“Belum ikhlas karena kita kehilangan nyawa. Anak saya yang saya cintai mati. Jadi kalau memaafkan susah, saya masih tidak terima,”

Aipda Robig Zaenudin (38) pelaku penembakan siswa di Semarang saat hendak menjalani sedang etik di Mapolda Jateng, Senin, 9 Desember 2024. (Iwan/Serat.id)
Aipda Robig Zaenudin (38) pelaku penembakan tiga pelajar di Kota Semarang menjalani sidang etik di Mapolda Jateng lantai 2, Senin, 9 Desember 2024 kemarin. Pelaku nampak memasuki ruang sidang dengan tangan diborgol pada pukul 13.25 WIB dengan mengenakan seragam polisi lengkap, luarnya rompi hijau bertuliskan Patsus dan dikawal tiga personel Propam.
Dalam sidang tertutup yang berlangsung hampir delapan jam itu, Ketua majelis sidang, AKBP Edhie Sulitio memutuskan, memberikan hukuman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atau PTDH. Robig dipecat lalu ditetapkan sebagai tersangka.
Dia terbukti melakukan penembakan bukan dalam kondisi terdesak dan tidak sedang melakukan tugas kepolisian.
Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengatakan, dalam sidang menghadirkan beberapa saksi. Di antaranya Kompolnas, keluarga almarhum dan para saksi lainnya.
“Aipda R terbukti melakukan perbuatan tercela yaitu penembakan terhadap sekelompok anak yang melintas menggunakan sepeda motor. Aipda R akan banding diberi kesempatan tiga hari untuk ajukan ke ketua sidang,” katanya usai sidang.
Pelaku sekarang masih ditahan di dalam penempatan khusus (patsus). “Tak hanya itu, hari ini kasus pidana R sudah ditetapkan tersangka,” ujarnya.
Komisioner Kompolnas, M Choirul Anam mengatakan, sidang etik ini diharapkan menghasilkan putusan maksimal. “Semoga sidang hasilnya keputusan maksimal.”
Dia mengaku diundang dalam acara ini sebagai langkah transparan. “Semoga transparan dan profesional,” jelasnya.
Keluarga Gamma Sempat Dihadang
Ayah kandung korban (Gamma), Andi Prabowo (44) mendatangi Mapolda Jateng sekitar pukul 19.00 WIB untuk menyaksikan sidang etik pelaku yang telah menghilangkan nyawa anaknya. Dia bersama keluarga dan pendamping hukum. “Saya datang ke sini (Mapolda) karena ingin melihat sidangnya,” ucapnya.
Dia berharap, hakim memecat Robig serta menghukum seberat-beratnya. Andi juga ingin pelaku meminta maaf. “Dia harus meminta maaf.”
“Belum ikhlas karena kita kehilangan nyawa. Anak saya yang saya cintai mati. Jadi kalau memaafkan susah, saya masih tidak terima,” kata Andi.
Andi sempat marah melihat sosok pelaku. “Saya jengkel dan marah terhadap pelaku pembunuh anak saya,” katanya.
Selain menuntut pemecatan pelaku, Andi juga meminta kapolrestabes Semarang dicopot. “Kapolrestabes Semarang harus dicopot,” ucapnya.
Meski telah puas dengan putusan hakim, Andi imngin banding pelaku ditolak. “Ya bandingnya dari pelaku seharusnya tetap nanti ditolak.”
Sebelum Andi dan keluarga ketika hendak memasuki ruang sidang, sempat tidak diperbolehkan masuk oleh petugas. Setelah kuasa hukumnya protes, keluarga korban diperbolehkan masuk saat majelis sidang hendak membacakan putusan.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Fajar Muhammad Andhika (Dhika) menjelaskan, keluarga hanya diperbolehkan masuk saat pemberian kesaksian dari korban.
Sayangnya, saat proses penuntutan dan pembelaan, keluarga tidak diperbolehkan masuk, sehingga tidak dapat mendengarkan keterangan dari pelaku.
“Kami baru diperbolehkan masuk ketika komplain ke Kompolnas. Ini keluarga harus masuk, kalau wartawan tidak boleh masuk karena teknis, mau tidak mau keluarga harus bisa masuk dong supaya bisa melihat putusan sidang sebagai bukti akuntabilitas dan transparansi,” katanya Dhika.
Pihaknya sangat menyayangkan jalannya sidang yang kurang transparan. Padahal sidang kode etik serupa di Polda-Polda lainnya bisa terbuka.
“Kami juga sangat menyayangkan tindakan dari Kapolda Jateng karena seharusnya sidang etik itu harus terbuka agar publik bisa memantau secara langsung,” katanya.
Melihat kondisi tersebut, Dhika menilai ada perbedaan perlakuan ketika polisi mengumbar anak-anak pada saat konferensi pers berkaitan kasus Aipda Robig.
Namun, untuk sidang Aipda Robig selaku pelaku penembakan malah bersikap sebaliknya.
“Kami tidak tahu mereka ambil dasar apa, sampai-sampai pelaku ini seakan-akan kaya korban anak. Justru sebaliknya, anak-anak tidak diberi treatment khusus,” kata Dhika.
Kepolisian perlu berbenah dan Kapolrestabes Semarang harus bertanggung jawab atas narasi di awal yang mana, narasi itu justru mengaburkan fakta-fakta yang ada.
Narasi tersebut berupa para korban dituding polisi sedang melakukan tawuran dan Aipda Robig sedang sedang melerai tawuran.
“Kapolrestabes Semarang telah melakukan tindakan obstruction of justice atau upaya menutup-nutupi fakta yang sebenarnya,” kata Dhika tegas.
Putusan Sidang Sesuai Harapan
Kuasa hukum korban, Zainal Abidin mengatakan keputusan hakim sudah sesuai dengan harapan keluarga.
Sebab, pelaku sedang tidak menjalankan tugas dan tidak dalam kondisi nyawa terancam. Itu artinya ada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh polisi.
“Kalau banding memang hak daripada terdakwa tapi saya yakin banding itu tidak akan diterima kalau sampai diterima masyarakat akan kecewa,” terangnya.
Anggota Komisi Kepolisian Indonesia (Kompolnas) M Choirul Anam menyebut, majelis komisi kode etik menolak pembelaan Aipda Robig karena tidak sesuai dengan apa yang disampaikan secara faktual baik bukti CCTV penembakan maupun kesaksian anak-anak atau korban.
“Majelis kode etik menyatakan perbuatan itu adalah tercela kena penempatan khusus 14 Hari dan PTDH apapun pembelian saudara aipdar itu adalah hak dia Tapi majelis kode etik memilih kesaksian-kesaksian dalam sidang kode etik tadi terutama dari anak-anak dan sebagainya,” katanya.