Pemerintah Indonesia Harus Segera Percepat Transisi Energi!

Serat.id – Larangan ekspor batu bara oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini dinilai tidak cukup jadi solusi. Meski diakui keputusan pemerintah yang harus menarik rem darurat dengan menghentikan secara total ekspor batubara guna menjamin pasokan kebutuhan batu bara domestik menunjukkan bahwa kondisi ketahanan energi kita benar-benar tidak aman dan di ambang krisis
“Pemerintah sudah terlanjur menempatkan batu bara sebagai bauran energi utama dan belum dapat melepaskan diri secara signifikan. Alhasil, ketika rantai pasoknya bermasalah, bayang-bayang krisis energi terasa begitu dekat,” kata peneliti dan manajer program Trend Asia, Andri Prasetiyo, dalam pernyataan yang diterima Serat.id, Selasa 4 Januari 2022 .
Andri mengatakan untuk mengatasinya diperlukan sanksi tegas berupa pencabutan izin setiap perusahaan yang tidak patuh DMO seharusnya tidak hanya menjadi sebatas ultimatum Presiden, tetapi harus segera dilakukan.
Menurut Andri, masalah pasokan batu bara PLN disebabkan karena perusahaan-perusahaan batubara tidak taat memenuhi ketentuan wajib pasok dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Puncak persoalan yang terjadi saat ini sejatinya dapat diprediksi dan seharusnya dapat diantisipasi sejak awal. Sejak pertengahan 2021, ketika harga batubara global mulai melambung, pemerintah sudah menyoroti praktik ketidakpatuhan DMO.
“Hingga akhirnya muncul surat keputusan pelarangan ekspor terhadap 34 perusahaan. Praktik sanksi tersebut nyatanya juga tidak mampu memberikan efek jera dalam mendorong kepatuhan,” kata Andri menjelaskan.
Sedangkan beberapa waktu belakangan, harga komoditas batu bara di pasar dunia memang terus melambung. Harga batubara acuan global bahkan sempat menyentuh angka US$260 per metrik ton. Hal ini ditengarai menjadi penyebab perusahaan-perusahaan batu bara lebih memilih hasil produksinya untuk diekspor ke luar negeri.
Data KESDM mencatat, tingkat kepatuhan ratusan perusahaan tambang batu bara untuk memenuhi DMO sangat rendah. Dari target tahun 2021 sebesar 137,5 juta ton, realisasi yang tercapai hanya sebesar 63,47 juta ton atau sekitar 46 persen, terendah sejak 2017.
Tercatat hingga akhir 2021, hanya terdapat 85 perusahaan yang telah memenuhi DMO batu bara sebesar 25 persen dari rencana produksi tahun 2021. Dari 5,1 juta metrik ton penugasan pemerintah, hingga 1 Januari 2022, haya terpenuhi 35 ribu metrik ton, atau kurang dari 1 persen. Selain itu, data realisasi DMO oleh PLN menunjukkan perusahaan batu bara raksasa yang memegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) juga tidak memenuhi ketentuan DMO oleh pemerintah, semisal PT Arutmin Indonesia.
Andri memperkirakan, ke depannya ancaman krisis energi yang terjadi akibat minimnya pasokan batubara akibat fluktuasi harga global akan terus berulang jika pemerintah terus bergantung terhadap penggunaan energi kotor ini.
Hingga saat ini, porsi bauran batu bara masih mendominasi dalam sistem ketenagalistrikan nasional. Menurutnya, hal itu akan menjadi implikasi serius bagi ketahanan energi nasional, begitu pun terhadap upaya percepatan transisi energi nasional.
“Pemberian sanksi administratif hingga pencabutan izin pada perusahaan yang tidak patuh, atau bahkan melakukan peninjauan kembali harga DMO batubara dinilai dapat menjadi pilihan solusi jangka pendek mengatasi persoalan ini,” kata Andri menjelaskan.
Ia menyebut ada yang jauh lebih penting dan strategis jika pemerintah ingin melakukan perubahan menyeluruh terhadap kerangka kebijakan energi, maka solusi tersebut jelas tidak cukup. “Pemerintah harus segera mempercepat proses transisi energi dengan memilih energi terbarukan,” kata Andri menegaskan. (*)