“Kalau dulu musim kemarau lautnya tenang, tinggal cari kerang atau lempar jaring. Sekarang ya tidak tentu, ombak bisa tinggi terus sebulan,”

Nelayan Tambakrejo, Kota Semarang, Marzuki saat berangkat melaut, Minggu, 15 Juni 2025 (Sabrina Mutiara F/Serat.id)
Kemarau tahun ini terasa berbeda bagi nelayan di pesisir Kota Semarang. Langit memang jarang menurunkan hujan, namun laut tak pernah benar-benar tenang. Angin barat yang seharusnya reda, justru bertiup lebih lama. Cuaca yang tak menentu ini membuat nelayan di kawasan kampung nelayan Tambakrejo hingga Tambakmulyo, Kota Semarang gundah.
Fenomena kemarau basah bukan sekadar nama yang mereka ciptakan, dampak dari krisis iklim. Namun fenomena ini mengganggu aktivitas melaut, memperparah abrasi, mempersulit akses tangkap ikan, hingga menekan perekonomian nelayan yang sejak lama bergantung pada laut.
Biasanya, musim kemarau menjadi masa panen bagi nelayan pesisir Semarang karena laut yang cenderung tenang dan ikan mudah ditangkap. Namun tahun ini, banyak nelayan pulang dengan jaring kosong, bahkan enggan melaut karena risiko terlalu besar. Salah satunya, Marzuki, nelayan dari Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas yang menghabiskan sebagian hidupnya untuk melaut.
Marzuki menyebut, sebagian besar nelayan Tambakrejo kini mengeluhkan hasil tangkapan yang kian berkurang dari waktu ke waktu.
“Kalau dulu musim kemarau lautnya tenang, tinggal cari kerang atau lempar jaring. Sekarang ya tidak tentu, ombak bisa tinggi terus sebulan,” ucap Marzuki Juni lalu.
Di samping cuaca yang tak menentu, ruang tangkap nelayan tradisional seperti dirinya juga kian menyempit akibat pembangunan Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Belum lagi sengketa zona teritorial tangkap dengan nelayan-nelayan modern atau nonramah lingkungan.
Marzuki dan sejumlah nelayan Tambakrejo berinisiatif untuk membangun rumpon demi menjaga zona tangkap nelayan tradisional, sekaligus bisa menambah penghasilan dari panen kerang hijau di rumpon yang mereka tanam.
“Rumpon itu bisa menghalau nelayan nonramah lingkungan, misal yang pakai alat selodo. Jadi mempersempit ruang mereka jika mau ekspansi ke wilayah pinggiran. Jadi kita karyakan lagi rumpon-rumpon itu agar zona nelayan tradisional atau ramah lingkungan semakin terjaga,” ujar dia.
Sengketa Persaingan dengan Nelayan Non Ramah Lingkungan
Selain Marzuki, ada pula Mashur, seorang nelayan Tambakmulyo kini lebih sering menjadi nelayan selam pencari kerang hijau dibanding pergi melaut. Kondisi laut yang tak menentu membuatnya menyerah mencari pendapatan.
Ia menyebut, selain cuaca yang tak menentu, zona tangkap nelayan tradisional juga hilang karena persaingan di laut yang kian tak sehat. Kapal-kapal besar dengan alat tangkap modern kini masuk ke zona satu, wilayah yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi kapal berkapasitas di bawah 3 gross ton (GT).
Padahal, alat tangkap yang digunakan nelayan kecil seperti alat arat (varian dari pukat harimau yang diperkecil) hanya bisa menjangkau perairan dangkal sekitar lima meter. Sementara kapal besar bisa menjelajah lebih jauh dan menyapu habis ikan-ikan kecil hingga besar, membuat persaingan tak seimbang.
“Sebetulnya zona satu itu untuk nelayan kecil. Tapi sekarang kapal besar masuk semua. Padahal di situ ikannya banyak,” ujar Mashur.
Kini, Mashur memilih menggantungkan penghasilan utamanya dari pendirian rumpon. Baginya, kehadiran rumpon sangat membantu perekonomian keluarga, meski masa panennya hanya datang setiap lima hingga enam bulan sekali.
Mashur telah mendirikan dua unit rumpon, masing-masing terdiri dari sekitar 300 batang bambu. Dalam sekali panen, satu rumpon dapat menghasilkan sekitar 1,5 ton kerang hijau.
