
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sepanjang 2024 terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Terdapat sepuluh bentuk kasus kekerasan terhadap jurnalis, namun empat jenis kasus terbanyak terjadi pada kekerasan fisik dengan 20 kasus, diikuti oleh teror dan intimidasi sebanyak 14 kasus, serta pelarangan liputan dengan 9 kasus dan ancaman juga 9 kasus.
“Meski angkanya dibanding tahun lalu menurun, justru kualitasnya lebih berat, karena ada satu korban jiwa ada yang terbunuh. Kekerasan terhadap jurnalis satu kasus sekalipun merupakan hal yang sangat serius karena berhubungan dengan kondisi demokrasi di Indonesia,” kata Nany Afrida, Ketua Umum AJI Indonesia dalam konferensi pers daring bertajuk “Catatan 2024 AJI Indonesia“, Kamis, 30 Januari 2025.
Nany mengatakan adapun tiga pelaku kekerasan terbanyak dilakukan oleh polisi sebanyak 19 kasus, disusul oleh 11 kasus dari TNI, serta 11 kasus juga berasal dari warga/ormas.
Lebih lanjut AJI melaporkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi di 19 provinsi di Indonesia. Beberapa kasus yang menjadi perhatian lebih antara lain gugatan perdata sebesar Rp 700 miliar terhadap sebuah perusahaan media di Makassar.
Selain itu, terjadi pembakaran rumah jurnalis Tribrata TV, Rico Sempurna Pasaribu, di Karo, Sumatera Utara. Kasus lainnya mencakup penangkapan dan penganiayaan terhadap Hery Kabut, jurnalis Floresa, serta teror bom di kantor redaksi Jubi. Ada pula perusakan mobil jurnalis Tempo oleh Orang Tak Dikenal (OTK).
Nany melihat pada tahun 2024 lalu ada bentuk kekerasan model baru yang ke depan akan terus terjadi yakni self-cencorship atau swasensor. Adapun swasensor bentuk pertama merupakan interventsi kekuasaan lembaga pemerintah terhadap isu yang dinilai merusak citra pemerintah. Modus paling lazim dilakukan yakni petinggi media diminta pemerintah untuk men-take down atau mengubah judul dan isi berita sesuai keinginan pemerintah.
Swasensor keuda dilakukan atas inisiatif petinggi redaksi dalam pemberitaan terkait pemerintah. Sebelum berita diterbitkan, petinggi redaksi menahannya karena dianggap berisiko mengganggu, terutama karena perusahaan media tempatnya bekerja bergantung pada pemasukan iklan tersebut.
Swansor tersebut terlihat ketika banyak media memberitakan Jokowi masuk sebagai daftar tokoh terkorup versi OCCRP. Namun, setelah beberapa waktu tayang, sejumlah berita menghilang, sementara lainnya mengalami perubahan judul. Hal ini mengindikasikan adanya dinamika di internal redaksi.
"AJI menilai intervensi, swasensor, penghapusan berita, mengubah judul dan isi berita yang tidak sesuai pedoman media siber dan kode etik jurnalistik, masuk kategori kekerasan terhadap pers,” kata Nany.
10 Kasus Serangan Digital
Lebih lanjut, AJI Indonesia mencatat masih ada 10 kasus serangan digital pada tahun 2024. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan tahun lalu yakni 16 kasus.
Namun begitu, AJI menilai bahwa meskipun jumlahnya menurun bukan berarti kondisinya telah membaik. AJI menyikapi bahwa zero tolerance terhadap kekerasan jurnalis baik digital maupun fisik.
Nany memaparkan bahwa jenis serangan digital yang paling banyak terjadi adalah pengambilalihan media sosial dan WhatsApp dengan empat kasus, suspend akun media satu kasus, pengambilalihan email dua kasus, doxing dua kasus, serta serangan DDoS satu kasus.
”Sembilan insiden serangan dan ganguan digital melibatkan awak media dan empat organisasi media," katanya
13 Perusahaan Media Dilaporkan Terkait Masalah Ketenagakerjaan
Di samping itu, AJI juga menyoroti kesejahteraan jurnalis yang tidak kunjung membaik sejak dulu. Setidaknya ia mencatat ada 13 media yang disoroti oleh AJI berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan.
Media tersebut antara lain CNN Indonesia, PT Portal media Nusantara, VoA Indonesia, PT Pabrobaba Media Utama, Jawa Pos, PT Era Media Informasi, KOmpas Media Nusantara, MNC Group, Media Indonesia, Liputan 6, Suara.com, PT Republika Media Mandiri, Tribun Group.
"Kondisi kesejahteraan jurnalis dari dulu gak baik baik saja dan sampai sekarang lebih buruk terutama dengan media yang senja kala, bargaining jurnalisnya juga lemah, otomatis posisi mereka juga lemah," katanya
AJI melihat masalah ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan media berdalih karena adanya efisiensi melakukan tindakan berupa pemotongan gaji sepihak, gaji di bawah upah minimum dan pesangon tak sesuai aturan, hingga union busting.
Selain itu, AJI juga melihat adanya praktik curang dari perusahaan media yang mengingkari UU Ketenagakerjaan dalam mempekerjakan jurnalis.
“Praktik curang itu berupa penyiasatan kontrak kepada jurnalis dengan dalih kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kepada jurnalis)”, katanya
Pada segi profesionalisme, AJI melihat ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh jurnalis dengan kerja yang tidak professional. Hal ini dapat diamati pada kaburnya pagar api antara berita dengan iklan tidak terlihat.
AJI juga menyoroti ketidakprofesionalan jurnalis lainnya seperti berita yang menaruh perhatian pada pemberitaan kekerasan seskual. Berita yang ditayangkan masih belum sensitif dengan masih memberikan nama korban, menjelaskan detail kekerasan seksualnya.
Pemberitaan tersebut dianggap menggangu profesionalitas jurnalis. Selain itu, jurnalis jarang sensitif terhadap kelompok yang terpinggirkan kurang tajam atau bahkan tumpul sama sekali.
Berkaca pada kasus yang ada, AJI memberikan rekomendasi untuk semua pihak menciptakan ekosistem jurnalisme berkualitas. Kemudian, ia meminta kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus kekerasan jurnalis untuk mencegah impunitas.
Lalu, Nany meminta adanya perlindungan hukum untuk jurnalis dalam melakukan pekerjaan. Berikutnya ia meminta adanya perlindungan hukum untuk media alternatif dan independent. Terkahir perlu revisi UU Ketenagakerjaan dan UU Ciptakerja.
“AJI saat ini juga masih mengadvokasi untuk beberapa undang-undang yang menganggu kerja kerja jurnalis, pertama UU Penyiaran dan UU Kepolisian, termasuk UU Hak Cipta, “ ucapnya.