“Nota kesepahaman itu menunjukkan inkonsistensi Presiden Joko Widodo yang telah berjanji akan serius menangani persoalan krisis iklim dalam COP26 di Glasgow beberapa waktu lalu,”

Serat.id – Gerakan #BersihkanIndonesia mengecam keputusan pemerintah yang memaksakan pembangunan proyek gasifikasi batubara lewat penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dengan Air Products and Chemicals, Inc (APCI) di Dubai baru-baru ini. Nota kesepahaman proyek gasifikasi batubara ini ditandatangani Menteri Investasi merangkap
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo.
“Nota kesepahaman itu menunjukkan inkonsistensi Presiden Joko Widodo yang telah berjanji akan serius menangani persoalan krisis iklim dalam COP26 di Glasgow beberapa waktu lalu,” kata tulis pernyataan #BersihkanIndonesia, dalam peryataanya, Kamis 18 November 2021.
Catatan lembaga itu menyebutkan nota kesepahaman yang diteken itu terkait dengan investasi megaproyek industri gasifikasi batubara dan turunannya senilai 15 miliar dolar Amerika atau setara Rp210 triliun rupiah.
Peneliti Trend Asia , Andri Prasetiyo menyayangkan penandatanganan itu terjadi tepat setelah lawatan Presiden Joko Widodo ke acara KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia. “Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam COP26 dan dalam pertemuan terbatas dengan PM Inggris untuk segera bebas dari batubara pada 2040,” kata Andri Prasetiyo.
Ia menilai penandatanganan nota kesepahaman ini adalah suatu ironi karena memaksakan pembangunan proyek gasifikasi adalah keputusan tidak konsisten dan hipokrit, yang menunjukkan Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen nyata untuk menyelesaikan masalah krisis iklim.
“Di satu sisi kepada komunitas internasional menyatakan serius mengatasi krisis iklim, tetapi di sisi lain di dalam negeri Presiden Jokowi terus mengambil kebijakan berbahaya dengan terus bergantung pada energi kotor batubara,” kata Andri menegaskan.
Andri menyebut proyek gasifikasi batubara yang disebut sebagai proyek strategis nasional karena dianggap meningkatkan nilai tambah komoditas batubara adalah proyek dengan segudang masalah. Sedangkan dari aspek ekonomi, proyek ini berpotensi besar hanya akan merugikan negara.
Pada awal proyek ini diklaim akan meringankan subsidi atas LPG, tetapi dalam perkembangannya proyek gasifikasi batubara terus meminta kepastian subsidi agar produk akhirnya tetap dapat bersaing di pasaran.
“Proyek gasifikasi batubara berpotensi besar menjadi sebuah “investasi bodong” bagi pemerintah. Alih-alih menghasilkan nilai tambah, proyek ini justru akan membuat pemerintah menanggung nilai investasi besar yang tidak menguntungkan, dan akan menguras kas negara akibat mengeluarkan subsidi yang tak perlu,” kata Andri menjelaskan.
Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2020), ke depan proyek gasifikasi batubara akan menggunakan batubara dengan total sebesar 103,3 juta ton per tahunnya. Jumlah yang sangat besar ini hampir setara dengan jumlah besar konsumsi batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik Indonesia yang mencapai 104,8 juta ton pada 2020.
Peneliti Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menyebut proyek gasifikasi batubara Itu selain memperlihatkan bahwa komitmen iklim pemerintah Indonesia masih setengah hati dan belum ambisius, juga sekaligus menegaskan betapa besarnya dominasi pemain batubara dalam kebijakan energi di Indonesia.
“Ekstraksi batubara yang menjadi salah satu faktor terbesar deforestasi di Indonesia akan membuat proyek gasifikasi batubara ini tidak bisa dikatakan sebagai alternatif energi baru yang layak dipilih, melainkan hanya solusi semu bagi upaya penurunan emisi gas rumah kaca,” ujar Dila.
Koordinator JATAM Nasional, Merah Johansyah, menyoroti proyek gasifikasi batubara Batuta Chemical Industrial Park (BCIP) yang melibatkan Air Products and Chemical Inc. bersama Konsorsium Bakrie Capital dan Ithaca Resources di Kalimantan Timur hanyalah tiket bagi Kaltim Prima Coal (KPC) untuk memperoleh perpanjangan izin otomatis dan insentif royalti 0 persen yang akan semakin mengakumulasi pundi-pundi keuangan perusahaan raksasa batubara itu.
“Sementara, proyek yang sedang berlangsung ini telah menggusur lahan masyarakat adat Dayak Basap di Desa Keraitan dan Desa Tebangan Lembak di Kecamatan Bengalon, Kutai Timur,” kata Merah.
Ia menyebutkan proyek itu berdiri di atas lahan 1000 hektare di pesisir dan bentang alam karst yang mengancam sumber air warga di sana. Proyek Air Products and Chemical Inc., ini telah menggusur puluhan warga dan menginjak hak asasi mereka.
“Ada derita rakyat yang jelas diabaikan oleh Presiden Jokowi, Menteri Investasi dan Pemerintah Dubai,” kata Merah menegaksan. (*)