Langkah Prabowo itu kian memperkeruh suasana serta mencederai tuntutan reformasi yang sejatinya telah dilaksanakan kurang lebih 27 tahun lamanya,”

Aliansi Gerakan Semarang Menggugat menggelar aksi untuk mengkritisi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran di depan Mapolda Jawa Tengah dan Kantor Gubernur di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Kamis, 30 Januari 2025 malam. (Dokumentasi Aksi Kamisan Semarang)
Aliansi Gerakan Semarang Menggugat yang diikuti oleh jaringan masyarakat sipil, mahasiswa di Semarang dan Aksi Kamisan, melakukan protes mengkritisi 100 Hari Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di depan Mapolda Jawa Tengah dan Kantor Gubernur di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Kamis, 30 Januari 2025 malam.
Dalam aksi bertajuk ‘Semarang Menggugat: 100 Hari Omon-omon Pemerintahan Prabowo-Gibran’ tersebut, massa aksi menyoroti program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang disebut mahasiswa sebagai program tak jelas tapi membebani keuangan negara.
“Aksi ini diselenggarakan untuk melayangkan aspirasi masyarakat terhadap rekapitulasi kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, mulai dari aspirasi berkaitan dengan kebijakan yang telah diresmikan dan program kerja yang telah diberlakukan,” kata koordinator aksi Aufa Atha Ariq dalam keterangan tertulis.
Aufa menyebut, program polemik pemerintahan Prabowo-Gibran adalah program MBG yang digadang-gadang mampu untuk menyiapkan sumber daya unggul. “Menurunkan angka stunting, menurunkan angka kemiskinan, dan menggerakkan ekonomi masyarakat demi mencapai Indonesia Emas 2045.”
Nyatanya, pemerintah justru serampangan dalam menjalankan program MBG yang menguras sebagian besar anggaran negara dalam 5 tahun kedepan. Pemerintah telah menetapkan anggaran MBG sebesar Rp 71 triliun.
Anggaran itu diperkirakan tak mampu membiayai MBG hingga akhir tahun ini, sehingga ada kemungkinan program ini akan menguras lebih banyak pos-pos anggaran lainnya.
Hal itu tentu berdampak pada semakin sedikit anggaran yang diproyeksikan untuk program Pemerintah yang lain.
“Sama halnya dengan membuang-buang anggaran negara hanya untuk MBG semata,” ucapnya.
Selain MBG, massa aksi menuding 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran yang menyebabkan demokrasi kian anjlok dengan langkah militerisasi instansi sipil.
Kata Aufa, Pemerintahan Prabowo justru berencana untuk melakukan militerisasi terhadap instansi sipil.
Terbukti dari maraknya pos-pos jabatan strategis pemerintahan yang diduduki oleh unsur militer yang kian membludak dan disinyalir hampir merata di seluruh instansi pemerintahan.
Dia menyebutnya langkah itu sebagai upaya militerisasi yang diperkuat melalui rencana Prabowo untuk menggabungkan kembali peran militer dengan kepolisian.
“Langkah Prabowo itu kian memperkeruh suasana serta mencederai tuntutan reformasi yang sejatinya telah dilaksanakan kurang lebih 27 tahun lamanya,” terangnya.
Prabowo juga ambisius pada program Swasembada Pangan dan berencana membuka lahan seluas 20 juta hetar. Program ini tak jauh berbeda dengan program Food Estate yang digagas oleh Presiden ke-7, Joko Widodo.
Ditinjau dari aspek lingkungan, pembukaan lahan dapat meningkatkan risiko emisi karbon, termasuk memicu kebakaran dan kabut asap.
“Kami memang perlu kembali memberikan peringatan kepada terhormat Presiden Prabowo untuk kembali melirik pentingnya peran lingkungan, bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata,” ungkap Aufa.
Revisi Undang-Undang Minerba yang terburu-buru, diduga untuk memberikan hak pengelolaan tambang terhadap Perguruan Tinggi.
“Kami tidak setuju karena tidak sesuai dengan tiga fungsi Perguruan Tinggi yaitu fungsi pendidikan, penelitian, dan pengabdian,” ujarnya.
Sejumlah Menteri yang Bermasalah
Aufa juga menyoroti soal ulah para menteri dalam 100 hari kerja ini yang meresahkan rakyat. Pertama ada Menteri Desa dan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, yang terbukti sembarangan menggunakan nama instansi untuk kepentingan pribadi melalui surat resmi Kementerian yang dinaunginya.
Kedua, Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang meminta masyarakat Indonesia untuk tidak terjebak dengan permasalahan HAM masa lalu.
Kemudian Natalius Pigai, Menteri HAM yang menyatakan bahwa penetapan anggaran bagi instansinya dianggap tak cukup untuk mencapai kehendak lembaga yang dinaunginya, dan Menteri Pendidikan, Sains, dan Teknologi, Sartyo Soemantri Brodjonegoro yang didemo bawahannya sendiri karena bersikap sewenang-wenang terhadap para bawahannya.
“Kami menuntut evaluasi menteri secara menyeluruh dan reshuffle menteri yang bermasalah maksimal 6 bulan pasca pelantikan,” ungkapnya.