“Kondisi PRT saat ini memang serba salah, apa lagi belum ada landasan hukum yang jelas untuk mengatur sistem kerja sehingga sangat sulit mencari hari libur”

Beratnya menjadi pekerja rumah tangga atau PRT dirasakan Suryati dengan pahit getir selama 30 tahun. Perempuan berusia 54 tahun asal Desa Kedungjangan, Kecamatan Mijen, Kota Semarang itu merasakan dampak bagi anaknya yang tak menerima imunisasi akibat kesibukan bekerja nyaris tanpa libur dan hak cuti.
“Anak saya ketika umur 18 bulan tidak mendapatkan imunisasi campak karena harus kembali ke Jakarta,” ujar Suryati, menceritakan kisah usai melahirkan dulu kepada Serat.id.
Bekerja sebagai PRT menjadikan hidupnya sulit, tak hanya beratnya mendapatkan hari libur, gaji tak sepadan, perkataan kasar dari majikan hingga dikeluarkan karena memposting di media sosial, pernah dia alami. “Anak kan butuh imunisasi ya,” kata Suryati menambahkan.
Suryati sempat berhenti sementara dari pekerjaannya karena melahirkan, namun ia tak bisa memenuhi semua imunisasi wajib untuk anaknya. Karena desakan ekonomi, Suryati kembali ke Jakarta dan bekerja seperti sedia kala.
Beratnya memenuhi imunisasi bagi anaknya juga ia rasakan sebagai dengan profesi sama saat kembali di Kota Semarang. Bekerja di kota kelahiranya yang dekat dengan tempat tinggal juga tak memberikan jaminan hak imunisasi pada anaknya kedua.
Dalam kondisi hamil, Suryati tetap bekerja. Ia memang kurang beruntung tidak mendapatkan majikan yang baik dan mengerti keadaannya. Suryati mengaku dipaksa bekerja meski satu minggu lagi dia akan melahirkan. Beberapa kali dia meminta libur kepada keluarga tempat bekerja ditolak dengan seribu alasan.
“Alasannya banyak, salah satunya karena dia menganggap waktu melahirkan saya masih lama,” kata Suryati menjelaskan.
Selama ini Suryati memang selalu mendapat kesulitan minta izin tidak masuk kerja, termasuk izin untuk membawa anaknya mendapatkan imunisasi. Dia harus mencari waktu dimana sedang tidak bekerja, dan itu pada saat malam.
Tidak heran anaknya yang kedua juga gagal mendapatkan imunisasi campak karena tidak punya waktu dan biaya. “Kalau di Puskesmas atau posyandu memang gratis ya. Tapi kalau yang swasta seperti ke bidan atau dokter harus bayar,” kata Suryati menjelaskan.
Dampaknya, anak-anaknya mudah demam dan batuk karena belum pernah imunisasi secara lengkap.
Tak hanya Suryati, kisah yang sama disampaikan Rodiah, seorang PRT di Kabupaten Demak. Rodiah alih profesi bekerja di rumahan setelah pabrik tempatnya bekerja gulung tikar diterpa pandemi Covid-19.
Saat diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik, perempuan yang kini berusia 34 tahun itu masih mengandung anak pertama dengan jadwal melahirkan sekitar dua bulan. Hal itu membuat dia harus mencari uang menjadi PRT untuk biaya persalinan.
Bekerja menjadi PRT pun kembali dilakukan usai bayi yang dikandung lahir, karena Rodiah terdesak biaya membeli susu untuk sang bayi. “Saya dan suami bergantian merawat anak,” kata Rodiah.
Namun suami Rodiah sedikit keberatan jika harus mengantar anaknya ke pos pelayanan terpadu untuk imunisasi. “Suami saya tak mau karena memang jarang [laki-laki mengantar anak imunisasi] di sini. Biasanya yang mengantar imunisasi anak itu selalu ibu-ibu,” kata Rodiah menjelaskan.
Kondisi kerja dan sikap suami itu membuat anaknya hanya mendapat empat kali imunisasi. Itu pun dilakukan karena Rodiah terpaksa minta izin libur dari pemilik rumah tempatnya bekerja.
“Lama-lama kalau minta libur terus tak enak. Sampai sekarang belum saya teruskan imunisasi anak saya. Semoga sehat-sehat saja anaknya saya,” kata Rodiah menjelaskan.
Tanpa Perlindungan Hukum
Koordinator Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Semarang, Nur Khasanah mengatakan, kondisi PRT saat ini memang serba salah, apa lagi belum ada landasan hukum yang jelas untuk mengatur sistem kerja sehingga sangat sulit mencari hari libur. Meskipun libur dengan tujuan mengantarkan imunisasi anaknya.
“Kalau yang part-time biasanya dititipkan tetangganya kalau yang full time menginap di rumah majikan, anaknya dititipkan saudaranya,” kata Nur Khasanah.
Menurut Nur, tak jarang PRT yang meminta libur atau cuti harus dipotong gajinya, atau bahkan terkena PHK. Kondisi yang tidak menyenangkan itu membuat PRT takut mengajukan izin kerja.
“Pemilik rumah tempat PRT itu bekerjalah yang menentukan libur. Sampai saat ini PRT belum diakui sebagai pekerjaan melainkan pembantu. Hal itu membuatnya hak mereka tak terpenuhi karena belum ada payung hukum,” kata Nus menjelaskan.
Hingga saat ini SPRT masih memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang belum disahkan selama bertahun-tahun. Dia juga sudah berusaha bersurat soal ajakan audiensi kepada Pemerintah Kota Semarang soal nasib para rekan senasib. Namun, sampai saat ini belum mendapatkan balasan dari pemerintah.
“Kami juga sudah melakukan aksi demonstrasi dari para PRT namun belum ada jawaban juga,” katanya.
Disela-sela usaha untuk pengesahan RUU PRT, organisasinya terus mengedukasi kepada para PRT bahwa mereka mempunyai hak untuk izin libur yang bisa dimanfaatkan untuk mengantar anaknya melakukan imunisasi.
Nur Khasanah mengakui ekploitasi yang menimpa PRT sebenarnya fenomena gunung es., ada banyak PRT yang bernasib yang sama. Untuk itu lembaganya mengajak para PRT untuk berserikat agar ketika ada masalah bisa didampingi secara hukum.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Semarang, Sutrisno mengimbau agar para pemberi kerja memberikan hak kesehatan dan pendidikan anak PRT termasuk pemberian hari libur untuk imunisasi. Namun ia mengaku sulit untuk intervensi permasalahan antara pemberi kerja dan PRT karena tak ada landasan hukum yang jelas.
Bahkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja juga tak mengatur soal pekerjaan informal seperti PRT. “Jadi kita memang sulit untuk intervensi,” kata Sutrisno.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan Dinas Tenaga Kerja hanya mengimbau agar pemberi kerja mengedepankan kemanusiaannya. Menurut dia seharusnya para pemberi kerja memberikan hari libur untuk seorang PRT yang ingin mengantar imunisasi anaknya karena itu merupakan kewajiban kemanusian. (*)