Perlindungan terhadap Pembela HAM di Indonesia belum dilakukan secara menyeluruh. UU 39/ 1999 tentang HAM dan beberapa peraturan sektoral lainnya belum sepenuhnya memberikan perlindungan pada pembela HAM

Serat.id – Para aktivis Hak Azasi Manusia minta pemerintah wujudkan perlindungan bagi pembela HAM yang selama ini banyak mengalami kekerasan dan intimdasi. “ Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi Pembela HAM dan menyetujui menjadikan 7 September sebagai hari Pembela HAM Nasional,” kata Ardimanto Saputro dari Imparsial, Jum’at, 9 Desember 2021.
Imparsial bersama sejumlah organisasi yang selama ini fokus memperjuangkan HAM di antaranya Amnesty International Indonesia – ELSAM – Greenpeace – ICEL – Imparsial – Institute for Women’s Empowerment – Kemitraan – KontraS – LBH Pers – SAFEnet – YLBHI – YPII juga minta agar DPR-RI meneguhkan komitmen dan janji politik untuk melakukan revisi UU HAM No.39/1999 dalam Prolegnas 2022 dengan memasukkan ketentuan perlindungan pada Pembela HAM.
“Pemerintah dan DPR-RI agar melakukan amandemen pada UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan mencabut pasal karet di berbagai undang-undang yang seringkali digunakan sebagai alat mengkriminalisasi Pembela HAM,” kata Ardimanto menambahkan.
Aparat penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan agar menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam penanganan perkara Pembela HAM. Termasuk dorongan agar Komnas HAM segera melakukan diseminasi SNP nomor 6 tentang Pembela HAM ke seluruh jajaran Kementerian dan Kelembagaan dan menerbitkan revisi Peraturan Komnas HAM No. 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM juga mempercepat penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap Pembela HAM.
“Khususnya menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran berat HAM,” kata Ardimanto menegaskan.
Tercatat Pada 9 Desember 1998 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Deklarasi Hak dan Tanggung Jawab dari Para Individu, Kelompok, Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang Diakui secara Universal. Deklarasi ini kemudian dikenal sebagai Deklarasi Pembela HAM dan secara garis besar memuat dua maklumat. Pertama, pengingat pentingnya pemenuhan hak terhadap setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM. Kedua, perintah kepada negara untuk melindungi setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM secara institusional dan administratif.
“Sayangnya, perlindungan terhadap Pembela HAM di Indonesia belum dilakukan secara menyeluruh. UU 39/ 1999 tentang HAM dan beberapa peraturan sektoral lainnya belum sepenuhnya memberikan perlindungan pada pembela HAM,” kata Ardimanto menjelaskan.
Ia menyebut serangan kepada Pembela HAM kian meningkat setiap tahunnya pada jumlah maupun ragam kekerasannya. Pada tahun 2019 YPII mencatat Pembela HAM yang mengalami kekerasan mencapai 290 orang. Pada tahun 2020, Amnesty International mencatat 253 orang dan pada tahun 2021 jumlah korban mencapai 297 orang.
Dari isu sektoral, sepanjang 2020 ELSAM mencatat ada 178 Pembela HAM di isu lingkungan yang mengalami kekerasan dan 2 diantaranya meninggal akibat pembunuhan. Pun halnya laporan ELSAM pada periode Januari-Agustus 2021 menyebutkan sebanyak 95 korban individu dan kelompok mengalami ancaman dan kekerasan.
Sedangkan bentuknya beragam mulai kekerasan dan ancaman yang terjadi pada Pembela HAM yang meningkat tajam yaitu pada serangan digital, kriminalisasi dengan menggunakan pasal karet dan serangan berbasis gender. SAFEnet mencatat 147 insiden serangan digital sepanjang 2020, puncak serangan terjadi saat penolakan Omnibus Law di bulan Oktober 2020.
Sedangkan di tahun 2021 (per November), terjadi 120 insiden dan puncaknya adalah serangan terjadi pada bulan Mei yang menyasar aktivis anti korupsi dari Indonesia Corruption Watch dan mantan anggota KPK yang dipecat karena tidak lulus TWK.
Sementara itu upaya kriminalisasi terhadap Pembela HAM terus berlangsung. Kasus terbaru yang menjadi perhatian publik adalah kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Pun halnya teror bahan peledak yang menimpa kekuarga pembela HAM, Veronica Koman. Serangan pada pembela HAM acap terjadi ditujukan pada keluarga dan kerabat dekat yang tidak terlibat dalam advokasi yang dilakukan pembela HAM tersebut. Jurnalis dan media sebagai pilar demokrasi pun tidak terbebas dari serangan dan potensi kriminalisasi karena pekerjaannya sebagai jurnalis, misalnya kasus yang menimpa Asrul di Palopo dan Nurhadi di Surabaya. (*)