
Serat.id– Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas mengajak semua elemen masyarakat sipil membantu menghentikan upaya pemerintah yang terus memaksa warga Wadas di Purworejo, menyerahkan tanahnya untuk tambang andesit.
Bulan Maret ini, pemerintah mengeluarkan ancaman konsinyasi bagi warga Wadas yang belum menyerahkan tanahnya.
“Saya kira Indonesia itu tidak membutuhkan pemimpin yang suka melakukan konsinyasi. Tindakan ini mengancam kehidupan petani dan ketahanan pangan,” ujar Ketua Gempadewa, Sudiman, Senin (3/4).
Penambangan batu andesit di Wadas akan digunakan untuk membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener. Presiden Joko Widodo menetapkan itu melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.109 tahun 2020.
Sedangkan pejabat yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan Bendungan Bener ini adalah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Ganjar adalah politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kemungkinan besar akan mencalonkan diri dalam pemilu presiden 2024.
“Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil agar membantu warga Wadas menghentikan ancaman konsinyasi dari pemerintah. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang suka menerapkan konsinyasi karena membuat rakyat menderita,” tambahnya.
Seperti diketahui, pada tanggal 10 Maret lalu, Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo melayangkan surat nomor AT.02.02/688-33.06/III/2023 kepada Kades Wadas. Tujuannya untuk memberi tahu warga yang masih menolak tambang agar segera menyerahkan berkas-berkas tanah sebelum tanggal 24 Maret untuk keperluan inventarisasi dan identifikasi. Bila melewati tanggal itu maka mekanisme konsinyasi akan berlanjut.
Warga berhasil menolak ancaman ini, tetapi setelah itu beredar isu pemerintah kembali akan mengeluarkan ancaman konsinyasi.
Tambang merusak kehidupan warga
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, kuasa hukum warga Wadas mengatakan konsinyasi adalah mekanisme paksa mengambil alih tanah oleh instasi yang membutuhkan dengan cara menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan.
UU Nomor 2 Tahun 2012 mengatur cara ini tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pasal 89.
Ia menjelaskan, penerapan mekanisme konsinyasi jika pemilik tanah menolak besaran uang ganti rugi, pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya, dan tanah sedang menjadi objek perkara di pengadilan, disita pemerintah dan jadi jaminan di bank. Selain itu, aktivitas pertambangan juga tidak masuk dalam skema pembangunan untuk kepentingan umum.
“Warga mempersoalkan pembangunannya (tambang), UU tentang Pengadaan Tanah tidak mengatur hal ini. Artinya ada kekosongan hukum, jika yang terjadi demikian maka seharusnya kepentingan masyarakat yang utama,” ujarnya.
Sejauh ini Gempadewa tetap menolak tambang andesit di Desa Wadas karena berpotensi besar berdampak buruk bagi warga, yaitu hilangnya tanah sebagai sumber penghidupan yang berkelanjutan, meningkatnya bahaya tanah longsor, hilangnya sumber mata air, dan terganggunya ketenangan warga akibat ledakan dinamit , polusi debu, hingga harmoni sosial.
“Kami minta pemerintah menghentikan rencana tambang andesit dan tidak memaksa warga yang menolak tambang untuk menyerahkan tanahnya,” ujar anggota Gempadewa, Talabudin.
Priyan Susyie dari Wadon Wadas (organisasi sayap Gempadewa untuk perempuan) mengatakan tambang andesit akan memiskinkan warga Wadas dan kehilangan mata pencahariannya sebagai petani.
Ia juga mengingatkan pembukaan akses jalan ke tambang di Wadas telah mengakibatkan banjir dan tidak ada antisipasi dari pemerintah.
“Apa lagi jika ada penambangan, pasti akan terjadi bencana lebih besar. Pemerintah terbukti tidak serius mempertimbangkan keselamatan warga,” ujarnya.
Susyie menegaskan Wadon Wadas juga menolak tambang andesit dan perampasan ruang hidup warga.
“Kami tidak akan menyerahkan tanah sumber kehidupan perempuan di Wadas, demi kelestarian alam dan kehidupan anak cucu nanti,” ujarnya.(*NA)