
“Dua tindakan itu sangat bertentangan dengan tugas pokok jurnalis yang dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,”
Anggota kepolisian daerah (Polda) NTB mengintimidasi dengan cara memanggil secara paksa wartawan untuk menjadi saksi atas pemberitaan terkait dugaan Pungutan liar (Pungli) di Polresta Mataram. Selain memanggil untuk dimintai keterangan, jurnalis dari tiga media dipaksa menghapus berita dugaan pungli jutaan rupiah pada korban kecelakaan lalu lintas yang diterbitkan.
“Dua tindakan itu sangat bertentangan dengan tugas pokok jurnalis yang dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Muhammad Kasim, Jum’at 25 November 2022 malam tadi.
Tercatat, pemanggilan paksa sebagai saksi diterima jurnalis ntbsatu.com, Mugni Ilma. Terdapat dua orang yang mengaku sebagai anggota Paminal pada Bidpropam Polda NTB meminta agar dia hadir dan bersedia keterangannya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Selain dihubungi melalui ponsel, Mugni juga didatangi kediamannya oleh orang yang mengaku dari Paminal Polda NTB. “Karena merasa terintimidasi, Mugni melalui perusahaannya mengadukan tindakan itu ke organisasi profesi AJI Mataram,” kata Kasim menceritakan.
Selain intimidasi untuk jadi saksi, tekanan lain yang dirasakan Mugni Ilma adalah permintaan take down atau penghapusan berita berjudul “Korban Kecelakaan Diduga Dipungut Jutaan Rupiah, ini Respons Kapolresta Mataram”.
Tekanan yang sama dirasakan kontributor vivanews.com Satria Zulfikar yang menulis berita sama dengan judul “Dugaan Pungli di Satlantas Polresta Mataram, Surat Kecelakaan Harus Bayar”, juga dialami wartawan tribunlombok.com Jimmy Sucipto yang menulis berita dengan judul “Kapolresta Mataram Klarifikasi Soal Dugaan Pungli Pengurusan Surat Keterangan Kecelakaan”. Tiga berita itu terbit Tanggal 22 dan 23 November 2022.
Berita yang ditulis tiga jurnalis itu berdasarkan fakta atas keluhan keluarga korban kecelakaan lalulintas yang diduga dimintai uang Rp1 juta hingga Rp2,5 juta oleh oknum anggota Unit Laka Sat Lantas Polresta Mataram untuk mendapatkan surat keterangan kecelakaan.
Berita tersebut dipastikan sudah memenuhi kaidah jurnalistik dan memenuhi asas keberimbangan karena telah terkonfirmasi langsung kepada Kapolresta Mataram, Kombes Mustafa.
“Namun sejak berita itu diturunkan, berturut turut selama dua hari terakhir mereka ditekan agar berita itu dihapus, baik oleh oknum di Polresta Mataram maupun pihak pihak lain di luar kepolisian,” kata Kasim menjelaskan.
Kasim menyesalkan dan mengecam tindakan oknum anggota kepolisian yang melakukan intimidasi dan memanggil secara paksa tiga jurnalis sebagai saksi atas dugaan pungli di Unit Laka Lantas Polresta Mataram.
Semestinya, berita yang ditulis oleh wartawan NTBSatu.com, Vivanews.com dan TribunLombok.com dijadikan acuan oleh Bidang Propam Polda NTB, untuk melakukan investigasi dan penindakan terhadap oknum anggota Unit Laka Lantas Polresta Mataram yang diduga melakukan pungli.
“Jadi bukan wartawan yang dipanggil untuk di periksa sebagai saksi atas kasus dugaan pungli tersebut,” kata Kasim menegaskan.
Menurut dia, siapapun tidak boleh menghalang-halangi tugas jurnalis, karena pers nasional memiliki hak mencari, menulis, dan menyebarluaskan informasi ke publik.
Perbuatan meminta menghapus berita adalah termasuk menghalang-halangi kerja jurnalistik yang dilindungi Undang Undang. Setiap perbuatan semacam itu, dapat dipidana sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Isinya, menyatakan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda.
“Kerja jurnalis itu dilindungi undang-undang dan orang yang menghalangi bahkan mengintimidasi ancamanya pidana,” kata Kasim mengingatkan.