Setelah Covid, kata Edi, sudah tidak ada tradisi upacara untuk mendoakan para korban tentara Jepang dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Salah satu pengunjung, Zulfa, saat mendatangi Monumen Ketenangan Jiwa dalam rangka memperingati Pertempuran Lima Hari di Semarang di salah satu wilayah Kota Semarang, Senin, 14 Oktober 2024. (Intan/Serat.Id)
Monumen Ketenangan Jiwa, saksi bisu peristiwa pertempuran lima hari di Semarang pada 14 Oktober 1945 yang terbengkalai sejak Covid-19 empat tahun lalu.
Menurut penjaga dan perawat Monumen, Edi Wiyanto (74) bangunan bersejarah ini dulunya kerap didatangi oleh wisatawan lokal maupun ahli waris dari keluarga tentara Jepang untuk mendoakan arwah para korban.
Bangunan bersejarah ini terletak di dekat Pantai Barona, Kelurahan Bandarharjo, Kota Semarang.
“Dulu sebelum Covid-19 tiap mulai bulan Agustus sampai 14 Oktober ahli waris keluarga tentara Jepang pasti datang kesini (Monumen Ketenangan Jiwa) dan mengadakan upacara. Biasanya yang kesini itu rombongan bis ada 3. Tapi sejak Covid-19 sampai sekarang tidak ada (yang berkunjung),” ucapnya bulan lalu.
Setelah Covid, kata Edi, sudah tidak ada tradisi upacara untuk mendoakan para korban tentara Jepang dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang. Hal ini dikarenakan akses jalan ke arah Monumen Ketenangan Jiwa sulit dilalui imbas dari rob, sehingga menyebabkan jalanan menjadi licin.
“Dulu jalan masih bagus di kasih aspal jalan. Tapi sekarang wilayah ini sering tenggelam dan kena rob. Jadi saya hanya minta 1 tolong (akses) jalan dibenarkan kembali. Ini aset yang bersejarah, bahkan saya yang dipasrahi Pemkot Semarang sejak 1998 sampai sekarang tanpa digaji tapi tetap disuruh bersihkan,”jelasnya.
Minimnya Dukungan Pemerintah
Meski tidak digaji oleh Pemerintah Kota Semarang, Edi mengaku sebelumnya pernah diberikan bantuan dari Kepala Disbudpar Kota Semarang. Saat itu yang menjabat bernama Sapto. Bantuan itu berupa mesin potong rumput. “Tapi sekarang udah rusak.”
” Saya hanya satu, minta berikan mesin potong rumput, saya di sini sukarela, selalu memotong rumput habis kemarau. (Monumen Ketenangan Jiwa) Ini aset negara yang bersejarah, sehingga pemerintah harus peduli itu,” pesannya.
Sementara itu, Subkoordinator Sejarah dan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang, Haryadi Dwi Prasetyo menyampaikan alasan sudah tidak ada lagi upacara memperingati arwah di Monumen Ketenangan Jiwa, karena ada kemungkinan ahli waris dari keluarga tentara Jepang yang biasanya sering berkunjung sudah meninggal dunia.
“Kedua, kita memang pernah mengadakan kegiatan bersih-bersih bersama pemangku wilayah disana sebelum covid-19. Hanya saja sampai sekarang kita belum ada kejelasan status kepemilikan lahan itu, sehingga belum menjadi bagian aset Pemkot Semarang, menurut informasi hingga saat ini,” ungkapnya.
Meski begitu, ia menerangkan, realisasi pemugaran pada Monumen Ketenangan Jiwa akan dilakukan apabila aset lahan di wilayah tersebut sudah ada serah terima kepada pemerintah. Sebab, saat ini lahan tersebut merupakan kawasan industrial, sehingga pemilik lahannya masih dipegang oleh perusahaan swasta yang ada di sana.
” Kalau sudah proses mekanisme asetnya Pemkot mungkin itu bisa dilakukan sebagai taman monumen untuk kegiatan peringatan sejarah yang berkaitan dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Mungkin pemanfaatan monumen wisata religi dan potensi itu harus kita pikirkan dengan aksesibilitas nya juga,” pungkasnya.
Menurut tulisan yang diukir di Monumen Ketenangan Jiwa oleh Masafumi Aoki pada 14 Oktober 1998, selama perang dunia ke-2, pihak Jepang saat itu melarang pemberian senjata oleh tentara Jepang yang masih berada di Indonesia, yang mana saat itu dibutuhkan oleh pihak Indonesia dalam menunjang kemerdekaan Republik Indonesia
Dari situ muncul malapetaka di mana peristiwa tersebut di atas melibatkan ratusan orang Jepang yang tidak berdosa diserang atau dipenjara di penjara dengan kondisi yang sangat menyedihkan. Disisi lain, mereka merindukan kampung halaman dan pemulangan kembali ke negerinya.
Para tentara Jepang merasa menyesal sedalam-dalamnya karena pada akhirnya hanya kematian yang harus ditempuh di penjara bulu. Sebanyak lebih dari 150 jiwa menjadi korban di dalam kamar di penjara terdapat kata-kata tertulis di tembok dengan goresan darah yang mengalir dari raga mereka.
‘Hidup kemerdekaan Indonesia’ surat wasiat itu ditulis sebelum para korban menghembuskan nafas terakhir dengan hati yang sangat berduka dan jiwa yang merintih. 53 tahun yang lampau telah berlalu, agar arwah para pahlawan negara dapat kembali ke tanah air.
Maka pada kesempatan ini, Monumen ketenangan jiwa didirikan di Semarang nan jauh menghadap Utara. Dengan ini saya (Masafumi Aoki) menyatakan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya, semoga pengorbanan yang mulia dapat menjadikan landasan bagi perdamaian di seluruh dunia dan peristiwa menaaskan ini tidak terulang kembali.
‘Saya mendoakan dengan tulus hati rantai persahabatan jepang dan indonesia agar lebih dipersatukan lagi. Akhir kata saya memohon agar arwah para pahlawan yang mulia berbaringlah dengan tenang di sini’.