Pengacara terdakwa tak paham dalam konteks-konteks tertentu jurnalis dapat menempuh cara-cara yang tidak biasa untuk mendapatkan informasi, khususnya informasi yang terkait dengan kepentingan publik.

Serat.id – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya mengkritik perspektif para pengacara dua terdakwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis Nurhadi. Para pengacara terdakwa Firman Subkhi dan Purwanto banyak mempertanyakan tentang keberadaan jurnalis Nurhadi di lokasi resepsi pernikahan anak Angin Prayitno Aji dan anak Kombes Pol Ahmad Yani.
Hal itu menunjukkan pengacara terdakwa tak paham dalam konteks-konteks tertentu jurnalis dapat menempuh cara-cara yang tidak biasa untuk mendapatkan informasi, khususnya informasi yang terkait dengan kepentingan publik.
“Informasi yang hendak dicari Nurhadi di TKP sangat terkait dengan kepentingan publik karena sosok Angin Prayitno Aji yang akan dia temui saat itu berstatus tersangka KPK. Selain itu, kedatangan Nurhadi di sana juga untuk memberikan kesempatan bicara kepada tersangka, yang artinya ini untuk memenuhi prinsip cover both side,” kata Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer saat sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu 29 September 2021.
Menurut Eben, dalam jurnalistik cover both side dimaknai bahwa setiap orang berhak diberi ruang untuk bicara, termasuk tersangka (Angin Prayitno Aji) .
Eben menegaskan, jika semua liputan harus dilakukan dengan izin, maka tidak akan pernah ada istilah jurnalisme investigatif, jurnalis juga tidak akan pernah bisa mengungkap kasus-kasus korupsi yang tersembunyi dan kasus-kasus lain yang merugikan publik.
“Padahal tugas jurnalis adalah melayani publik,” kata Eben menambahkan.
Terkait keberadaan saksi F yang juga dipertanyakan oleh pengacara terdakwa, Eben menyebut bahwa praktik-praktik jurnalistik khususnya jurnalistik investigatif sudah lumrah ada pendamping.
“Dalam jurnalistik, peran saksi F itu bisa disebut juga sebagai peran Fixer. Selain memandu, dalam konteks perkara ini, saksi F turut membantu Nurhadi untuk membuat dokumentasi,” kata eben menjelaskan.
Dalam sidang tersebut dua terdakwa, yakni Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi hadir secara langsung di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya. Sementara Nurhadi dan seorang saksi kunci mengikuti persidangan secara daring.
Saat memberikan kesaksian, Nurhadi menceritakan kronologi kejadian, mulai dari saat dia mendapatkan tugas dari kantornya untuk bertemu dan mewawancarai Angin Prayitno Aji, di acara pernikahan anaknya yang berlangsung di Gedung Graha Samudra Bumimoro, Surabaya, pada 27 Maret 2021 lalu.
Nurhadi mengatakan saat tiba di gedung itu ia sempat tak bisa masuk lantaran pintu masuk dijaga ketat dan tamu harus memiliki undangan resmi. Larangan masuk itu sudah diantisipasinya sejak awal. Karena itu, saat datang ke sana, Nurhadi sengaja mengenakan busana selayaknya tamu undangan pernikahan. Dalam liputan-liputan yang biasa dia jalankan, hal itu sangat jarang dilakukan.
Ia kemudian menemukan akses masuk lain melalui pintu samping yang kosong tanpa penjagaan.
“Pintu samping tidak ada penjagaan sama sekali,” kata Nurhadi, menjawab pertanyaan ketua majelis hakim Muhammad Basir.
Saat berhasil masuk, Nurhadi kemudian memotret pelaminan tempat Angin berada. Foto itu dikirimkannya ke redakturnya di Jakarta, sebagai bukti atau laporan bahwa ia telah sampai di lokasi dan menemukan keberadaan si narasumber.
“Di dalam gedung saya foto dua kali foto pelaminan, saya kirim ke redaktur memberitahukan saya sudah di lokasi,” kata Nurhadi.
Foto itu, kata dia, hanya sebagai laporannya kepada redaktur, bukan untuk diberitakan. Ia berencana baru akan mewawancarai Angin setelah acara pernikahan selesai.
Namun setelah memotret, ia didatangi dua orang. Mereka menginterogasi Nurhadi dan menanyainya undangan dari mana. Karena terdesak ia kemudian mengakui bahwa dirinya adalah wartawan Tempo.
Dua orang itu lalu memukul Nurhadi, dan menyeretnya keluar gedung pernikahan. Ia lantas dibawa ke Pos Pomal (Polisi Militer Angkatan Laut) di sekitar gedung pernikahan.
Oleh petugas Pomal ia sempat akan dibawa ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Namun hal itu diurungkan karena salah satu petugas, menerima telepon dari seseorang. Ia kemudian dikembalikan ke gedung tempat kejadian perkara.
Di sebuah ruang ganti, Nurhadi lantas mengalami tindak penganiayaan oleh belasan orang yang berpakaian jas dan berdasi. Ia dipukul, ditendang, ditampar. Handphone-nya kemudian dirampas oleh salah seorang pelaku. Sesaat kemudian terdakwa Firman memaksa Nurhadi untuk membuka password ponselnya.
Kata Nurhadi, karena Ia menolak, Firman dan Purwanto lantas melayangkan beberapa pukulan ke kepalanya.
“Terdakwa Firman itu ngasih handphone saya untuk membuka passwordnya, saya nggak mau. Lalu saya dipukul, ditonjok, di pipi, pelipis, kepala belakang,” kata Nurhadi menjelaskan. (*)
Berita terkait kekerasan terjadap jurnalis Nurhadi bisa dilihat sini