
Suasana Sidang Robig Zainudin di Pengadilan Negeri Semarang, Jumat, 8 Agustus 2025 (Dokumentasi: LBH Semarang)
Robig Zainudin, seorang Polisi yang menembak pelajar SMK di Semarang hingga tewas, akhirnya divonis 15 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah pada Jumat, 8 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Semarang. Tepat pukul 10.19 WIB, Majelis Hakim mulai membacakan putusan setebal 180 halaman pukul 10.19 WIB, meski tidak seluruhnya dibacakan di ruang sidang.
Sidang pembacaan putusan dimulai pukul 10.14 WIB dan dihadiri oleh keluarga korban Gamma Rizkynata Oktafandy yang duduk di barisan depan ruang sidang.
Sejak pagi puluhan polisi terus berjaga di Pengadilan baik di lorong persidangan maupun di dalam ruang persidangan tersebut. Bahkan, bahkan mobil Dalmas (pengendali massa) pun ikut dikerahkan di luar Pengadilan.
“Tindakan pengamanan berlebihan yang dilakukan kepolisian ini membuat keluarga tidak nyaman,” kata Bagas, Pegiat LBH Semarang dalam siaran pers yang diterima serat.id, Jumat, 8 Agustus 2025.
Robig ditahan sejak 10 Desember 2024 dan dalam nota pembelaannya ia meminta dibebaskan atau setidak-tidaknya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Namun permintaan tersebut ditolak Majelis Hakim dalam putusan sela.
“Sedari awal, Robig memang tidak mencerminkan penyesalannya, justru selalu membela dan meminta dengan seenaknya agar dibebaskan dari segala tuntutan. Jaksa Penuntut Umum mendakwa Robig dengan pasal 80 ayat 1 & 3 Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 338 KUHP, serta Pasal 351 KUHP,” ucapnya.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang menyebutkan tugas pokok polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Namun, kata Bagas, tugas tersebut tidak dapat dimaknai sebagai pembenaran atas tindakan Robig yang melepaskan empat kali tembakan secara membabi buta dan dari jarak dekat terhadap para korban yang tengah melaju tanpa memperhitungkan manfaat dan risiko, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Hakim menilai tindakan Robig tidak memenuhi prosedur penggunaan senjata api, khususnya tahapan tindakan agresif yang hanya dibenarkan jika pelaku kejahatan menimbulkan ancaman serius terhadap keselamatan jiwa atau keselamatan masyarakat.
Berdasarkan pendapat hakim, tembakan dilepaskan saat para korban justru melaju menjauh, dan dalih terdakwa bahwa tindakannya bertujuan menjaga keamanan justru menembak secara membabi buta yang menyebabkan kematian Gamma serta luka pada dua korban lainnya.
Hakim juga menyinggung adanya upaya Robig meminta keluarga korban membuat pernyataan tidak menuntut, namun menegaskan bahwa sekalipun ada kesepakatan demikian, hal itu tidak menghapus pertanggungjawaban pidana karena perkara ini adalah delik biasa, bukan delik aduan.
Selain itu dalam pertimbangannya, hakim mengutip Keterangan ahli pidana, ia menegaskan bahwa tindakan Robig tidak dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (1) KUHP dan bertentangan dengan Perkap Nomor 1 Tahun 2009. Hal ini dikuatkan oleh kesaksian korban lain yang menyatakan tidak ada tembakan peringatan ataupun teriakan “polisi” sebelum peluru diarahkan ke korban.
“Hasil visum Rumah Sakit Kariadi menunjukkan korban meninggal akibat luka tembak yang menembus pinggul, sementara dua korban lainnya mengalami luka akibat kekerasan,” kata Bagas menambahkan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatannya yang menghilangkan nyawa anak di bawah umur, menyebabkan dua orang luka-luka, dan mencoreng nama baik institusi kepolisian. Tidak ditemukan keadaan yang dapat menghapus sifat melawan hukum perbuatan Robig, yang dilakukan ia dalam keadaan sadar, tidak terancam, dan bukan dalam situasi darurat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati sebagaimana diatur Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 76C UU RI Nomor 35 Tahun 2014, serta kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan luka sebagaimana Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 76C UU perlindungan anak.
Sehingga atas perbuatannya, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 1 bulan. Putusan ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terkait lama pidana pokok dan besaran denda, namun berbeda pada pidana subsider, di mana JPU menuntut 6 bulan sementara hakim memutuskan 1 bulan.
Mengingat putusan atas sidang etik Robig yang menyatakan bahwa ia dipecat dengan tidak hormat, lalu kemudian ia mengajukan banding. Sidang banding kode etik robig akan digelar setelah putusan pidana dibacakan, dan yang menjadi catatan adalah Bidpropam harus memecat Robig berdasarkan Undang-Undang Kepolisian Tahun 2022, standar etik sangat tegas jika seorang anggota polisi dijatuhi vonis pidana lebih dari lima tahun penjara, maka banding atas putusan sidang etik yang menjatuhkan pemecatan wajib ditolak.
“Sudah seharusnya demi keadilan, Robig dipecat secara tidak hormat dari institusi Kepolisian,” tandasnya.