“Di momen Hari Bhayangkara, aparat bukannya merefleksikan kekerasan masa lalu, justru kembali hadir dengan cara intimidatif. Seharusnya forum-forum masyarakat sipil dilindungi, bukan dibatasi,”

Aparat kepolisian saat mendatangi acara diskusi refleksi Hari Anti Penyiksaan Internasional yang digelar oleh Koalisi Rakyat Lawan Kekerasan pada Selasa, 1 Juli 2025, di Santrendelik, Kota Semarang. (Dokumentasi AJI Semarang)
Belasan aparat kepolisian mendatangi acara diskusi refleksi Hari Anti Penyiksaan Internasional yang digelar oleh Koalisi Rakyat Lawan Kekerasan pada Selasa, 1 Juli 2025, di Santrendelik, Kota Semarang. Ada yang mengenakan seragam dan berpakaian sipil, termasuk Kapolsek Gunungpati berpangkat kompol.
Aparat tersebut datang menggunakan lima mobil dan beberapa sepeda motor. Alasannya, mereka menerima informasi akan ada aksi demontrasi bertepatan dengan peringatan HUT Bhayangkara ke-79.
Koalisi Rakyat Lawan Kekerasan sendiri berasal dari berbagai organisasi masyarakat sipil seperti AJI Kota Semarang, LBH Semarang, Aksi Kamisan Semarang, Jaringan Pers Mahasiswa Semarang Raya, dan Kaukus Advokat Progresif Indonesia (KAPI).
Forum diskusi tersebut digelar pada sore hari, sedangkan paginya aksi simbolik dengan membagikan bunga kepada keluarga korban kekerasan aparat yakni keluarga Gamma dan Darso di Pengadilan Negeri (PN) Semarang.
Kehadiran aparat dalam jumlah besar pada diskusi yang bersifat akademik dan terbuka itu justru menimbulkan kesan intimidatif dan mengganggu kebebasan ruang sipil.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Aris Mulyawan, menyayangkan kedatangan aparat yang terkesan represif. Dia juga mempertanyakan informasi yang diterima polisi bahwa koalisinya akan melakukan aksi demontrasi.
“Kita menyayangkan ketika kegiatan diskusi seperti ini sampai didatangi polisi dalam jumlah banyak. Tadinya diskusi soal penyiksaan, malah jadi refleksi tentang kekuasaan yang represif. Apakah polisi masih belum memahami konstitusi yang menjamin kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berekspresi?,” ujar Aris Mulyawan, Selasa, 2 Juli 2025.
Aris menambahkan bahwa kehadiran aparat seharusnya diarahkan untuk melindungi kebebasan berekspresi, bukan mencurigai forum intelektual sebagai ancaman. Jika aparat ingin hadir, mereka bisa datang sebagai peserta, bukan membawa kekuatan penuh yang menimbulkan rasa tidak nyaman.
Meskipun kehadiran aparat sempat menciptakan ketegangan, diskusi akhirnya tetap berjalan setelah panitia Koalisi Rakyat Lawan Kekerasan memberikan penjelasan langsung kepada aparat kepolisian bahwa kegiatan tersebut bukan aksi demonstrasi, melainkan forum diskusi reflektif dalam rangka memperingati Hari Internasional Menentang Penyiksaan.
Pegiat LBH Semarang, Fajar Muhammad Andika, menyebut tindakan aparat sebagai cermin gagalnya institusi kepolisian dalam mengevaluasi peran mereka di masyarakat. Aparat kembali mengintimidasi dan membatasi ruang-ruang sipil seperti forum diskusi.
“Di momen Hari Bhayangkara, aparat bukannya merefleksikan kekerasan masa lalu, justru kembali hadir dengan cara intimidatif. Seharusnya forum-forum masyarakat sipil dilindungi, bukan dibatasi,” ungkap Fajar.
Dia menegaskan bahwa tindakan aparat yang datang tanpa kejelasan justru mempersempit ruang demokrasi dan memperkuat praktik kekuasaan yang anti-kritik.
Dalam catatan LBH Semarang, praktik kekerasan dan intimidasi terhadap warga sipil dan massa aksi terus terjadi dari waktu ke waktu, mulai dari Reformasi Dikorupsi hingga berbagai protes kebijakan negara lainnya.
“Apa yang terjadi di Santrendelik menunjukkan bahwa aparat masih menjadi aktor utama pembungkaman kebebasan sipil di negara yang menyebut dirinya demokratis,” ujarnya.