
Kelima mahasiswa saat sedang menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Semarang, Kamis, 14 Agustus 2025. (Dokumentasi: LBH Semarang)
Pengadilan Negeri Semarang menggelar sidang perdana lima mahasiswa yang dikriminalisasi saat aksi Hari Buruh 2025 dengan nomor Perkara 352/Pid.B/2025/PN Smg, Kamis, 14 Agustus 2025.
Sidang perdana itu dihadiri massa solidaritas dari berbagai lintas kampus dan Tim Hukum Suara Untuk Demokrasi (Suara AKSI).
“Upaya penangkapan, pemukulan, penetapan tersangka oleh kepolisian hingga menjadi terdakwa oleh kejaksaan menambah daftar panjang pembungkaman terhadap demokrasi dan HAM,” ucap pegiat hukum dari LBH Semarang, Safali dalam siaran pers yang diterima Serat.id, Kamis, 14 Agustus 2025.
Kata Safali, pada 10 Juli 2025 para pihak yang terdiri dari kelima mahasiswa dan pelapor Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Kota Semarang telah bersepakat menyelesaikan perkara dengan mekanisme Restorative Justice atau perdamaian dan pada 30 Juli 2025, berdasarkan berita acara yang dibuat Disperkim, pihak terlapor (kelima mahasiswa) telah melakukan ganti kerugian.
“Seharusnya saat ini kawan-kawan mahasiswa bisa menghirup udara bebas karena telah melakukan serangkaian upaya perdamaian dengan pihak pelapor, dalam hal ini Disperkim Semarang berupa, mengganti kerugian tanaman dan pagar yang rusak serta telah mengajukan surat permohonan maaf,” tambahnya.
Pihak kepolisian Polrestabes Semarang, Polda Jateng seharusnya mengedepankan prisip-prinsip restorative justice sebagaimana Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol No. 8 Tahun 2021).
Peraturan ini menjadi acuan bagi kepolisian dalam menangani tindak pidana dengan pendekatan keadilan restoratif serta kejaksaan negeri semarang menggunakan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Alih-alih pengajuan Restorative Justice (RJ) yang telah dilakukan oleh tim hukum, keluarga dan mahasiswa yang seharusnya di fasilitasi oleh kejaksaan, namun jaksa menolak upaya RJ tersebut serta meminta adanya perdamaian dengan pihak kepolisian yang “merasa” sebagai korban dari massa aksi.
“Padahal tidak ada bukti yang menjelaskan apakah polisi yang terluka tersebut akibat dari aksi yang dilakukan oleh kelima mahasiswa,” ujarnya.
Selain itu, upaya pengajuan perdamaian dalam bentuk RJ dengan pihak kepolisian di bawah naungan Polrestabes Semarang dan Polda Jawa Tengah pun tidak mendapatkan persetujuan.
“Perlu ditegaskan bahwa kelima mahasiswa dan dua diantaranya mahasiswa Undip merupakan korban kriminalisasi aksi may day di Semarang yang seharusnya mendapatkan perlindungan karena menyampaikan pendapat dan menyuarakan hak-hak buruh yang dijamin Undang-undang,” katanya.
Negara tidak boleh melakukan pembungkaman terhadap mahasiswa. Selain itu kriminalisasi mahasiswa tidak sampai di Pengadilan lantaran telah melakukan perdamaian dengan Disperkim (Pelapor) Jaringan masyarakat sipil dan Tim Hukum Suara Untuk Demokrasi (Suara AKSI) mendesak:
1. Bebaskan mahasiswa tahanan Kota Semarang dan beberapa massa aksi mayday di beberapa tempat lainnya.
2. Meminta dukungan masyarakat sipil untuk mendesak majelis hakim yang memeriksa perkara. 352/Pid.B/2025/PN Smg untuk segera dibebaskan yang mengedepankan prinsip-prinsip HAM dan keadilan restoratif.