Ada celah dan kegagalan dalam praktik ekuitas hijau karena cenderung hanya menjadi klaim atau greenwashing semata

Serat.id – Investasi yang ditanamkan pemilik perusahaan bertujuan mempromosikan kelestarian lingkungan agar sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris, atau sering disebut Ekuitas Hijau dinilai justru menjadi celah baru pendanaan proyek energi kotor batubara.
Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dunia, antara lain: Recourse, Heinrich Böll Stiftung Washington DC, BankTrack, Trend Asia dan Center for Financial Accountability mengungkap adanya celah dan kegagalan dalam praktik ekuitas hijau karena cenderung hanya menjadi klaim atau greenwashing semata.
“Sebagai konsep pendanaan yang diklaim lebih berwawasan lingkungan, Green Equity pada praktiknya masih menyisakan celah masalah. Celah ini masih memungkinkan pendanaan atas energi kotor batubara tetap dapat dilakukan, walau dengan menyamarkan langkah dan dengan jalan sedikit memutar,” ujar Peneliti dan Manajer Program – Trend Asia, Andri Prasetiyo, Senin, 18 Oktober 2021.
Menurut Andri, salah satu studi kasus laporan itu adanya praktik pendekatan ekuitas hijau atau Green Equity Approach (GEA) yang dilakukan International Finance Corporation (IFC), anak usaha kelompok Bank Dunia (World Bank) pada PT Bank KEB Hana Indonesia.
Hana Bank Indonesia merupakan klien pertama dalam program GEA yang diusung IFC. Namun, kurang dari setahun setelah mendaftar ke GEA, Bank Hana Indonesia, beserta perusahaan induk KEB Hana Korea, menandatangani pembiayaan proyek energi kotor PLTU Jawa 9 & 10.
Andri menyebut sebelumnya Hana Financial Group telah berjanji untuk bergabung dalam kampanye anti-batubara. Kampanye ini untuk mendukung target Pemerintah Korea untuk menjadi negara netral karbon pada tahun 2050.
Hana Financial Group menyatakan tidak akan lagi mendanai bisnis yang merusak lingkungan atau melanggar hak asasi manusia. “Namun, bertolak belakang dari arah kebijakan perusahaan grupnya, Bank Hana Indonesia, justru masih memberikan dukungan pendanaan untuk pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10, Suralaya, Banten, Indonesia,” kata Andri menjelaskan.
Dengan begitu ia menyatakan Hana Bank Indonesia harus segera menarik pendanaan mereka di salah satu proyek energi kotor batubara terbesar yang masih tersisa, yaitu proyek PLTU Jawa 9-10. Jika tidak, komitmen induk usaha mereka yaitu Hana Financial Group untuk meninggalkan batubara hanya mengesankan upaya membangun reputasi baik tanpa ada tindakan nyata. Selain itu, pada akhirnya GEA juga tidak akan memberikan kontribusi signifikan dalam transisi energi untuk mengatasi persoalan krisis iklim.
Selain itu ia menyebut, pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat di sekitar PLTU. PLTU ini juga akan menambah panjang daftar sumber polutan di wilayah Suralaya yang menyebabkan tingginya tingkat penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota Cilegon.
Ia mengacu data Dinas Kesehatan Kota Cilegon sejak tahun 2018 sampai dengan Mei 2020 terdapat 118.184 kasus ISPA di kota Cilegon. Ini membuat pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 menuai kecaman publik dan penolakan warga. “Dalam petisi yang dilakukan melalui Change.org, hingga Oktober 2021 tercatat lebih dari 17.000 warga menandatanganinya,” kata Andri menambahkan.
Sedangkan temuan Trend Asia dan Recourse menunjukkan PLTU Jawa 9 & 10 diperkirakan akan melepaskan rata-rata 250 juta ton karbon dioksida selama 25 tahun masa operasinya, setara dengan emisi rata-rata negara Thailand atau Spanyol.
“Tidak kurang sebanyak 21 unit PLTU telah mengepung Provinsi Banten (Trend Asia, 2020) dan menempatkannya sebagai salah satu provinsi dengan jumlah PLTU paling banyak di Indonesia,” katanya. (*)