
Pengunjung nampak memadati Museum Ranggawarsita, Kota Semarang, Kamis, 22 Mei 2025 (Lidwina Nathania/Serat.id)
Matahari tepat di atas Museum Ranggawarsita saat saya mendatangi tempat itu, pada Kamis, 22 Mei 2025 lalu. Bangunan adat Jawa Tengah berdiri kokoh, seakan menyambut setiap pengunjung yang datang ke Jalan Abdul Rahman Saleh nomor 1, Kalibanteng Kulon, Kota Semarang.
Tiketnya hanya Rp 10 ribu saja. Itu sudah termasuk pemandu. Saya lalu memasuki museum, dan pemandu mulai menjelaskan semua tentang sejarah dan kebudayaan Jawa Tengah yang ada di dalamnya.
Siang itu banyak pengunjung yang belajar sejarah di museum Ranggawarsita. Salah satunya Naufal, mahasiswa Universitas Diponegoro. Ia mengatakan, “Alasan utama itu karena mendapatkan tugas untuk meliput tentang budaya-budaya di Semarang. Kedua mendapat saran dari teman yang sudah pernah ke sini katanya bagus, bermacam-macam budaya ada, tempatnya juga luas banget dan memang benar pas ke sini, tempatnya luas dan banyak menampilkan budaya Semarang.”
Hanya sebentar saya ngobrol dengan Naufal. lalu saya ditemani pemandu memasuki museum. “Pengunjung dari museum ini kebanyakan dari kalangan anak-anak dan pelajar,” kata pengelola sekaligus pemandu di Museum Ranggawarsita, Sugiyanto mengawali obrolan.
Mulanya, Museum Ranggawarsita hasil inisiasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang dipimpin oleh Gubernur Soepardjo Rustam kala itu. Proses pembangunan dimulai pada 1975, lalu diresmikan 2 April 1983 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sugiyanto juga menjelaskan alasan memakai nama seorang pujangga, Ranggawarsita. Ia mengatakan bahwa Ranggawarsita adalah pujangga dari Kasunana Kartasura.
Pada 1845, Belanda melihat Ranggawarsita sebagai jurnalis yang mengancam keberadaannya dan tulisan-tulisan Ranggawarsita dapat membangkitkan semangat perlawanan para pribumi.
“Ia adalah pujangga terakhir di Jawa Tengah dari Kasunanan Kartasura,” tungkas Sugiyanto.
Keberadaan museum ini sebagai sarana edukasi koleksi bersejarah. Selain itu, juga sebagai upaya pelestarian warisan kebudayaan masyarakat Jawa Tengah.
Sugiyanto lalu mengajak saya melihat miniatur koleksi yang ada di penjara zaman penjajahan Jepang. “Penjaranya itu bukan penjara yang kayak kita zaman sekarang dikurung, itu bukan. Tapi pakai penjara bak, jadi airnya setinggi kaki dan dibiarin terus sampai masa kurungannya,” katanya menjelaskan.
Museum ini juga memamerkan pakaian khas dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Koleksi ini memperkaya identitas budaya yang memanjakan mata karena memperlihatkan keunikan koleksi seperti daerah Kudus, Klaten, Tegal, Slawi, Batang, Sangiran.
Di ruang lain, nampak keris dan seperangkat gamelan kuno tertata rapih. Benda bersejarah yang menjadi bagian seni musik tradisional, kesenian wayang, barongan, tarian tradisi.
Museum Ranggawarsita bukan hanya sekadar tempat menyimpan koleksi benda bersejarah, tetapi juga sebuah ruang untuk memahami perjalanan panjang peradaban manusia di tanah Jawa Tengah.
Lebih dari 60.000 koleksi, menjadi suatu kesimpulan bahwa lengkap sudah wawasan kita dalam menyusuri kebudayaan Jawa Tengah. Salah satu yang menjadi koleksi museum adalah gamelan. Ia masuk ke dalam koleksi bersejarah yang ditetapkan oleh UNESCO tahun 2021.
Saya semakin dikejutkan dengan adanya fosil-fosil peradaban kuno.di antaranya fosil stegodon yaitu gajah purba dari Blora yang memiliki nilai ilmiah dan historis tinggi, hingga arca-arca peninggalan Hindu-Buddha penuh makna spiritual serta keindahan seni.
Setelah menemani dan menjelaskan semua koleksi museum, sambil berjalan keluar Sugiyanto menyinggung bus wisata. Katanya, “Banyaknya anak-anak yang datang, mendorong pemerintah menyediakan bus wisata kota.”
“Walaupun era semakin modern tetaplah selalu ingat sejarah. Sebab, peristiwa sekarang terbentuk karena konstruksi masa lalu dan orang-orang yang menciptakan sejarah itu di dalamnya,” kata Sugiyanto mengakhiri pertemuan.
Penulis: Lidwina Nathania, Universitas Negeri Semarang, Ilmu Politik