Serat.id – Laporan berjudul Disrupting Harm in Indonesia rilis jelang Hari Anak Nasional 23 Juli 2022, menyajikan bukti-bukti eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah terhadap anak di ruang siber.
Temuan penelitian pada anak usia 12-17 tahun yang berlangsung bulan November 2020 hingga Februari 2021 menunjukkan, 95 persennya mengakses internet minimal dua kali sehari.
Dua persennya, atau sekitar 500 ribu anak menyatakan pernah menjadi korban eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya. Antara 17 dan 56 persen di antaranya tidak menceritakan dan melaporkan kejadian tersebut.
Angka ini sangat mungkin bukan angka yang sebenarnya mengingat topik ini sangat sensitif dan traumatis bagi anak. Angka sesungguhnya dipastikan jauh lebih tinggi jika seorang anak mengalami kejadian serupa di sepanjang hidupnya.
Anak yang melapor lebih memilih bercerita kepada teman atau saudara dibandingkan orang tua atau orang dewasa lain
Dari survei tersebut, satu anak berani melapor ke polisi setelah menerima konten seksual. Satu anak mendapat imingi-imingi uang atau hadiah jika bersedia memberikan konten seksual juga berani menghubungi nomor kontak layanan.
Data laporan terbaru dari UNICEF, Interpol, dan ECPAT, yang didanai oleh Global Partnership to End Violence against Children ini didapat dari survei rumah tangga terhadap 995 anak dan pengasuh, survei terhadap tenaga layanan di lapangan, dan wawancara dengan pihak berwenang dan penyedia layanan dari kalangan pemerintah.
Jenis kekerasan seksual, antara lain pemerasan melibatkan anak dalam tindakan seksual, pengambilan gambar bersifat seksual dan menyebarkan tanpa seizin anak. Serta pemaksaan anak untuk melakukan tindakan seksual dengan iming-iming uang ataupun hadiah.
Media sosial jadi sarana eksploitasi seksual
Eksploitasi dan perlakuan yang salah terhadap anak terjadi di platform media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, dan Facebook Messenger.
Pelaksana Tugas Perwakilan UNICEF Indonesia ,Robert Gass mengungkapan, rendahnya pelaporan karena ketidaktahuan korban untuk menghubungi seseorang atau yang diajak bicara, rasa bersalah, kekhawatiran tidak akan dimengerti, kekhawatiran akan mendapat masalah, rasa malu, dan kekhawatiran akan menimbulkan masalah bagi keluarga.
“Internet memberikan kesempatan akses informasi, budaya, komunikasi, dan hiburan yang bisa memantik kreativitas dan memperluas wawasan pada anak dan remaja. Di sisi lain, ada risiko serius yang mengancam mereka,” kata Robert Gass dalam siaran pers tertulis.
Dalam laporan kolaborasi itu juga menyebutkan sejumlah rekomendasi untuk melindungi anak dari risiko kejahatan siber. Utamanya untuk menekan bentuk eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah. Selain itu menekankan edukasi interaksi aman di internet kepada anak dan masyarakat, serta pentingnya peran orang tua dan pengasuh.
Laporan ini juga menyerukan tindakan hukum untuk memidanakan pelaku eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di siber.
“Pencegahan sejalan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kami mendorong masyarakat ikut merespons mencegah kekerasan seksual,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Berdasarkan temuan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan UNICEF meluncurkan program Pencegahan Eksploitasi Seksual dan Perlakuan yang Salah terhadap Anak di Dunia Maya (OCSEA).
Kemitraan berjalan hingga tiga tahun ke depan ini untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah anak di dunia maya.(*na)