“Satu bambunya bisa menghasilkan paling sedikit 5 kilogram kerang hijau. Kalau dijual, paling murah Rp 5000 per kilo. Ya tinggal dikalikan. Tapi pas nunggu panen begini ya kerja serabutan,” ujar Mashur.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mashur menekuni pekerjaan serabutan sebagai pelukis kapal. Keahlian yang telah lama dia miliki ini menjadi sumber penghasilan tambahan yang cukup membantu menopang hidupnya.

Mashur memperlihatkan karya lukisnya di perahu milik nelayan, salah satu sumber penghasilan setelah melaut tak lagi dapat diandalkan (Sabrina Mutiara F/Serat.id)
Lebih dari sekadar menggambar, Mashur piawai menghias badan kapal dengan berbagai motif, memadukan warna, hingga menuliskan nama perahu yang menjadi identitas khas milik para nelayan.
Mashur tidak pernah mematok tarif tetap. Ia menerima bayaran seikhlasnya dari pemilik kapal, mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 500.000, tergantung kemampuan dan niat baik pemberi jasa.
“Itu ngelukis badan kapal dari kanan, kiri, belakang. Ada yang motif batik, selendangan, macam-macam,” ungkap Mashur.
Hilangnya Ruang bagi Perempuan Pesisir
Di balik kesulitan nelayan melaut, ada pula dampak nyata yang menghantam kehidupan perempuan pesisir Semarang. Merekalah yang selama ini bertahan di belakang layar, mengolah hasil laut, menyambung nafkah keluarga, dan menjaga ekonomi rumah tangga tetap berputar.
Ketua Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) Semarang, Suntiah, mengatakan, perubahan iklim yang diperparah oleh ketidakpastian musim seperti kemarau basah menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Tidak hanya itu, biaya melaut terutama untuk bahan bakar, tak lagi sebanding dengan hasil tangkapan.
“Perempuan pesisir ini memang tidak melaut, tapi sangat bergantung pada hasil laut. Saat penghasilan nelayan turun, mereka juga ikut terpukul,” ujar Suntiah.
Ia menyebut, banyak nelayan terpaksa ngebon atau berutang solar pada pengepul demi bisa melaut. Terkadang, hasil tangkapan hanya cukup untuk menutup utang, atau malah kurang.
Kondisi ini memukul perempuan pesisir yang bekerja sebagai pengolah hasil laut. Jika hasil tangkapan sedikit, produksi ikan asin, petis, atau kerupuk juga kian menurun. Tak ada sisa untuk dijual, tak ada keuntungan yang bisa dibawa pulang.
“Kadang mereka terpaksa ngutang dulu. Misal ngutang untuk beli solar, setelah itu ikan hasil tangkapan itu dijual. Tapi kalau untuk bayar utang, nanti kebutuhannya tidak terpenuhi, jadi mereka bisa utang lagi, padahal belum kebayar. Jadi ya gimana, kebutuhannya tidak bisa terpenuhi,” ungkap Suntiah.
Suntiah menyebut, krisis ekonomi ini juga mendorong peralihan profesi. Jika para nelayan yang kehilangan alat tangkap beralih ke budidaya kerang hijau menggunakan rumpon. Perempuan menjadi buruh kupas kerang dengan upah kecil, mulai dari Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per kilogram tergantung ukuran dan kemurahan hati pengepul.

Seorang nelayan Tambakrejo sedang memasang bambu untuk rumpon (Sabrina Mutiara F/Serat.id)
“Kalau cepat, bisa dapat 3-4 kilo sehari. Tapi kalau lambat, ya hanya satu kilo. Penghasilan tidak tentu,” ujarnya.
Selain pengupas kerang, perempuan pesisir di Tambak Lorok juga menekuni pekerjaan lain seperti buruh gesek ikan asin, penjual di pasar, pembantu rumah tangga, penjaga laundry, hingga penjual umpan pancing seperti cacing dan udang hidup.
“Tapi sekarang kita punya inovasi, ada yang hasil tangkapan itu dibikin cemilan, dikasih bumbu. Ada juga yang bikin umpan baru dari tepung. Sebenernya banyak yang pengen dijual, tapi ya terhalang modal,” ujar Suntiah.
