“Sedangkan rehabilitasi mangrove BRGM hanya mencakup sembilan provinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, serta Papua Barat,”

Serat.id – Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mencatat sekitar 637.624 hektare mangrove di Indonesia dalam kondisi kritis. Jumlah tersebut ditaksir setara dengan 19,26 persen dari jumlah keseluruhan mangrove di Indonesia yang mencapai 3.311.207 hektare.
“Penyebab utama kerusakan mangrove antara lain alih fugsi lahan, tambak, pertanian, pembangunan, infrstruktur, dan lain lain,” ujar Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, Satyawan Pudyatmoko, dalam webinar yang digelar bertajuk “Rehabilitasi”, Kamis, 22 Juli 2021 kemarin.
Satyawan menyebut, tugas kerja BRGM ditargetkan pada tahun 2021-2024 akan merehabilitasi 482.988 hektar mangrove, yang terdiri atas 370.556 hektar mangrove berada di dalam kawasan dan 112.432 hektar berada di luar kawasan.
“Sedangkan rehabilitasi mangrove BRGM hanya mencakup sembilan provinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, serta Papua Barat,” kata Satyawan menambahkan.
Saat ini peta mangrove yang terbaru sedang disusun, jika telah rampung tak lagi mengacu pada One Map Mangrove pada tahun 2013, karena dinilai tak lagi relevan dan telah terjadi banyak perubahan. Peta Mangrove terbaru tersebut nantinya akan termuat dalam Rencana Umum RHL DAS yang akan menjadi pedoman kerja selama sepuluh tahun
Ia menyebut rancangan awal pada tahun 2021, sekitar 83.000 hektar mangrove yang direhabilitasi hanya terbatas di sembilan provinsi. Namun tak lama berdasarkan SK MenLHK No. 315/2021 bulan Juni 2021 target rehabilitasi mangrove diubah menjadi 43.000 hektar di sembilan provinsi dan 40.000 hektar di 23 provinsi.
Untuk dapat merehabilitasi mangrove dilakukan empat cara pola tanam yakni pola tanam murni, silvofishery,rumpun berjarak, pengkayaan. “Satu alternatif lainnya cara merehabilitasi mangrove yakni dengan cara pemulihan lingkungan yang mendukung tumbuhnnya mangrove secara alami,” kata Satyawan menjelaskan.
Setelah rehabilitasi mangrove perlu dilakukan aspek monitoring dan evaluasi (monev) mangrove dengan menysuun parameter biofisik penanaman dan non biofisik speerti sosial, ekonomi, kelembagaan dan cadangan karbon. BRGM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersepakat pelaksanaan monev melalui laman padatkaryamangrove.info.
“Sehingga nanti antar stakeholder tidak mengunakan parameter kriteria yang berbeda beda, sehingga kalau sama kita akan melakukan evaluasi mangrove yang lebih baik,” katanya.
Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Lahan Basah (YLBA) program Demak, Eko Budi Priyanto, menyebut rehabilitasi mangrove tak harus melakukan penanaman mangrove, karena mangrove dapat tumbuh secara alami. Tujuan akhir dari rehabilitasi mangrove ialah agar tanaman mangrove dapat berhasil dan tumbuh dengan baik.
“Setelah mangrove direhabilitasi perlu dilakukan konservasi agar mangrove tersebut tidak rusak dan untuk dapat dimanfaatkan masyarakat,” ujar Eko.
Ada beberapa faktor yang membuat rehabilitasi mangrove berhasil diantaranya meliputi pelibatan masyarakat lokal secara aktif. Status lahan rehabilitasi yang jelas, serta lokasi rehabilitasi mangrove yang tepat, misalnya tidak melakukan penamana di dataran lumpur yang akan menganggu burung migran. Di samping itu, perlu juga pemilihan mangrove yang sesuai, penerapan teknik rehabilitasi yang tepat serta monitoring berkala.
“Optimal untuk tumbuhnya mangrove di lokasi di atas pasang rata rata surut, ini yang sering lupa para pegiat mangrove,” kata Eko menjelaskan. (*)