Kekerasan Jurnalis di Daerah tak Kunjung “Padam” (Bagian 1)

0
10

Serat.id – Sumirnya prosedur standar operasional di tempat kerja mengakibatkan kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi dan tak terselesaikan.

Di daerah seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kekerasan terhadap  jurnalis tak hanya imbas dari peliputan berisiko dan laporan investigatif yang menelusuri kekuasaan, politik dan uang. Skandal perselingkuhan, aksi demonstrasi, hingga urusan bola juga memicu kasus kekerasan.

Liputan berisiko itu inisiatif sendiri

Kasus kekerasan terhadap jurnalis Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Barometer rekapitulasi https://advokasi.aji.or.id/ dari pelaporan kasus kekerasan selama 16 tahun terakhir (2006-2022) mencapai 956 kasus.

Hingga bulan kedua tahun 2023, AJI mencatat sebanyak 11 kasus. Jika dirata-rata, angka kekerasan jurnalis mencapai 60 kasus per tahun. 

Kekerasan tak hanya terjadi pada jurnalis di DKI Jakarta. Tingginya kasus kekerasan justru marak menimpa jurnalis di daerah. Dalam rekapitulasi tersebut, kasus tergolong tinggi terjadi di Jawa Timur yang mencapai 92 kasus, dan 42 kasus di Jawa Tengah.

Tim Serat.id dan Terakota.id dalam liputan kolaborasi #JurnalisAman memotret  pengalaman kekerasan dan perlindungan terhadap jurnalis di dua wilayah tersebut melalui survei daring pada bulan November 2022.

Sebanyak 58 jurnalis bersedia berbagi pengalamannya dengan mengisi survei. Prosentasenya jurnalis di Jawa Timur 67,2% dan 32,8% jurnalis di Jawa Tengah. Mereka bekerja di media sebagai pekerja tetap (48,3%), kontributor (44,8%) dan sisanya 6,9% adalah jurnalis lepas. 

60,3% diantaranya bekerja di media nasional dan 36,2% bekerja di media lokal. Berdasarkan persebaran jenis media, sebagian besar bekerja di media online (53,4%),  jurnalis multimedia (17,2%), jurnalis televisi (15,5%) dan 10,3% bekerja di media cetak. Sedangkan jurnalis radio sebanyak 3,4%.

Survei juga melihat masa kerja, yakni 36,2% adalah jurnalis muda (0-5 tahun), 31% jurnalis madya (5-10 tahun), dan jurnalis utama (bekerja diatas 10 tahun) sebanyak 32,8%.  Dari proporsi gender nampak jurnalis laki-laki lebih terbuka untuk berbagi pengalaman (70,7% ) dibandingkan  jurnalis perempuan (29,3%). 

Hasil survei menunjukkan 96,6% jurnalis di Jawa Timur dan Jawa Tengah (dalam 5 tahun terakhir) melakukan liputan berisiko sebagai tanggungjawab pekerjaan. Seperti  liputan di wilayah konflik, aksi demonstrasi dengan kekerasan, dan liputan investigasi. Namun, sebanyak 43 (74,1%) jurnalis mengaku, liputan berisiko atas inisiatif sendiri.

Dari total responden, 56,8% jurnalis mengaku pernah menolak tugas redaksi dengan pertimbangan tak ada jaminan keamanan risiko yang besar, lokasi jauh tanpa akomodasi, libur dan alasan kesehatan.

Mampu menganalisis risiko liputan, tapi..

Jurnalis di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebenarnya mampu menganalisis kemungkinan risiko yang dihadapi dalam kerja jurnalistik.

Kurangnya pengetahuan jurnalis memitigasi risiko keamanan pada diri dan target liputan menyumbang terjadinya kekerasan.

Indeks Keselamatan Jurnalis (IKJ) 2022 menyebut, setidaknya empat faktor utama kekerasan terhadap jurnalis. Yakni tidak ada jaminan perlindungan keselamatan, perusahaan media cenderung abai terhadap jurnalisnya, minimnya kesempatan peningkatan kapasitas keselamatan diri saat bekerja, dan rendahnya pemahaman masyarakat pada kerja jurnalis .

58 jurnalis di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. 

Survei menunjukkan, pelaku kekerasan terhadap jurnalis didominasi aparat kepolisian dan orang tak dikenal.

Enggan menindaklanjuti kasus kekerasan ke polisi

Tak mudah bagi jurnalis bercerita pengalaman kekerasan dan menindaklanjuti secara hukum. Survei Serat.id dan Terakota.id menemukan, jurnalis cenderung memilih bercerita kepada teman atau kolega jurnalis.

Mereka lebih berempati dan memberi dukungan moral, bahkan ajakanbersolidaritas bersama organisasi profesi untuk melaporkan peristiwa kekerasan itu ke perusahaan tempatnya bekerja. 

