Pengajuan sebagai konstituen Dewan Pers, AJI, AMSI dan IJTI merasa keterangan dalam permohonan ini bisa menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan Majelis Hakim MK dalam memeriksa perkara.

Serat.id – Tiga organisasi pers Indonesia meliputi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengajukan Permohonan sebagai Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung kepada kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan itu terkait gugatan Pengujian Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 oleh sejumlah pihak.
“Permohonan ini sebagai bentuk kepedulian yang tinggi kepada Permohonan Pengujian UU Pers yang diajukan Heintje Grontson Mandagie dan kawan-kawan , khususnya terkait fungsi Dewan Pers dan terkait pemilihan anggota,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, sebagai kuasa hukum tiga organisasi pengaju pihak terkait, Kamis 4 Novemeber 2021.
Menurut Ade, pengajuan sebagai konstituen Dewan Pers, AJI, AMSI dan IJTI merasa keterangan dalam permohonan ini bisa menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan Majelis Hakim MK dalam memeriksa perkara.
Tercatat pengujian UU Pers mempermasalahkan 2 Pasal yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf f terkait kewenangan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membentuk peraturan dibidang pers dan Pasal 15 ayat (5) terkait keanggotan Dewan Pers yang ditetapkan, dengan Keputusan Presiden.
Ia menjelaskan, jika dibaca baik-baik terkait kewenangan Dewan Pers pada salah satu pasal yang diuji, Pasal 15 ayat (2) huruf f sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi–organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers.
“Sehingga sebenarnya tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan Dewan Pers untuk memonopoli,” kata Ade menambahkan.
AJI, AMSI dan IJTI merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian dari memfasilitasi sendiri adalah: “memberikan fasilitas”. Selanjutya dalam sumber yang sama, fasilitas artinya: “sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, kemudahan”.
Artinya pada konteks fungsi Dewan Pers dalam membentuk peraturan pada bidang pers, khususnya pada Pasal 15 ayat (2) huruf f adalah menjadi pihak yang memberikan sarana untuk melancarkan fungsi dan kemudahan kepada organisasi pers untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam membentuk peraturan di bidang pers.
Sebagai fasilitator, maka jika terdapat pembentukan peraturan di bidang pers tanpa mengikutsertakan organisasi pers maka barulah bisa dianggap bertentangan dengan fungsi dalam UU Pers sendiri.
Seandainyapun terjadi, permasalahan berada di tataran implementasi bukan pada tataran normatif dengan memintakan Dewan Pers kehilangan sebagian fungsinya sebagai fasilitator organisasi pers membentuk peraturan di bidang pers.
Tercatat pemohon mengenai memfasilitasi menginginkan penyusunan peraturan-peraturan bidang pers dilakukan oleh masing-masing organisasi pers, bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers.
Hal itu dikhawatirkan justru membuat peraturan-peraturan bidang pers dapat menjadi tidak kohesif, terpisah sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingan organisasi-organisasi pers, dan bahkan berpotensi bertentangan satu dengan yang lain.
“Selain itu berpotensi membuat munculnya kode etik jurnalistik yang tidak baku dan beragam penafsiran sesuai versi masing-masing organisasi pers serta memunculkan kebingungan massal pada insan pers Indonesia dan mengganggu kebebasan serta profesionalitas pers,” kata Ade menjelaskan. (*)