Sejumlah pasal dalam kedua RUU tersebut membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan.

Serat.id – Aliansi jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak DPR dan pemerintah menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dalam RUU KUHP dan RUU ITE. Sejumlah pasal dalam kedua RUU tersebut membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan.
“Antara lain mengatur soal tindakan-tindakan seperti: menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, Selasa, 5 Oktober 2021
Menurut Erick, alasan menghapus pasal karet itu sebagai upaya pelrindungan terhadap profesi jurnalis yang menginformasikan kepada khalayak luas. “Sedangkan pasal KUHP dan UU ITE selama ini dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari,” kata Erick menambahkan.
AJI juga mendesak DPR dan pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat dan transparan dalam pembahasan RUU KUHP dan RUU ITE. Termasuk pelibatan publik merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi.
Sedangkan selama ini, pelibatan masyarakat hanya bersifat ceremonial belaka dan tidak diberikan waktu yang cukup dalam memberi masukan. Akibatnya komunikasi terkait pembahasan RUU menjadi satu arah, tanpa ada timbal balik dari masyarakat. Ini seperti kegiatan penyempurnaan RUU KUHP yang digelar pemerintah di Jakarta pada 14 Juni 2021 lalu yang tidak memberikan waktu kepada masyarakat untuk memberikan masukan.
“Bahkan lima mahasiswa meninggal dalam aksi protes September 2019 karena aspirasi mereka tidak didengarkan DPR dan pemerintah,” kata Erick menegaskan.
Tak hanya soal pasal yang mengancam kebebasan berekpresi , AJI Indonesia juga mendorong penguatan etika jurnalis dalam RUU KUHP, misalnya tentang kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan atau yang tidak lengkap seperti di pasal 263 yang selama ini berbenturan dengan isi dalam UU Pers khususnya Pasal 15 yang menghendaki agar narasumber yang merasa liputan media tidak benar, menggunakan hak jawabnya.
Benturan pada pasal itu di antaranya pada UU Pers media wajib membuat hak jawab dari narasumber, sementara RUU KUHP tidak mengakomodasi mekanisme pemberian hak jawab ini. Sedangkan pasal lain yang tidak sesuai dengan UU Pers adalah pasal mengenai pemberitaan terhadap suku, golongan atau agama.
Dalam menghadapi masalah ini, UU Pers lebih mengedepankan penyelesaian sengketa lewat jalan mediasi (hak jawab atau Dewan Pers) bukan dengan hukuman pidana. “Sebab delik pers yang berkaitan dengan masalah ini seharusnya ditempatkan sebagai masalah etika, bukan malah ditempatkan sebagai sebuah kejahatan,” kata Erick menjelaskan.
Tercatat DPR telah menyetujui empat rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 pada rapat paripurna, Kamis (30/9/2021). Dua di antaranya adalah RUU KUHP dan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
RUU KUHP merupakan satu dari sejumlah RUU yang gagal disahkan pada penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019 setelah mendapatkan protes besar dari masyarakat sipil dan mahasiswa pada September 2019. (*)