Nelayan di Tengah Gempuran Krisis Iklim
Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah, Nur Cholis, mengatakan, dampak krisis iklim sangat memperparah keadaan. Fenomena cuaca yang tidak menentu melahirkan istilah baru yaitu “kemarau basah” di kalangan nelayan, sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi iklim yang kian sulit diprediksi. Menurut Cholis, istilah tersebut mencerminkan pengetahuan lokal berbasis pengalaman dan observasi masyarakat.
“Itu citizen science versi nelayan. Mereka menciptakan terminologi sendiri karena merasakan langsung dampaknya,” jelasnya.
Di samping itu, praktik-praktik destruktif seperti penggunaan alat tangkap ilegal, seperti pukat harimau atau cantrang, masih marak dilakukan oleh nelayan luar daerah. Alat tangkap tersebut dianggap merusak populasi ikan, karena menangkap ikan-ikan kecil yang seharusnya masih bisa berkembang biak.
Untuk mengembalikan kelestarian laut, Cholis merekomendasikan pendekatan berbasis ekosistem, seperti penggunaan rumpon dan rehabilitasi mangrove. Rumpon menjadi salah satu tempat berkumpul ikan dan mampu memulihkan ekosistem secara alami.
“Rumpon yang ditaruh di laut Tambakrejo bahkan kini jadi spot mancing favorit karena ikannya berkumpul di situ. Itu bukti bahwa pendekatan ekosistem lebih menjanjikan,” ujarnya.
Cholis menegaskan, bahwa solusi atas krisis pesisir tidak selalu harus bergantung pada proyek besar dan mahal.
“Kuncinya adalah partisipasi bermakna masyarakat, pendekatan berbasis alam, dan kebijakan yang tidak hanya melihat laut sebagai ruang pembangunan, tapi sebagai ruang hidup warga pesisir,” pungkas dia.
Kebijakan Pemprov Jawa Tengah dalam Merespons Krisis Iklim dan Nasib Nelayan
Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Kurniawan, menyatakan telah ada regulasi yang mengatur pembagian zona penangkapan.
“Kapal di bawah 5 GT memang bebas menangkap ikan di wilayah laut hingga 12 mil tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), tapi tetap wajib memiliki izin OSS RBA dan buku kapal dari KKP,” jelas Kurniawan.
Menurutnya, aturan tersebut telah tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 36 Tahun 2023, yang mengatur bahwa kapal di atas 5 GT seharusnya beroperasi di wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai, dengan perizinan dari pemerintah pusat.
“Kalau ada kapal besar yang menangkap ikan di bawah 12 mil, itu pelanggaran. Kami minta nelayan melaporkan hal ini ke Dinas Perikanan Kota Semarang, nanti kami koordinasikan,” ungkap dia.
Kurniawan menyebut, terdapat beberapa zona penangkapan ikan. Diantaranya, Zona 1A (0-2 mil) khusus untuk nelayan kecil dengan alat tangkap pasif, Zona 1B (2-4 mil) digunakan oleh kapal yang sedikit lebih besar dan menggunakan alat tangkap semi-aktif. Sedangkan zona di atas 12 mil diperuntukkan bagi kapal-kapal besar dengan izin pusat dan alat tangkap aktif.
Dirinya mengatakan, konflik internal nelayan tradisional dan modern memang sempat terjadi. Bahkan, hal tersebut pernah dimediasi oleh DKP melalui pendekatan berbasis kearifan lokal.
“Sudah pernah dilakukan mediasi terkait pembagian wilayah tangkap untuk alat tangkap tertentu. Tapi perlu pemantauan berkelanjutan,” ujar dia.
Sementara itu, untuk mengatasi penurunan populasi ikan dan sempitnya ruang tangkap akibat padatnya aktivitas pelabuhan Tanjung Emas, pihaknya telah menginisiasi program rumah ikan (fish apartement) sebagai bagian dari pemulihan Sumber Daya Ikan (SDI).
“Nelayan bisa dialihkan ke sektor wisata seperti pancing mania. Itu bisa jadi alternatif penghasilan selain menangkap ikan,” ucap Kurniawan.
Kurniawan menegaskan, ke depannya akan mendorong pengaturan lebih ketat terhadap aktivitas di laut, termasuk pemanfaatan rumpon buatan dan rumah ikan yang saat ini banyak dibangun oleh komunitas pemancing.