 “Lebih tenang dan merasa banyak dukungan untuk mengurangi trauma,”responden jurnalis 57.

Jurnalis menganggap editor mampu memberikan perhatian dan dukungan perlindungan penyelesaian kasus melalui mediasi dan jalur hukum. Tak selalu merespons positif, editor justru meminta jurnalis menganggapnya sebagai pengalaman dan hanya sekadar mengingatkan untuk lebih berhati-hati membaca situasi.

“Mendukung upaya hukum dan akan mengganti kerusakan alat dan reimburse biaya pengobatan. Nyatanya, tidak pernah ada penggantian kerusakan alat dan reimburse,”responden jurnalis 44.

“Laporan polisi diterima, tapi di gaslight lalu diancam,”responden jurnalis 6.

“Lapor ke organisasi profesi mendapat dukungan, pendampingan dan advokasi dengan membuat kronologis kejadian,”responden jurnalis 55.

Tak hanya peliputan berisiko yang menyebabkan tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis. Lingkungan kerja jurnalis berpotensi dengan kekerasan seksual. 

Riset Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan di 34 provinsi di Indonesia (AJI Indonesia dan PR2Media) pada 2022 menyebut, 82,6 % dari total 852 responden jurnalis mengaku pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistiknya. 

Fenomena kekerasan seksual tidak hanya menyasar jurnalis perempuan. Jurnalis laki-laki rentan mengalami kekerasan seksual.

Hasil survei  pengalaman kekerasan dan perlindungan jurnalis di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh tim kolaborasi #JurnalisAman, sebanyak 21  jurnalis mengalami kekerasan seksual lebih dari satu jenis kekerasan seksual. Prosentase nya 57,1%  jurnalis laki-laki dan 42,8%  jurnalis perempuan.

Jurnalis cenderung menyimpan pengalaman kekerasan seksual karena masih menolerir perbuatan tersebut dan pelaku kekerasan seksual merupakan sosok yang dikenal publik.

“Saya pilih diam, tidak menceritakan pada siapapun,” responden jurnalis 46.

Hasil survei menemukan, pengalaman kekerasan berdampak pada fisik dan psikis jurnalis meski cenderung tidak menyadarinya. Seperti badan kaku, mulut kering, berkeringat, mimpi buruk, denyut jantung meningkat, bangun telah malam dengan badan berkeringat, mudah marah, susah konsentrasi atau merasa enggan bersosialisasi ketika mengingat peristiwa kekerasan itu.

baca juga : kekerasan jurnalis di daerah tak kunjung padam bagian-2

***

Pimred: Kami berusaha melindungi jurnalis

Keselamatan dan perlindungan terhadap jurnalis menyisakan persoalan serius. Tak banyak perusahaan media yang memberi perhatian pada keamanan kerja jurnalisnya.

Serat.id dan Terakota.id dalam liputan kolaborasi #JurnalisAman mencari tahu bagaimana perusahaan media di daerah mengawal dan memberi perlindungan pekerjanya. 

Berdasarkan survei Pengalaman Kekerasan dan Perlindungan terhadap jurnalis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahwa upaya perusahaan media sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap jurnalis belum maksimal.

Data yang ditunjukkan dari hasil survei daring Serat.id dan Terakota.id kepada 58 jurnalis di Jawa Timur dan Jawa Tengah, hanya 56,9%  jurnalis yang mendapat jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari perusahaan tempatnya bekerja.

72,4% jurnalis mengaku perusahaan media juga mempunyai SOP penanganan kasus hukum dan 58,6% jurnalis menyebutkan ada SOP penanganan kasus kekerasan.. 

Selain itu, 77,6 % jurnalis menyebutkan perusahaan media tepatnya bekerja memberikan jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis. Sebagian besar layanan yang diberikan berupa konsultasi hukum.

Sedangkan 41,4% jurnalis mengaku, perusahaan media memberikan jaminan layanan kesehatan mental. Namun dari jurnalis yang menjawab survei, sebanyak 69,83% jurnalis tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental / psikis.

***

“Kenyang” hadapi kasus kekerasan

“Jangan “melawan orang punya duit, orang punya jabatan / penguasa , dan orang gila.”

M Fathurrohman, Pemimpin Redaksi Radar Tegal

Harian Radar Tegal bisa dibilang cukup “kenyang” menghadapi kasus kekerasan yang menimpa jurnalisnya. Dari kasus kekerasan yang berujung pidana maupun perdata.

