Serat.idĀ – Kota Semarang diprediksi tenggelam lebih cepat akibat krisis iklim. Ini berdasarkan hasil sejumlah riset kenaikan muka air laut di Semarang yang mencapai 10 centimeter setiap tahun.
Salah satunya, penelitian pakar geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas dkk, yang menunjukkan fakta peningkatan ketinggian air laut di perairan Indonesia yang masif. Perhitungan tersebut berdasarkan data satelit yang terkumpul oleh ITB selama 20 tahun terakhir.
Semarang berada di pesisir pantai utara Jawa, menjadi kawasan yang rentan terdampak krisis iklim. Kondisi ini makin parah dengan penurunan tanah akibat penyedotan air tanah berlebihan. Hasil penelitian Andreas juga menyebutkan, penurunan tanah di pesisir Semarang setiap tahunnya berkisar 3-10 cm.
Kota-kota di pesisir Jawa lainnya yang paling mengkhawatirkan terendam, diantaranya Jakarta, Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Pemalang Kendal, Demak, Cilacap.
Temuan penelitian menjelaskan, Indonesia memiliki banyak daerah sedimenĀ datar yang menjadi lokasiĀ terbaik untuk pengembangan perkotaan , terutama di sekitar daerah sedimen pesisir. Ā Persoalannya, daerah sedimen adalah tempat di mana penurunan tanah umumnya terjadi.
Hilangnya peradaban
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, krisis iklim mengancam lingkungan, peradaban dan kebudayaan manusia.
āBukan cuma kota dan permukiman yang terancam tenggelam, tapi juga sejarah kehidupan dan identitas warganya.Ā Kalau kita membiarkan, hanya akan tersisa cerita untuk anak dan cucu kita,ā jelasnya dalam diskusi āPeradaban yang Tenggelamā di Teater Oudetrap, Kota lama, Semarang, pada Sabtu (29/10/22).Ā
Krisis iklim bukan lagi fenomena, melainkan sudah menjadi ancaman, termasuk bagi Semarang yang memiliki setidaknya 117 bangunan bersejarah. Keberadaan situs-situs bersejarah ini turut terancam dengan meningkatnya jumlah bencana hidrometeorologi karena krisis iklim, seperti banjir, kekeringan, curah hujan ekstrem, longsor, siklon tropis, dan kejadian ekstrem lainnya. Pada Februari 2021, Kota Semarang banjir cukup luas. Kawasan bersejarah Kota Lama termasuk yang terdampak.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) menyatakan, krisis iklim mengancam situs warisan dunia atau World Heritage, saat ini dan di masa depan. Produk keragaman budaya lainnya, bahasa misalnya, juga bisa terancam oleh krisis iklimāseperti kata botanis dan ahli ekologi konservasi dari Cornell University, Christopher P. Dunn dalam esainya.
Untuk bisa bertahan menghadapi krisis iklim, penataan ruang juga menjadi faktor yang penting.
Dalam paparan diskusi tersebut, dosen planologi Universitas Islam Sultan Agung, Mila Karmilah mengatakan, pemerintah perlu mengintegrasikan penataan ruang dan lingkungan.
āPerlu perencanaan tata ruang dengan menggali faktor sejarah,ā kata Mila.
Turut serta dalam diskusi Chasing the Shadow di Semarang, Fitrianto Wibowo dari komunitas Bike to Work mengatakan, salah satu solusi nyata menghadapi krisis iklim ialah bersepeda. āMulai dari aku, sekarang giliran kamu,ā kata Bowoāsapaan Fitrianto.
Bondan Andriyanu menambahkan, semua pihak harus berkontribusi dalam menangani krisis iklim karena semua sudah merasakan dampaknya.
āTermasuk upaya percepatan transisi energi bersih dan terbarukan. Pemerintah harus konsisten untuk mencegah tenggelamnya sejarah dan peradaban masyarakat karena krisis iklim,ā imbuhnyaĀ .

Kampanye krisis iklim
Diskusi āPeradaban yang Tenggelamā merupakan rangkaian kegiatan tur sepeda Chasing The ShadowĀ (mengejar bayangan) yang diinisiasi GreenpeaceĀ Indonesia untuk mengampanyekan krisis iklim.
Perjalanan mengayuh sepeda menempuh jarak 1.000 kilometerĀ lebih ini terbagi beberapa etape, mulai dari Jakarta menuju Bandung, lalu ke Semarang, Surabaya, Celukan Bawang di Buleleng, dan berakhir di Denpasar, Bali.
Di Semarang, para pesepeda Chasing The Shadow Greenpeace mengangkat tema bagaimana pengaruh krisis iklim terhadap sejarah peradaban dan kebudayaan manusia. Kampanye krisis iklim dimeriahkan dengan pameran, workshop dan pertunjukan musik.
Dari Semarang, pesepeda Chasing the Shadow akan mengunjungi DemakĀ dan Lasem ādaerah di pesisir Jawa yang juga terancam hilang karena naiknya muka air laut. Ā Di Kecamatan Sayung, Demak, sejumlah desa sudah tenggelam oleh abrasi. Ā
Dalam catatan sejarah, Demak dan Semarang termasuk Jalur RempahĀ yang merupakan warisan budaya yang turut membentuk peradaban masyarakat.
Sebelumnya, para pesepeda menemui para nelayan di Batang yang sejak 2011 konsisten menolak pembangunan PLTU batubara.
Keberadaan PLTU batubara tak hanya menyumbang polusi udara pekat dan banyak kerusakan lingkungan lainnya, khususnya bagi ekosistem pesisir pantai. Tapi merampas 226 hektare lahan pertanian produktif milik warga, serta merugikan nelayan lantaran membuat jarak tangkap ikan semakin jauh. (*NA)