikatornya terlihat dari terbitnya Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 23 Tahun 2023 tentang zonasi bebas air tanah. Langkah ini juga diperkuat dengan adanya peta zona konservasi air tanah di Kota Semarang pada tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah. 


[masterslider id=”2″]

Selain itu, Colis melihat dengan terbitnya Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah dapat mendorong Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk masuk ke kawasan-kawasan industri. Dengan begitu, penggunaan air tanah oleh sektor industri diharapkan bisa ditekan secara signifikan. 

Lebih lanjut ia mengingatkan agar pengawasan terhadap industri harus diperketat agar tak ada lagi pengambilan air tanah secara masif. Meski demikian, ia menyarankan agar kebijakan pengambilan air tanah dapat dikecualikan untuk masyarakat pesisir. Pasalnya kebutuhan mereka untuk air tanah hanya sebatas kebutuhan rumah tangga yang tak sebesar kebutuhan sektor industri. 

Ia juga melihat bahwa warga justru menjadi korban dari penurunan muka tanah, karena rumah mereka kini mudah terkena rob dan banjir. Oleh karena itu, ia mendorong agar Pemkot Semarang memberikan bantuan perbaikan rumah bagi warga pesisir yang penghasilannya terbatas dan tidak mampu memperbaiki tempat tinggal mereka secara mandiri. 

Ia juga menyoroti keberadaan TTLSD justru makin mendorong kawasan industri tubuh sumbur lagi di area tersebut. Hal ini bisa makin memperparah penurunan muka tanah yang belum terselesaikan.

“Bisa jadi land subsidence tambah parah dengan menjamurnya industri-industri baru yang akan banyak di pesisir Demak dan Semarang,” ujarnya

Pengambilan Air Tanah Masif Dilakukan Industri Komersial

Direktur Utama PDAM Tirta Moedal Semarang Yudi Indarto mengakui bahwa penurunan muka tanah di Kota Semarang telah terjadi dan bahkan telah mencapai 10 cm per tahun. Lokasi lebih parah terutama di wilayah Semarang Utara. Ia menyebut penyebab utamanya adalah pengambilan air tanah secara masif oleh sektor industri komersial.

“Rumah tangga gak pakai air dalam, pakai air tanah dangkal, yang bahaya itu penurunan muka tanah yang pakai air tanah dalam sama industri,” kata Yudi.

Yudi juga menjelaskan bahwa penurunan muka tanah diperparah oleh terjadinya intrusi air laut, yaitu masuknya air laut ke dalam lapisan air tanah. Fenomena ini bahkan telah terjadi hingga ke kawasan Kota Lama Semarang dan Simpang Lima, yang menyebabkan kualitas air di wilayah tersebut menurun dan terasa payau.

Salah satu bukti bahwa intrusi air laut telah terjadi adalah adanya fasilitas pipa PDAM yang mengalami karat. Hal ini mengindikasikan bahwa air tanah di wilayah tersebut sudah mengandung kadar garam yang tinggi

Yudi menjelaskan bahwa Pemkot Semarang telah melakukan upaya serius dalam menangani penurunan muka tanah, salah satunya melalui penerbitan Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 23 Tahun 2023 tentang Zonasi Bebas Air Tanah. Dalam peraturan tersebut terdapat peta zonasi pemanfaatan cekungan air tanah, serta larangan pengambilan air tanah di wilayah yang telah ditetapkan sebagai zona bebas air tanah.

Saat ini, beberapa industri di Kawasan Industri Terboyo sudah mulai membeli air dari PDAM melalui skema pembelian air curah. Dalam hal ini, PDAM menyediakan airnya, sedangkan proses penyalurannya diserahkan kepada pihak pembeli.

Ia menilai bahwa aturan ini akan semakin kuat dengan diberlakukannya Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah. Aturan tersebut akan membuat pajak air tanah menjadi lebih mahal, sehingga mendorong industri komersial untuk beralih dari penggunaan air tanah ke air PDAM.