Rentetan jejak kasus kekerasan yang cukup menonjol menimpa Agus Wijanarko pada 2001 silam yang luka serius dianiaya massa saat meliput kasus pembakaran harta benda milik tokoh partai politik di Tegal. Jurnalis Bambang Mujiono menjadi korban kekerasan pasca pemberitaan penyegelan kantor parpol oleh kader yang pengurusnya terlibat kasus narkotika dan asusila. Peristiwa ini berujung penggerudukan dan intimidasi seratusan massa di kantor Radar Tegal.

“Baru-baru ini ada teror dan jurnalis dilaporkan ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik karena berita dugaan pemotongan BLT salah satu desa di Tegal,” ungkap Fathurohman, Pemimpin Redaksi Radar Tegal.

Radar Tegal pada tahun 2010 juga menghadapi gugatan perdata PT Cipta Yasa Multi Usaha (CYMA) di Pengadilan Negeri (PN) Tegal dengan tuntutan Rp 247,4 miliar terkait keberatan judul berita “PT. Cyma Belum Kantongi Izin”.

PN Tegal menggunakan  Undang-undang Pers dalam penyelesaian sengketa pers. Radar Tegal lolos dari gugatan. Majelis hakim PN Tegal menyatakan gugatan perusahaan galian C di kota Tegal itu tidak dapat diterima. 

Menurut Fathurohman, pihaknya menekankan mekanisme UU untuk menyelesaikan semua kasus kekerasan.

“Untuk lipsus ada perencanaan, kami briefing rambu-rambu KEJ, bekal dan peralatan lengkap, harus bawa saksi / buddy. Jangan sampai terjadi apa-apa, terlebih lagi liputan investigasi dan berisiko. Di kasus Eko itu bukan lipsus. Ya, mau nggak mau pasti diadvokasi kalau terkait kerja jurnalistik. Kami tidak bisa bantu kalau urusan pribadi,” imbuhnya. 

“Resep” antisipasi kekerasan

Sebagai bagian grup perusahaan media terbesar di Indonesia, Radar Tegal mempunyai “buku putih” panduan kerja, in house training. hingga mendorong jurnalis aktif di organisasi profesi.  

“Kami bekali teknis dan mekanisme menghadapi medan dan potensi serangan kekerasan. Celah itu tetap ada. Banyak pihak yang tidak paham UU pers. Kalau berisiko dan berita berujung kasus ya mundur saja dan hindari. Kami capek menghadapi orang yang datang dan komplain.”

Sebagai penanggung jawab redaksi, Fathurohman mengaku “pasang badan”.

“Kalau mereka tidak kuat menghadapi sendiri kan pusing. Kami nggak “merem” dan ikut turun tangan, pasang badan dan koordinasi dengan komunitas jurnalis. Jangan sampai merasa terabaikan dan bicara “saya kan anak buah Anda” . Perusahaan perlu tahu, kami bekerja seperti tidak dianggap,” imbuh Fathurohman.

Menurutnya, Media dan jurnalis lokal mempunyai resiko lebih tinggi berhadapan dengan kekerasan dan hukum. Potensi ancaman berasal dari pemangku jabatan di semua tingkatan.  “Secara geografis dekat dengan narsum, kalau mereka nggak terima langsung geruduk. Kami tekankan berita yang sekiranya berpotensi berbahaya ya komunikasikan dulu.”

“Perusahaan media lokal tidak hanya mengakomodasi kebutuhan informasi publik, tapi berusaha survive secara ekonomi, imbuh Fathurohman.

Meski menghadapi banyak kasus kekerasan, Fathurochman mengakui belum mempunyai prosedur standar keamanan dan perlindungan jurnalis. 

“Kalaupun perusahaan mengadvokasi kasus akan lebih kuat ada backup organisasi profesi secara litigasi maupun non litigasi. Redaksi yang aktif  berperan itu yang orang-orangnya punya keterkaitan dengan organisasi profesi,” tandasnya.

Untuk mengantisipasi kekerasan terhadap jurnalis, Radar Tegal punya tiga “resep” . Jangan “melawan orang punya duit, orang punya jabatan / penguasa , dan orang gila.”

***

Menggantungkan perlindungan pada organisasi profesi

“Kami lebih mengedepankan komunikasi, kekeluargaan, dan hak jawab.”

Agus Sutarto, Produser Senior Semarang TV

Kebijakan perusahaan dan redaksional Semarang TV terpusat di Bali TV (kantor pusat). Perlindungan kepada jurnalis sejauh ini dilakukan dengan memberikan peringatan dan himbauan lisan. 

“Aturan atau SOP ya seperti media lain, yang paling utama itu keselamatan. Kami tidak tahu situasi kondisi di lapangan. Jurnalis harus selalu berhati hati, keselamatan pribadi paling utama, jangan mengutamakan berita,” ungkap Agus Sutarto, Produser senior Semarang TV kepada tim Serat.id terkait perlindungan sejumlah jurnalis Semarang TV yang mengalami kekerasan.