“Jadi perolehan air itu nanti kalau dilaksanakan di Kota Semarang pajak air tanahnya maksimal 20 persen lalu dikalikan perolehan air tersebut, tujuannya konservasi lingkungan karena lingkungan pesisir itu penurunan muka tanahnya mengerikan,” katanya

Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Kota Semarang Yudi Wibowo mengatakan bahwa bantuan bagi warga kurang mampu yang rumahnya terdampak penurunan muka tanah dapat disalurkan melalui program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Tahun ini, bantuan tersebut akan diberikan kepada 700 rumah, dengan nilai perbaikan sebesar Rp20 juta untuk setiap penerima.

“Skemanya kalau untuk material Rp17,5 juta dan untuk tenaganya Rp2,5 juta,” katanya

Yudi menjelaskan bahwa warga yang tidak mampu dapat mengajukan bantuan RTLH dapat mengajukan permohonan dengan syarat memiliki bukti kepemilikan tanah, terdaftar dalam database warga tidak mampu, serta melampirkan fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ke kelurahan masing-masing. Nantinya, laporan dari kelurahan akan disampaikan langsung ke Disperkim Kota Semarang untuk dilakukan verifikasi.

Meski demikian, ia menyebut bahwa kelurahan dan RT juga dapat berperan aktif dalam mendata warga kurang mampu, agar masyarakat mengetahui adanya program bantuan RTLH ini. Meskipun program ini harus mengikuti daftar antrean, Disperkim tetap menyediakan kuota khusus bagi rumah-rumah yang diprioritaskan untuk segera mendapatkan bantuan.

“Mungkin ke depan kita juga ada bantuan juga ke CSR, sehingga lebih banyak yang terselesaikan ataupun nanti bantuan nominalnya akan dibesarkan, karena kebutuhan rumah kan banyak,” katanya. ***

Hot this week

Jurnalis MNC Terluka Usai Meliput Aksi di Grobogan, AJI Semarang: Polda Jateng Harus Usut Tuntas Kasus Ini

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras aksi pembacokan...

Robig Penembak Mati Gamma Resmi Dipecat

Illustrasi sidang Robig Zainudin di Mapolda Jawa Tengah pada...

Lima Mahasiswa Aksi Hari Buruh Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Negeri Semarang

Kelima mahasiswa saat sedang menjalani sidang perdana di Pengadilan...

Puluhan Warga Pati Terluka, Sebagian Terkena Selongsong Peluru

Massa aksi saat melakukan protes kenaikan PBB sebesar 250...

Saparan di Kopeng, Tradisi Ucap Syukur Kepada Alam

Festival Budaya Kulon Kayon di dusun Sleker, Desa Kopeng,...

Topics

Jurnalis MNC Terluka Usai Meliput Aksi di Grobogan, AJI Semarang: Polda Jateng Harus Usut Tuntas Kasus Ini

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras aksi pembacokan...

Robig Penembak Mati Gamma Resmi Dipecat

Illustrasi sidang Robig Zainudin di Mapolda Jawa Tengah pada...

Lima Mahasiswa Aksi Hari Buruh Jalani Sidang Perdana di Pengadilan Negeri Semarang

Kelima mahasiswa saat sedang menjalani sidang perdana di Pengadilan...

Puluhan Warga Pati Terluka, Sebagian Terkena Selongsong Peluru

Massa aksi saat melakukan protes kenaikan PBB sebesar 250...

Saparan di Kopeng, Tradisi Ucap Syukur Kepada Alam

Festival Budaya Kulon Kayon di dusun Sleker, Desa Kopeng,...

Robig Divonis 15 Tahun Penjara, LBH Semarang: Polri Harus Memecatnya

Suasana Sidang Robig Zainudin di Pengadilan Negeri Semarang, Jumat,...

Komunitas Sastra di Kendal Kembali Gelar KCA 2025

Beberapa komunitas sastra di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah kembali...

Ini Desakan Koalisi Advokat Progresif Indonesia Terkait RUU KUHAP

Koalisi Advokat Progresif Indonesia (KAPI) menyoroti sejumlah pasal dalam...
spot_img

Related Articles

Popular Categories

spot_imgspot_img