Menurut Agus, pihaknya sangat menggantungkan perlindungan jurnalis kepada organisasi profesi untuk advokasi dan penanganan.

“Kami jauh dari lokasi peristiwa dan PWI langsung turun tangan, cepat merespons kasus. Kejadian itu insidental, tiba tiba, hal yang tidak terukur. Kami komunikasi saja, telepon mereka, nggak apa apa. Kami bantu semampunya, yang penting ada perhatian.”

Jika terjadi gesekan atau konflik, pihaknya lebih mengedepankan komunikasi, kekeluargaan, dan hak jawab.

Aya Noviana, Penanggung Jawab Operasional Harian Semarang TV menambahkan, perusahaan induk di Bali yang menangani semua aturan dan operasional perusahaan.

“Kalau ada apa-apa,  kendala di redaksi ya merujuk ke Bali (kantor pusat). Saya lapor baru dapat acc. Kami tidak bisa mengambil keputusan,” jelasnya. 

***

Redaksi menyesuaikan kesiapan jurnalis

“Kami sesuaikan kesiapan jurnalis. Redaksi tak pernah memaksa reporter menerima penugasan. Dipilih yang biasa meliput bencana dan liputan berisiko.”

Hesti Kristanti, Kepala Biro Harian Surya Malang

Perlindungan kerja jurnalis menjadi prioritas bagi Harian Surya dengan mendorong peningkatan kapasitas jurnalis dan bekerja sama dengan organisasi profesi. 

“Seperti dua reporter yang mengikuti pelatihan penanganan nafas buatan, dan kegawatdaruratan di PWI Malang Raya. Reporter belum ikut pelatihan semua, distribusi liputan pilih yang sering ke wilayah berisiko. Harapannya mereka bisa menghadapi situasi,” ungkap Hesti Kristanti, Kepala Biro Harian Surya Malang.

Hesti menekankan distribusi jurnalis di lapangan berdasarkan jam terbang dan keterampilan.“Kami sesuaikan dengan kesiapan jurnalis. Redaksi tak pernah memaksa reporter menerima penugasan dan pilih yang biasa meliput bencana dan liputan berisiko.”

Hesti mencontohkan upaya mitigasi dan koordinasi dengan jurnalis sebelum peliputan erupsi Gunung Semeru. Jurnalis harus mencari titik aman, tidak liputan di zona berbahaya dan menempel petugas PMI atau BPBD yang mengenal medan. 

“Penugasan redaksi menjadi hal biasa, tapi kami tekankan keselamatan yang utama sejak awal dalam liputan, membaca situasi dan cari lokasi aman. Perusahaan menanggung semua kebutuhan akomodasi di lapangan” kataya.

Pun ketika redaksi menugaskan jurnalis meliput pertandingan sepakbola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 silam yang berbuntut tragedi kemanusiaan. Sejumlah jurnalis Harian Surya menjadi korban.

“Ternyata rusuh dan banyak korban. Saya koordinasi dengan pimpinan dan divisi SDM lalu meminta mereka (jurnalis) periksa ke rumah sakit dan beristirahat. Khawatir gas air mata berakibat mata cacat permanen,”ungkap Hesti.

“Kami pantau agar segera tertangani dan mengalihkan tugasnya,” kenang Hesti yang tahu sejumlah jurnalis Surya terdampak tragedi Kanjuruhan dari WhatsApp Group redaksi.

Pihaknya juga mempunyai standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), diantaranya dengan memberikan asuransi kesehatan, dana khusus risiko tak terduga seperti biaya pengobatan kecelakaan, hingga penanganan layanan kesehatan mental. 

“Belajar dari kasus liputan #ReformasiDikorupsi, saya ingin mereka terbuka dengan kondisi psikisnya. Ada reporter  (Rizal Fanani) mengaku di malam hari sering terngiang-ngiang pasca kejadian itu,” ungkap Hesti.

***

Perhatian, pengalaman kekerasan para jurnalis ini mungkin dapat memicu ingatan personal atau trauma. Anda merasa tidak nyaman setelah membaca kisah ini dan atau membutuhkan dukungan layanan psikososial.


Hubungi hotline gratis :
https://lrckjham.id/ : WA (+62) 895-3330-35228
https://wcc-dian-mutiara.business.site/ : (+62) 822-4517-5700
https://www.rifka-annisa.org/id/ : (0274) 9811050

Tim Penulis :
Girindra Whardana, Noni Arnee, Via Pustaka

Eko Widiyanto, Zainul Arifin, Abdul Malik

Grafis dan ilustrasi :
Tim Serat.id dan Terakota.id

Liputan kolaborasi Serat.id dan Terakota.id didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dalam program Hibah Liputan JARING AMAN 2022 untuk #JurnalisAman.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini